Otonomi Khusus (Otsus) Papua Lanjut Jilid Kedua Tahun 2022-2041, Dorong Provinsi Baru
pada tanggal
Thursday, 10 September 2020
JAYAPURA, LELEMUKU.COM - Pemerintah memberi isyarat kuat otonomi khusus (Otsus) Papua akan berlanjut ke tahap kedua (2022-2041). Ada dorongan pembentukan provinsi baru agar wilayah adat bisa dikembangkan sesuai kebutuhan masing-masing.
Seorang wali kota dan delapan bupati bertemu dalam sebuah forum di Hotel Suni Garden Lake, Sentani, Abepura, Papua, 24-25 Agustus lalu. Masing-masing didampingi sejumlah pejabat daerahnya, pemimpin agama, tokoh adat, tokoh perempuan, dan perwakilan pemuda. Mereka berkumpul pada satu workshop yang bertajuk “Evaluasi 19 Tahun Implementasi Otsus Papua di Wilayah Adat Tabi-Saireri”.
Pendapat dari berbagai kalangan itu yang kemudian disarikan dalam sesi Forum Kepala Daerah se-Tabi-Saireri, yang merupakan forum tertinggi di situ. Forum Kepala Daerah Tabi-Saireri bersepakat, Otonomi Khusus (Otsus) Papua tetap dilanjutkan, karena diperlukan untuk percepatan pembangunan. Untuk mewujudkannya, Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, perlu diperbarui. Pelaksanaannya pun perlu perbaikan di sana-sini.
Forum kepala daerah itu cukup unik. Mereka hanyalah sembilan dari 29 kepala daerah (bupati dan wali kota) di Provinsi Papua. Kesepakatan yang dibangun di Setani mendukung Otsus Papua tahap kedua.
Tampaknya, suara lantang dari Hotel Suni Garden Lake Sentani itu merupakan reaksi untuk mengimbangi narasi miring atas Otsus yang dikemukakan kelompok kritis. Menjelang Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, seperti biasa, muncul suara koor, yang secara implisit menggugat posisi Papua dalam satu kesatuan wilayah integral Republik Indonesia.
Pada 2019, suara koor itu melagukan isu rasialisme. Ada provokasi di tengah suasana sakral menjelang 17-Agustusan dan kemudian memantik insiden di Malang dan Surabaya. Ujungnya, demo besar dan kerusuhan pecah di sejumlah kota di Papua.
Agenda di Agustus 2020 berbeda lagi. Koor dari kelompok kritis itu menggugat otonomi khusus, yang disebutkan gagal membawa kemajuan bagi masyarakat Papua. Karenanya, kelompok kritis itu menolak otonomi khusus dilanjutkan. Narasi ini dikumandangkan oleh banyak pihak, termasuk sebagian wakil masyarakat di Majelis Rakyat Papua (MRP), sebagian tokoh agama, dan tentu kelompok proseparatis yang menentang pemerintah secara terbuka.
Tentu banyak yang keberatan dengan klaim itu. Menolak otonomi berarti membawa ke situasi politik yang tak menentu. Padahal, Otsus telah membawa banyak manfaat yang dirasakan oleh masyarakat, mulai dari akses pangan, akses ekonomi, pendidikan, pelayanan kesehatan, perumahan, penyediaan air bersih, komunikasi, dan berbagai infrastruktur lainnya. Indeks pembangunan manusia (IPM) Papua dan Papua Barat terus meningkat dan masuk ke level sedang.
Reaksi Adat
Tanah Papua itu dihuni ratusan suku. Secara tradisional, wilayah Papua Indonesia yang luasnya 460 ribu km2 (3,5 kali Pulau Jawa) itu terdiri dari tujuh wilayah adat, yakni Bomberai, Domberai, Saireri, Tabi, Lapago, Meepago, dan Ha-Anim. Realitas itu yang kemudian memunculkan wacana sejak 2012 bahwa selayaknya Tanah Papua itu dikelola dalam format tujuh provinsi.
