Revisi UU Otonomi Khusus Papua Dapat Meningkatkan Potensi Konflik
pada tanggal
Friday, 24 December 2021
JAKARTA PUSAT, LELEMUKU.COM - Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang baru justru mengurangi hak otonomi pemerintah daerah dan dapat meningkatkan konflik di provinsi paling timur Indonesia itu, demikian hasil penelitian lembaga resolusi konflik yang dirilis Kamis (23/12/2021).
Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menyatakan, UU Otsus Papua sejatinya gagal mengakomodasi tuntutan masyarakat Papua selama ini yakni pembatasan masuknya warga non-asli dan perlindungan hak asasi manusia, kendati di sisi lain dinilai mampu meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas dana pembangunan Papua.
Desakan untuk pembatasan warga non-Papua dipicu dominasi ekonomi lokal oleh para pendatang dan sempat diajukan sebagai salah satu poin revisi UU Otsus pada 2013, tapi tidak termaktub dalam undang-undang baru.
"Jakarta menjalankan proses revisi sepihak yang justru menepikan orang-orang yang diklaim hendak dibantu," kata peneliti IPAC Sana Jaffrey dalam keterangannya, seraya menambahkan bahwa perubahan itu membuat status otonomi khusus Papua hanya tinggal nama.
Dalam laporan bertajuk Diminished Autonomy and the Risk of New Flashpoints in Papua itu, IPAC menyatakan revisi UU Otsus Papua berpotensi meningkatkan friksi antara Papua dan Jakarta, lewat tiga poin perubahan yang disebut IPAC sebagai perihal fundamental.
Tiga perubahan fundamental tersebut adalah mereduksi kekuatan politik pemerintah provinsi, kontrol fiskal yang lebih besar oleh pemerintah pusat, dan konfigurasi ulang terkait representasi masyarakat asli Papua dalam kontestasi politik.
Maka, IPAC pun meminta pemerintah pusat membahas ulang beleid tersebut secara independen dengan mengajak serta orang asli Papua dalam proses pembahasannya.
"Presiden Jokowi berjanji bahwa dia ada untuk mendengarkan (masyarakat Papua) dan orang-orang Papua memberikan timbal balik dengan memilihnya dalam pemilu. Tak hanya sekali, bahkan dua kali," ujar Jaffrey.
"Dia (Jokowi) butuh menggunakan modal politik itu untuk membangun kesepahaman sama akan UU Otsus baru kalau ingin kebijakan itu berhasil."
Pengurangan kekuatan politik pemerintah provinsi terlihat pada Pasal 76 ayat 2 yang menyatakan bahwa Jakarta dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota di Papua tanpa persetujuan pemerintah provinsi dan Majelis Rakyat Papua (MRP).
Padahal sesuai UU Otonomi Daerah yang berlaku di wilayah lain, pemekaran wilayah membutuhkan persetujuan pemerintah provinsi.
Kontrol fiskal oleh pemerintah pusat terlihat pada Pasal 68A yang memuat tentang keberadaan badan khusus diketahui wakil presiden dan berisi Menteri Dalam Negeri, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Keuangan, serta seorang utusan dari provinsi Papua dan Papua Barat.
Badan itu bertugas menyupervisi penggunaan dana otonomi khusus di Papua.
Sementara terkait konfigurasi representasi masyarakat asli Papua dalam kontestasi politik tercermin dalam ketentuan bahwa panitia pemilihan MRP kini akan diatur oleh Menteri Dalam Negeri, tidak lagi gubernur setempat seperti termaktub di UU lama.
Dalam laporannya, IPAC menilai perubahan kebijakan tersebut sebagai upaya pemerintah pusat untuk memastikan bahwa anggota MRP terpilih adalah pro-Jakarta.
Secara keseluruhan, perubahan dalam UU Otsus Papua 2021 tercatat sebanyak 18 pasal dan penambahan dua pasal baru.
Sejauh ini, UU Otsus Papua 2021 telah memancing rangkaian unjuk rasa oleh mahasiswa dan masyarakat Papua di beragam daerah, bahkan MRP menggugat UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi --persidagan masih berlangsung sampai sekarang.
Oleh karena, IPAC dalam laporannya menyarankan pemerintah untuk segera menemukan mekanisme internal yang mampu mencegah keributan birokratik yang dapat berujung pada kebuntuan, atau lebih buruk menjadi permulaan untuk mobilisasi kekerasan.
