Ika Puspitasari, Mantan Pengantin Bom di Bali yang Memilih Hidup Damai
pada tanggal
Thursday, 5 May 2022
KLATEN, LELEMUKU.COM - Ika Puspitasari (41), seorang mantan pekerja migran yang terjerat dalam kegiatan kelompok militan, mengaku sangat menikmati hari-hari pasca pembebasannya Agustus tahun lalu dari lembaga pemasyarakatan di Medan, Sumatra Utara.
“Ternyata, hidup damai begini nyaman, saya selama ini terlalu banyak di dunia maya, sampai tidak menikmati dunia nyata yang ternyata sangat menyenangkan,” ujar Ika dengan suaranya yang riang saat diwawancarai BenarNews akhir April lalu.
Ika yang memiliki nama alias Tasnimah Salsabila ditangkap pada Desember tahun 2016 dan divonis 4 ½ tahun penjara karena terbukti mendanai kelompok teroris dan turut serta dalam merencanakan penyerangan ke markas pengikut Syiah - Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) di Bandung yang berhasil digagalkan aparat.
Ika pun bercerita tentang bagaimana awalnya dia bisa terlibat dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang merupakan jaringan teroris pengikut ISIS di Indonesia sampai akhirnya ditangkap oleh Densus 88 di Purworejo, Jawa Tengah, beberapa hari sebelum rencananya untuk melakukan bom bunuh diri di Bali pada 19 Desember 2016.
Menurut penuturannya, dia sudah mengenal jihad sejak tahun 2011, ketika Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton di Surakarta, Jawa Tengah dibom pada pada 25 September 2011, yang menewaskan pelakunya dan 24 orang lainnya luka-luka.
Kejadian itu membuat Ika yang saat itu tercatat sebagai seorang pekerja migran Indonesia di Hongkong ingin mengetahui lebih lanjut tentang ideologi jihadis.
Ia mulai banyak membaca situs-situs yang memuat informasi tentang dunia Islam. Tidak hanya berhenti di sana dia juga membaca laman yang menyebarkan ideologi kekerasan.
“Saya kenal FPI (Front Pembela Islam) dulu, kemudian HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), tetapi dua itu tidak ada tentang amaliyah (kode kelompok militan untuk serangan terorisme). Kemudian saya kenal Jabal Al Nusra (kelompok militan yang terafiliasi dengan al-Qaeda), dari sini saya mulai terlibat lebih jauh,” ujar Ika.
Ika juga bergabung dengan berbagai grup di Facebook serta kanal-kanal di aplikasi pengiriman pesan Telegram dan “bertemu” orang-orang yang namanya dia baca di internet, serta membaca ceramah-ceramah tokoh seperti Abu Bakar Baasyir dan Aman Abdurrahman, merupakan pendiri JAD.
Hingga kemudian dia mengaku berkomunikasi dengan juru bicara Daulah Khilafah Islamiyah, Syaikh Abu Muhammad Adnani Asy-Syami.
“Saya baca semua. Saya ini termasuk cepet transformasinya. Kemudian ada Daulah itu, saya waktu itu ada di Hongkong, saya ikut mendanai amaliyah-amaliyah Daulah,” ujarnya.
“Gaji saya sebulan kalau dalam rupiah itu Rp 8 juta, saya hanya ambil sekitar Rp 1 juta, sisanya untuk infak ke Daulah,” ujar Ika. Dia juga bahkan sudah siap untuk menjadi pelaku bom bunuh diri.
Berbagai diskusi online itu juga memupuk kebenciannya terhadap kelompok Muslim Syiah. “Orang-orang Syiah itu benci sekali dengan Daulah, mereka selalu membuat status menjelek-jelekkan Daulah,” ujar Ika menuturkan alasan yang mendasarinya menghimpun dana untuk menyerang markas Syiah dan melakukan rencana rangkaian bom bunuh diri bersama dengan Dian Yulia Novita, yang juga dikenal dengan kasus “Bom Panci”. Dian ditangkap beberapa jam sebelum meledakkan diri di Istana Negara, Jakarta, 10 Desember 2016.
“Yang bermasalah itu kami-kami ini!”
Ika di tahun pertama penahanannya ditempatkan di Rutan Mako Brimob, tepatnya di Blok C. Di sana, Ika mengaku semangatnya seperti dipupuk karena para penghuni blok itu mayoritas narapidana terorisme (napiter) yang rajin melakukan kajian. Sehingga ketika ia dipindah ke Lapas Perempuan Kelas IIA di Medan, Sumatra Utara, dia mengaku semangat jihadnya berada di puncaknya.
Ika menjalani hukuman penjara dan dipisahkan dari narapidana lainnya selama 3 tahun. Dia menghirup udara segar setelah 4 tahun 3 bulan ketika masa hukumannya selesai.