Saat ini, tanah seluas itu dikelola dalam dua provinsi, yaitu Papua (320 ribu km2) dan Papua Barat (140 ribu km2). Lima wilayah adat itu ada di Provinsi Papua dan dua lainnya di Papua Barat. Narasi provinsi baru itu terus bergaung dengan tajuk baru, yakni daerah otonomi baru (DOB). Kluster DOB ini dianggap lebih relevan karena lebih menggambarkan kebutuhan masing-masing yang berbeda.
Pemerintah pusat memberi isyarat kuat bahwa Otsus akan diperpanjang 20 tahun lagi, yakni 2022-2042. Otsus pertama selesai akhir 2021. Isyarat itu pernah disampaikan Presiden Joko Widodo, Menko Polhukam Mahfud MD, dan yang terakhir oleh Mendagri Tito Karnavian ketika berkunjung ke Timika akhir Juli lalu. “Otsus akan diperpanjang 20 tahun lagi, karena diperlukan untuk percepatan pembangunan,” katanya.
Menindaklanjuti isu perpanjangan Otsus, Presiden Joko Widodo melakukan komunikasi langsung dengan sejumlah tokoh Papua pada 30 Juli lalu. Presiden memastikan, Otsus akan diperpanjang. Bahkan, akan ada kenaikan dana Otsus. Bila pada 2001-2021 dana Otsus Papua adalah 2 persen dari dana alokasi umum (DAU) pada APBN, maka pada 20 tahun keduanya akan naik menjadi 2,25%.
Merespons perkembangan terbaru ini, forum pemerintah daerah dari Wilayah Adat Tabi dan Saireri berkumpul di Sentani. Yang hadir adalah lima kepala daerah dari Saireri (Wali Kota Jayapura, Bupati Jayapura, Bupati Keerom, Bupati Mamberamo Raya, dan Bupati Sarmi), serta empat bupati dari Saireri (Biak Numfor, Kepulauan Yapen, Nabire, dan Waropen). Masing-masing didampingi tokoh adat, pemuka agama, dan pejabat daerah setempat.
Forum Kepala Daerah se-Tabi-Saireri bersepakat, Otsus Papua harus tetap dilanjutkan dengan beberapa rekomendasi untuk perbaikan. Rekomendasi tersebut adalah: Penataan dan pengaturan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dalam kerangka Otonomi Khusus Papua;Ada lembaga atau kementerian yang mengatur otonomi khusus di pusat; Ada daftar prioritas anggaran (DPA) khusus Otsus; Ada rapat koordinasi pembangunan (Rakorbang) yang bersifat khusus untuk perencanaan pembangunan daerah; Ada grand design (rancangan induk) Otsus untuk lima program utama, di antaranya pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur; Besaran dana Otsus yang bersumber dari 2% plafon DAU dan dana tambahan infrastruktur harus dinaikkan dari pengaturan saat ini dalam ketentuan Pasal 34 Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Selanjutnya, Pengaturan ulang mekanisme distribusi dana tambahan infrastuktur antara provinsi dan kabupaten/kota; Pemilihan kepala daerah harus ada pengaturan bersifat khusus; Pemilihan anggota DPR Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota harus dilakukan pengaturan secara khusus; Pembentukan daerah otonom baru (Provinsi) di wilayah adat Ha-Anim, Lapago, dan Meepago; dan, Jabatan kepala daerah dan wakil daerah tingkat kabupaten/kota diisi oleh orang asli Papua.
“Jadi, 11 poin ini perlu segera ditindaklanjuti oleh semua stokeholder yang ada. Terutama Gubernur Papua, pimpinan dan anggota DPR Papua (DPRP), MRP, dan pemerintah pusat,” ujar Bupati Kepulauan Yapen Tony Tesar. Ia juga berharap ke-11 poin itu dapat menjadi bahan masukan dalam revisi atas UU nomor 21 tentang Otonomi Khusus Papua.
Dana Otsus
Sebagai daerah berstatus otonomi khusus, Papua memang menerima dukungan anggaran besar untuk pengembangan daerah. Dua komponen belanja yang cukup besar untuk Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) adalah dana Otsus dan dana tambahan infrastruktur (DTI). Besaran dana Otsus nilainya sudah diatur dalam UU, sedangkan DTI diputuskan berdasarkan kesepakatan pemerintah dan DPR tiap tahunnya.