"Risiko peningkatan cukup tinggi apalagi menjelang pemilu 2024, di mana politikus lokal bisa memanfaatkan perbedaan pendapat itu untuk meraup dukungan elektoral dari mereka yang terpinggirkan oleh aturan," pungkas IPAC.
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan RI Jaleswari Pramodhawardani enggan berkomentar lebih lanjut dengan alasan belum membaca laporan IPAC.
BenarNews menghubungi juru bicara Gubernur Papua Lukas Enembe, Muhammad Rifai Daris, tapi tidak beroleh balasan.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan pekan lalu bahwa UU Otsus yang baru memungkinkan dana otonomi menjadi tepat sasaran.
Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) akan mengharmonisasikan program pembangunan di Papua.
"Nanti ada badan pengarah. Tapi ini tidak birokratis badan pengarah ini. Untuk mengharmoniskan program pusat, kementerian dan lembaga dengan provinsi kabupaten atau kota, sehingga lebih tepat sasaran, termasuk pemekaran Papua,” ujarnya.
“Intinya adalah semua itu adalah dalam rangka mempercepat pembangunan Papua," tambahnya.
“Bara api” baru
Aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay menyebut pengesahan UU Otsus Baru sebagai "bara api" baru di Papua.
Menurut Emanuel, pemerintah pusat telah menunjukkan sikap tidak mau mendengarkan suara Papua sedari awal pembahasan UU. Hal itu ditunjukkan lewat pembubaran sejumlah unjuk rasa oleh mahasiswa dan aktivis.
Bahkan rapat dengar pendapat MRP yang notabene memiliki kewenangan pembahasan nasib warga Papua, terang Emanuel, turut dibubarkan kepolisian.
"Hal itu menunjukkan bahwa aspirasi dari Papua dibungkam," kata Emanuel kepada BenarNews.
"Pada akhirnya, terbukti bahwa MRP yang mengajukan uji materi UU ke MK. Menunjukkan bahwa rakyat Papua tidak dilibatkan dalam perumusan UU ini."
92 kasus kekerasan pada 2021
Sementara itu, Kepolisian Daerah Papua melaporkan sepanjang 2021, telah terjadi 92 kasus kekerasan oleh kelompok separatis Papua yang menewaskan 34 orang - 11 anggota TNI, 4 anggota Polri, dan 19 masyarakat sipil.
Adapun korban luka-luka berjumlah 33 orang baik dari TNI dan Polri maupun masyarakat sipil.
“Sementara korban (tewas) dari Kelompok Kriminal Bersenjata sebanyak 12 orang,” kata Kapolda Papua Mathius D. Fakhiri, dalam catatan akhir tahun yang diterima BenarNews, Kamis (23/12).
Kasus yang terjadi sepanjang 2021, tercatat meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 46 kali bentrokan. Pada tahun 2020, sembilan orang meninggal dunia yakni lima warga sipil, dua prajurit TNI, dan dua anggota Polri, sebut laporan Polda Papua tahun lalu.
Polisi tidak mengungkap berapa banyak korban meninggal dunia dari kelompok pemberontak Papua.
Salah satu insiden kekerasan yang turut menyita perhatian pemerintah pusat adalah penembakan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) untuk daerah Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha di Distrik Boega, Kabupaten Puncak, pada April 2021.
Beriringan dengan kejadian tersebut, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan mengumumkan kelompok separatis Papua sebagai teroris.
Dewan Gereja Papua, dikutip dari laporan media lokal Papua, mengatakan konflik aparat dan separatis juga menyebabkan sedikitnya 60.000 warga sipil mengungsi karena ketakutan di lima
Pakar konflik Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adriana Elizabeth, mengatakan korban tewas tidak akan berhenti berjatuhan apabila pemerintah terus-menerus menggunakan pendekatan keamanan untuk menyelesaikan konflik di Papua.
“Mau itu korban masyarakat sipil, aparat keamanan, sampai kelompok separatis, akan terus bertambah. Persoalannya, mau sampai kapan? Konflik di Papua tidak boleh lagi dilihat sebagai persoalan separatisme semata,” kata Adriana dalam sambungan telepon.
Adriana menilai sudah saatnya memberikan kesempatan bagi masyarakat Papua untuk berbicara, berdialog tanpa bayang-bayang tekanan.