Ika mengaku sempat kebingungan ketika dia bebas. Dia takut masyarakat tidak akan menerimanya karena ia mantan napiter.
Tetapi di luar dugaan, pada hari pembebasannya dia tidak dilepas sendiri melainkan diantar banyak pihak, bahkan dititipkan langsung kepada kepala desa Warga juga menyambut kedatangannya di tempat tinggalnya di Purworejo.
"Ini benar-benar poin penting bagi saya, coba kalau saya tidak diterima, besar peluang untuk kembali lagi ke kelompok saya," ujarnya.
Anggota Yayasan Gema Salam, yang menjadi wadah bagi para eks-napi terorisme untuk berintegrasi ke masyarakat, banyak membantunya.
"Saya tanya, ada tidak dasarnya kembali ke NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Mereka bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan saya. Di situ saya mulai tercerahkan," ujar Ika yang mulai luluh dan membuka diri sejak itu.
“Mereka mengatakan hal yang memang fakta, Indonesia ini Darul Kufri, rakyatnya mayoritas Muslim dan tidak ada larangan apa pun untuk beribadah di negeri ini, untuk syiar pun tak ada. Tidak ada masalah di sini, yang bermasalah itu kami-kami ini,” ujar Ika sambil tertawa.
Beda prinsip dengan suami
Hasan Al Rosyid, mantan napiter kasus penyerangan di Mapolresta Surakarta, merupakan salah satu sosok yang disebut Ika sebagai senior yang menjadi teman dialognya.
Menurut Hasan, Ika yang saat ini masih dalam pengawasan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) karena saat dibebaskan masih terindikasi radikal, kini sudah lebih moderat.
“Kami hanya membantu dan sharing supaya paham takfirinya takfiri (paham yang mengkafirkan Muslim lain) ini hilang, supaya dia kembali ke NKRI, kami tidak akan memaksanya memutuskan hubungan dengan teman-temannya dulu juga suaminya meski itu jadi agak sulit,” ujar Hasan.
Saat ini, seperti dituturkan oleh Ika, suaminya berada di Papua dan mengajar anak-anak di sana mengaji. Ika menyadari jika suaminya, Zaenal Akbar, masih berideologi radikal. Ika menikah dengan Zaenal secaraa online saat masih berada di Hong Kong. Keduanya ketika itu aktif merencanakan amaliyah.
Direktur Pencegahan BNPT Brigjen. Pol. Ahmad Nurwahid mengatakan bahwa pihak BNPT masih melakukan pengawasan terhadap Ika. “Ika masih dimonitor, masih kita pantau terus supaya tidak kembali lagi (ke jaringannya),” ujar Nurwahid saat dihubungi BenarNews, 26 April 2022.
Meski belum bisa memutuskan hubungan dengan teman-teman dijaringannya, Ika mengaku sudah mantap untuk tidak akan kembali ke jalan kekerasan.
“Saya sudah tidak cocok, JAD yang sekarang ini terpecah menjadi kecil-kecil, dan di antara JAD sendiri saling mengkafirkan, sedikit-sedikit mengkafirkan,” ujarnya.
Reintegrasi mencegah residivisme
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia yang belum lama ini melakukan penelitian tentang pemisahan seorang teroris dari terorisme, Ardi Putra Prasetya, mengatakan bahwa penerimaan oleh keluarga dan masyarakat merupakan satu faktor yang berpengaruh bagi seorang napiter untuk memutuskan berhenti atau kembali ke jaringannya.
“Jika dia merasa tidak diterima oleh keluarga dan masyarakatnya, dia bisa mengalami juga faktor lain yang berupa frustrasi minor, ini bisa membuatnya kembali lagi dan menjadi residivis,” terang Ardi yang juga merupakan analis pemasyarakatan Direktorat Deradikalisasi BNPT.
Ardi mengatakan suami Ika yang masih radikal memberi tantangan tersendiri bagi BNPT untuk melakukan pendekatan kepada Ika karena BNPT atau pihak manapun harus mendapat ijin dari suaminya jika ingin berkontak terkait program deradikalisasi dengan Ika.
Sementara itu, salah satu pendiri Yayasan Gema Salam yang juga mantan napiter kasus Bom Bali pada 2005, Joko Tri Harmanto, mengatakan bahwa pihaknya sengaja mengajak Ika bergabung karena sudah memahami tentang hal tersebut.
“Kami berharap, dengan mbak Ika kita rangkul maka dia akan kembali ke ibu pertiwi seutuhnya dan bisa hidup bermasyarakat dengan wajar dan sukses,” ujar pria yang saat ini sibuk dengan bisnis Soto-nya ini. (Kusumasari Ayuningtyas | BenarNews)