Dari pos dana Otsus, Papua telah menerima kucuran Rp82,7 triliun antara 2002-2019, dan untuk DTI (baru dimulai 2008) alokasinya Rp33,1 triliun. Ditambah dengan belanja rutin daerah (provinsi dan kabupaten kota) serta belanja sektoral kementerian/lembaga, termasuk bansos, pada tahun anggaran 2019 alokasi APBN mencapai Rp66,1 triliun untuk Papua dan Papua Barat, yang penduduknya total sekitar 4,4 juta.
Secara per kapita, tiap penduduk Papua menerima APBN sebesar Rp14,7 juta. Berlipat kali dibanding dengan yang diterima penduduk Pulau Jawa yang rata-rata di bawah Rp4 juta. Karena isu eksploitasi ekonomi Papua oleh Jakarta menjadi tidak masuk akal.
Sepanjang era Otsus, dana yang digulirkan dari Jakarta jauh melampaui penerimaan segala dari Papua. Pajak dan penerimaan negara bukan pajak (termasuk dana hasil bagi migas Tangguh atau deviden dan royalti PT Freeport) pada 2019 tak sampai Rp25 triliun, sementara pusat mengalokasikan Rp66,1 triliun ke Papua dan Papua Barat.
Namun, anggaran besar itu tak serta-merta bisa mengangkat kualitas hidup warga Papua. Bila Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menjadi ukurannya, IPM di Papua Barat dan Papua memang terendah dibanding provinsi lain. IPM Papua baru naik ke level 60 pada 2018, dan pada saat yang sama Papua Barat sudah di level 63,7. Namun fakta menunjukkan bahwa dengan dana Otsus, Papua bisa mengejar ketertinggalannya dan pada 2017-2019 Papua dan Papua Barat mencatat pertumbuhan tertinggi di seluruh provinsi.
Level 60 masuk kategori sedang. Kategori tinggi di atas 70, dan sangat tinggi bila di atas 80. Sementara itu, yang di bawah 60 disebut rendah. IPM ini mengukur tiga indikator sekaligus, yakni tingkat pendikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Dari 25 daerah dengan IPM terendah di Indonesia, 23 di antaranya ada di Papua.
Kota Jayapura mencatat IPM 80,16, masuk kategori IPM sangat tinggi, setara dengan Makassar, Yogyakarta, Denpasar, dan di atas Manado, Pontianak, atau Palembang. Bila dirinci ke kabupaten/kota, di Provinsi Papua dan Papua Barat terdapat kantong-kantong dengan IPM di atas 70 (tinggi). Untuk Papua ada di Kabupaten Jayapura, Biak Numfor, Mimika. Di Papua Barat, yang tergolong ber-IPM tinggi ialah Kota Sorong dan Manokwari.
Secara umum, dari 7 wilayah adat itu, lima di antaranya mencatat IPM yang lebih tinggi ketimbang dua lainnya di pedalaman. Wilayah adat Tabi (87 suku) dan Saireri (37) yang budayanya bersentuhan dengan budaya pesisir Pasifik, IPM-nya relatif lebih tinggi. Begitu halnya dengan dua wilayah adat di Provinsi Papua Barat, yakni Bombirai (19 suku) dan Dombirai (52 suku), serta wilayah Adat Ha-Anim di daerah lembah di Pantai Selatan.
Wilayah Adat Lapago (19 suku) dan Meepago (14 suku) bergunung-gunung. Secara umum, IPM di situ rendah dan perkembangannya lambat. Tak heran bila wilayah lain mendorong keduanya menjadi dua daerah Otsus baru alias provinsi baru, agar wilayah pegunungan yang luas itu terkelola lebih baik.
Dua wilayah adat Lapago dan Meepago ini pun mudah bergolak secara politik. Di situ pula gerakan para kaum separatis lebih leluasa. Tampaknya, wilayah adat yang lain tidak mau terseret oleh letupan politik yang mudah terjadi di situ. Perkembangan sosial-ekonomi di daerah pedalaman itu relatif lebih lambat.