“Aparat harus melakukan jeda (untuk) kemanusiaan di Papua. Kalau ingin damai, cara pandangnya harus diubah,” katanya. (Ronna Nirmala/ Arie Firdaus| BenarNews)
Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menyatakan, UU Otsus Papua sejatinya gagal mengakomodasi tuntutan masyarakat Papua selama ini yakni pembatasan masuknya warga non-asli dan perlindungan hak asasi manusia, kendati di sisi lain dinilai mampu meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas dana pembangunan Papua.
Desakan untuk pembatasan warga non-Papua dipicu dominasi ekonomi lokal oleh para pendatang dan sempat diajukan sebagai salah satu poin revisi UU Otsus pada 2013, tapi tidak termaktub dalam undang-undang baru.
"Jakarta menjalankan proses revisi sepihak yang justru menepikan orang-orang yang diklaim hendak dibantu," kata peneliti IPAC Sana Jaffrey dalam keterangannya, seraya menambahkan bahwa perubahan itu membuat status otonomi khusus Papua hanya tinggal nama.
Dalam laporan bertajuk Diminished Autonomy and the Risk of New Flashpoints in Papua itu, IPAC menyatakan revisi UU Otsus Papua berpotensi meningkatkan friksi antara Papua dan Jakarta, lewat tiga poin perubahan yang disebut IPAC sebagai perihal fundamental.
Tiga perubahan fundamental tersebut adalah mereduksi kekuatan politik pemerintah provinsi, kontrol fiskal yang lebih besar oleh pemerintah pusat, dan konfigurasi ulang terkait representasi masyarakat asli Papua dalam kontestasi politik.
Maka, IPAC pun meminta pemerintah pusat membahas ulang beleid tersebut secara independen dengan mengajak serta orang asli Papua dalam proses pembahasannya.
"Presiden Jokowi berjanji bahwa dia ada untuk mendengarkan (masyarakat Papua) dan orang-orang Papua memberikan timbal balik dengan memilihnya dalam pemilu. Tak hanya sekali, bahkan dua kali," ujar Jaffrey.
"Dia (Jokowi) butuh menggunakan modal politik itu untuk membangun kesepahaman sama akan UU Otsus baru kalau ingin kebijakan itu berhasil."
Pengurangan kekuatan politik pemerintah provinsi terlihat pada Pasal 76 ayat 2 yang menyatakan bahwa Jakarta dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota di Papua tanpa persetujuan pemerintah provinsi dan Majelis Rakyat Papua (MRP).
Padahal sesuai UU Otonomi Daerah yang berlaku di wilayah lain, pemekaran wilayah membutuhkan persetujuan pemerintah provinsi.
Kontrol fiskal oleh pemerintah pusat terlihat pada Pasal 68A yang memuat tentang keberadaan badan khusus diketahui wakil presiden dan berisi Menteri Dalam Negeri, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Keuangan, serta seorang utusan dari provinsi Papua dan Papua Barat.
Badan itu bertugas menyupervisi penggunaan dana otonomi khusus di Papua.
Sementara terkait konfigurasi representasi masyarakat asli Papua dalam kontestasi politik tercermin dalam ketentuan bahwa panitia pemilihan MRP kini akan diatur oleh Menteri Dalam Negeri, tidak lagi gubernur setempat seperti termaktub di UU lama.
Dalam laporannya, IPAC menilai perubahan kebijakan tersebut sebagai upaya pemerintah pusat untuk memastikan bahwa anggota MRP terpilih adalah pro-Jakarta.
Secara keseluruhan, perubahan dalam UU Otsus Papua 2021 tercatat sebanyak 18 pasal dan penambahan dua pasal baru.
Sejauh ini, UU Otsus Papua 2021 telah memancing rangkaian unjuk rasa oleh mahasiswa dan masyarakat Papua di beragam daerah, bahkan MRP menggugat UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi --persidagan masih berlangsung sampai sekarang.
Oleh karena, IPAC dalam laporannya menyarankan pemerintah untuk segera menemukan mekanisme internal yang mampu mencegah keributan birokratik yang dapat berujung pada kebuntuan, atau lebih buruk menjadi permulaan untuk mobilisasi kekerasan.
"Risiko peningkatan cukup tinggi apalagi menjelang pemilu 2024, di mana politikus lokal bisa memanfaatkan perbedaan pendapat itu untuk meraup dukungan elektoral dari mereka yang terpinggirkan oleh aturan," pungkas IPAC.