Tampaknya memang perlu penanganan yang berbeda pada masing-masing wilayah adat. (Kominfo)
Seorang wali kota dan delapan bupati bertemu dalam sebuah forum di Hotel Suni Garden Lake, Sentani, Abepura, Papua, 24-25 Agustus lalu. Masing-masing didampingi sejumlah pejabat daerahnya, pemimpin agama, tokoh adat, tokoh perempuan, dan perwakilan pemuda. Mereka berkumpul pada satu workshop yang bertajuk “Evaluasi 19 Tahun Implementasi Otsus Papua di Wilayah Adat Tabi-Saireri”.
Pendapat dari berbagai kalangan itu yang kemudian disarikan dalam sesi Forum Kepala Daerah se-Tabi-Saireri, yang merupakan forum tertinggi di situ. Forum Kepala Daerah Tabi-Saireri bersepakat, Otonomi Khusus (Otsus) Papua tetap dilanjutkan, karena diperlukan untuk percepatan pembangunan. Untuk mewujudkannya, Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, perlu diperbarui. Pelaksanaannya pun perlu perbaikan di sana-sini.
Forum kepala daerah itu cukup unik. Mereka hanyalah sembilan dari 29 kepala daerah (bupati dan wali kota) di Provinsi Papua. Kesepakatan yang dibangun di Setani mendukung Otsus Papua tahap kedua.
Tampaknya, suara lantang dari Hotel Suni Garden Lake Sentani itu merupakan reaksi untuk mengimbangi narasi miring atas Otsus yang dikemukakan kelompok kritis. Menjelang Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, seperti biasa, muncul suara koor, yang secara implisit menggugat posisi Papua dalam satu kesatuan wilayah integral Republik Indonesia.
Pada 2019, suara koor itu melagukan isu rasialisme. Ada provokasi di tengah suasana sakral menjelang 17-Agustusan dan kemudian memantik insiden di Malang dan Surabaya. Ujungnya, demo besar dan kerusuhan pecah di sejumlah kota di Papua.
Agenda di Agustus 2020 berbeda lagi. Koor dari kelompok kritis itu menggugat otonomi khusus, yang disebutkan gagal membawa kemajuan bagi masyarakat Papua. Karenanya, kelompok kritis itu menolak otonomi khusus dilanjutkan. Narasi ini dikumandangkan oleh banyak pihak, termasuk sebagian wakil masyarakat di Majelis Rakyat Papua (MRP), sebagian tokoh agama, dan tentu kelompok proseparatis yang menentang pemerintah secara terbuka.
Tentu banyak yang keberatan dengan klaim itu. Menolak otonomi berarti membawa ke situasi politik yang tak menentu. Padahal, Otsus telah membawa banyak manfaat yang dirasakan oleh masyarakat, mulai dari akses pangan, akses ekonomi, pendidikan, pelayanan kesehatan, perumahan, penyediaan air bersih, komunikasi, dan berbagai infrastruktur lainnya. Indeks pembangunan manusia (IPM) Papua dan Papua Barat terus meningkat dan masuk ke level sedang.
Reaksi Adat
Tanah Papua itu dihuni ratusan suku. Secara tradisional, wilayah Papua Indonesia yang luasnya 460 ribu km2 (3,5 kali Pulau Jawa) itu terdiri dari tujuh wilayah adat, yakni Bomberai, Domberai, Saireri, Tabi, Lapago, Meepago, dan Ha-Anim. Realitas itu yang kemudian memunculkan wacana sejak 2012 bahwa selayaknya Tanah Papua itu dikelola dalam format tujuh provinsi.
Saat ini, tanah seluas itu dikelola dalam dua provinsi, yaitu Papua (320 ribu km2) dan Papua Barat (140 ribu km2). Lima wilayah adat itu ada di Provinsi Papua dan dua lainnya di Papua Barat. Narasi provinsi baru itu terus bergaung dengan tajuk baru, yakni daerah otonomi baru (DOB). Kluster DOB ini dianggap lebih relevan karena lebih menggambarkan kebutuhan masing-masing yang berbeda.
Pemerintah pusat memberi isyarat kuat bahwa Otsus akan diperpanjang 20 tahun lagi, yakni 2022-2042. Otsus pertama selesai akhir 2021. Isyarat itu pernah disampaikan Presiden Joko Widodo, Menko Polhukam Mahfud MD, dan yang terakhir oleh Mendagri Tito Karnavian ketika berkunjung ke Timika akhir Juli lalu. “Otsus akan diperpanjang 20 tahun lagi, karena diperlukan untuk percepatan pembangunan,” katanya.
Menindaklanjuti isu perpanjangan Otsus, Presiden Joko Widodo melakukan komunikasi langsung dengan sejumlah tokoh Papua pada 30 Juli lalu. Presiden memastikan, Otsus akan diperpanjang. Bahkan, akan ada kenaikan dana Otsus. Bila pada 2001-2021 dana Otsus Papua adalah 2 persen dari dana alokasi umum (DAU) pada APBN, maka pada 20 tahun keduanya akan naik menjadi 2,25%.
Merespons perkembangan terbaru ini, forum pemerintah daerah dari Wilayah Adat Tabi dan Saireri berkumpul di Sentani. Yang hadir adalah lima kepala daerah dari Saireri (Wali Kota Jayapura, Bupati Jayapura, Bupati Keerom, Bupati Mamberamo Raya, dan Bupati Sarmi), serta empat bupati dari Saireri (Biak Numfor, Kepulauan Yapen, Nabire, dan Waropen). Masing-masing didampingi tokoh adat, pemuka agama, dan pejabat daerah setempat.
Forum Kepala Daerah se-Tabi-Saireri bersepakat, Otsus Papua harus tetap dilanjutkan dengan beberapa rekomendasi untuk perbaikan. Rekomendasi tersebut adalah: Penataan dan pengaturan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dalam kerangka Otonomi Khusus Papua;Ada lembaga atau kementerian yang mengatur otonomi khusus di pusat; Ada daftar prioritas anggaran (DPA) khusus Otsus; Ada rapat koordinasi pembangunan (Rakorbang) yang bersifat khusus untuk perencanaan pembangunan daerah; Ada grand design (rancangan induk) Otsus untuk lima program utama, di antaranya pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur; Besaran dana Otsus yang bersumber dari 2% plafon DAU dan dana tambahan infrastruktur harus dinaikkan dari pengaturan saat ini dalam ketentuan Pasal 34 Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Selanjutnya, Pengaturan ulang mekanisme distribusi dana tambahan infrastuktur antara provinsi dan kabupaten/kota; Pemilihan kepala daerah harus ada pengaturan bersifat khusus; Pemilihan anggota DPR Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota harus dilakukan pengaturan secara khusus; Pembentukan daerah otonom baru (Provinsi) di wilayah adat Ha-Anim, Lapago, dan Meepago; dan, Jabatan kepala daerah dan wakil daerah tingkat kabupaten/kota diisi oleh orang asli Papua.
“Jadi, 11 poin ini perlu segera ditindaklanjuti oleh semua stokeholder yang ada. Terutama Gubernur Papua, pimpinan dan anggota DPR Papua (DPRP), MRP, dan pemerintah pusat,” ujar Bupati Kepulauan Yapen Tony Tesar. Ia juga berharap ke-11 poin itu dapat menjadi bahan masukan dalam revisi atas UU nomor 21 tentang Otonomi Khusus Papua.
Dana Otsus
Sebagai daerah berstatus otonomi khusus, Papua memang menerima dukungan anggaran besar untuk pengembangan daerah. Dua komponen belanja yang cukup besar untuk Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) adalah dana Otsus dan dana tambahan infrastruktur (DTI). Besaran dana Otsus nilainya sudah diatur dalam UU, sedangkan DTI diputuskan berdasarkan kesepakatan pemerintah dan DPR tiap tahunnya.