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan RI Jaleswari Pramodhawardani enggan berkomentar lebih lanjut dengan alasan belum membaca laporan IPAC.
BenarNews menghubungi juru bicara Gubernur Papua Lukas Enembe, Muhammad Rifai Daris, tapi tidak beroleh balasan.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan pekan lalu bahwa UU Otsus yang baru memungkinkan dana otonomi menjadi tepat sasaran.
Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) akan mengharmonisasikan program pembangunan di Papua.
"Nanti ada badan pengarah. Tapi ini tidak birokratis badan pengarah ini. Untuk mengharmoniskan program pusat, kementerian dan lembaga dengan provinsi kabupaten atau kota, sehingga lebih tepat sasaran, termasuk pemekaran Papua,” ujarnya.
“Intinya adalah semua itu adalah dalam rangka mempercepat pembangunan Papua," tambahnya.
“Bara api” baru
Aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay menyebut pengesahan UU Otsus Baru sebagai "bara api" baru di Papua.
Menurut Emanuel, pemerintah pusat telah menunjukkan sikap tidak mau mendengarkan suara Papua sedari awal pembahasan UU. Hal itu ditunjukkan lewat pembubaran sejumlah unjuk rasa oleh mahasiswa dan aktivis.
Bahkan rapat dengar pendapat MRP yang notabene memiliki kewenangan pembahasan nasib warga Papua, terang Emanuel, turut dibubarkan kepolisian.
"Hal itu menunjukkan bahwa aspirasi dari Papua dibungkam," kata Emanuel kepada BenarNews.
"Pada akhirnya, terbukti bahwa MRP yang mengajukan uji materi UU ke MK. Menunjukkan bahwa rakyat Papua tidak dilibatkan dalam perumusan UU ini."
92 kasus kekerasan pada 2021
Sementara itu, Kepolisian Daerah Papua melaporkan sepanjang 2021, telah terjadi 92 kasus kekerasan oleh kelompok separatis Papua yang menewaskan 34 orang - 11 anggota TNI, 4 anggota Polri, dan 19 masyarakat sipil.
Adapun korban luka-luka berjumlah 33 orang baik dari TNI dan Polri maupun masyarakat sipil.
“Sementara korban (tewas) dari Kelompok Kriminal Bersenjata sebanyak 12 orang,” kata Kapolda Papua Mathius D. Fakhiri, dalam catatan akhir tahun yang diterima BenarNews, Kamis (23/12).
Kasus yang terjadi sepanjang 2021, tercatat meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 46 kali bentrokan. Pada tahun 2020, sembilan orang meninggal dunia yakni lima warga sipil, dua prajurit TNI, dan dua anggota Polri, sebut laporan Polda Papua tahun lalu.
Polisi tidak mengungkap berapa banyak korban meninggal dunia dari kelompok pemberontak Papua.
Salah satu insiden kekerasan yang turut menyita perhatian pemerintah pusat adalah penembakan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) untuk daerah Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha di Distrik Boega, Kabupaten Puncak, pada April 2021.
Beriringan dengan kejadian tersebut, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan mengumumkan kelompok separatis Papua sebagai teroris.
Dewan Gereja Papua, dikutip dari laporan media lokal Papua, mengatakan konflik aparat dan separatis juga menyebabkan sedikitnya 60.000 warga sipil mengungsi karena ketakutan di lima
Pakar konflik Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adriana Elizabeth, mengatakan korban tewas tidak akan berhenti berjatuhan apabila pemerintah terus-menerus menggunakan pendekatan keamanan untuk menyelesaikan konflik di Papua.
“Mau itu korban masyarakat sipil, aparat keamanan, sampai kelompok separatis, akan terus bertambah. Persoalannya, mau sampai kapan? Konflik di Papua tidak boleh lagi dilihat sebagai persoalan separatisme semata,” kata Adriana dalam sambungan telepon.
Adriana menilai sudah saatnya memberikan kesempatan bagi masyarakat Papua untuk berbicara, berdialog tanpa bayang-bayang tekanan.
“Aparat harus melakukan jeda (untuk) kemanusiaan di Papua. Kalau ingin damai, cara pandangnya harus diubah,” katanya. (Ronna Nirmala/ Arie Firdaus| BenarNews)