Dari pos dana Otsus, Papua telah menerima kucuran Rp82,7 triliun antara 2002-2019, dan untuk DTI (baru dimulai 2008) alokasinya Rp33,1 triliun. Ditambah dengan belanja rutin daerah (provinsi dan kabupaten kota) serta belanja sektoral kementerian/lembaga, termasuk bansos, pada tahun anggaran 2019 alokasi APBN mencapai Rp66,1 triliun untuk Papua dan Papua Barat, yang penduduknya total sekitar 4,4 juta.
Secara per kapita, tiap penduduk Papua menerima APBN sebesar Rp14,7 juta. Berlipat kali dibanding dengan yang diterima penduduk Pulau Jawa yang rata-rata di bawah Rp4 juta. Karena isu eksploitasi ekonomi Papua oleh Jakarta menjadi tidak masuk akal.
Sepanjang era Otsus, dana yang digulirkan dari Jakarta jauh melampaui penerimaan segala dari Papua. Pajak dan penerimaan negara bukan pajak (termasuk dana hasil bagi migas Tangguh atau deviden dan royalti PT Freeport) pada 2019 tak sampai Rp25 triliun, sementara pusat mengalokasikan Rp66,1 triliun ke Papua dan Papua Barat.
Namun, anggaran besar itu tak serta-merta bisa mengangkat kualitas hidup warga Papua. Bila Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menjadi ukurannya, IPM di Papua Barat dan Papua memang terendah dibanding provinsi lain. IPM Papua baru naik ke level 60 pada 2018, dan pada saat yang sama Papua Barat sudah di level 63,7. Namun fakta menunjukkan bahwa dengan dana Otsus, Papua bisa mengejar ketertinggalannya dan pada 2017-2019 Papua dan Papua Barat mencatat pertumbuhan tertinggi di seluruh provinsi.
Level 60 masuk kategori sedang. Kategori tinggi di atas 70, dan sangat tinggi bila di atas 80. Sementara itu, yang di bawah 60 disebut rendah. IPM ini mengukur tiga indikator sekaligus, yakni tingkat pendikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Dari 25 daerah dengan IPM terendah di Indonesia, 23 di antaranya ada di Papua.
Kota Jayapura mencatat IPM 80,16, masuk kategori IPM sangat tinggi, setara dengan Makassar, Yogyakarta, Denpasar, dan di atas Manado, Pontianak, atau Palembang. Bila dirinci ke kabupaten/kota, di Provinsi Papua dan Papua Barat terdapat kantong-kantong dengan IPM di atas 70 (tinggi). Untuk Papua ada di Kabupaten Jayapura, Biak Numfor, Mimika. Di Papua Barat, yang tergolong ber-IPM tinggi ialah Kota Sorong dan Manokwari.
Secara umum, dari 7 wilayah adat itu, lima di antaranya mencatat IPM yang lebih tinggi ketimbang dua lainnya di pedalaman. Wilayah adat Tabi (87 suku) dan Saireri (37) yang budayanya bersentuhan dengan budaya pesisir Pasifik, IPM-nya relatif lebih tinggi. Begitu halnya dengan dua wilayah adat di Provinsi Papua Barat, yakni Bombirai (19 suku) dan Dombirai (52 suku), serta wilayah Adat Ha-Anim di daerah lembah di Pantai Selatan.
Wilayah Adat Lapago (19 suku) dan Meepago (14 suku) bergunung-gunung. Secara umum, IPM di situ rendah dan perkembangannya lambat. Tak heran bila wilayah lain mendorong keduanya menjadi dua daerah Otsus baru alias provinsi baru, agar wilayah pegunungan yang luas itu terkelola lebih baik.
Dua wilayah adat Lapago dan Meepago ini pun mudah bergolak secara politik. Di situ pula gerakan para kaum separatis lebih leluasa. Tampaknya, wilayah adat yang lain tidak mau terseret oleh letupan politik yang mudah terjadi di situ. Perkembangan sosial-ekonomi di daerah pedalaman itu relatif lebih lambat.
Tampaknya memang perlu penanganan yang berbeda pada masing-masing wilayah adat. (Kominfo)