Kominfo Kurangi Kecepatan Internet di Papua, Kirim Lebih Banyak Polisi
pada tanggal
Wednesday, 21 August 2019
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Pemerintah Indonesia mengirim 200 polisi lagi ke Tanah Papua pada hari Selasa (20/08/2019) dan mengendalikan kecepatan Internet untuk “mencegah penyebaran hoaks” sementara kerusuhan berlanjut di beberapa bagian wilayah paling timur negara itu, kata para pejabat.
Ribuan orang Papua turun ke jalan di kota Sorong, Manokwari dan Jayapura pada hari Senin (19/8), memblokir jalan-jalan, merusak bandara dan membakar gedung-gedung pemerintah.
Protes itu dipicu oleh penahanan mahasiswa Papua di kota Surabaya, Jawa Timur atas tuduhan bahwa mereka tidak menghormati bendera Indonesia di depan asrama ketika berlangsung perayaan Hari Kemerdekaan pada hari Sabtu.
Polisi menembakkan gas air mata ke asrama itu sebelum menangkap 43 mahasiswa, menurut seorang aktivis, yang mengatakan polisi mengatai para mahasiswa sebagai “monyet” ketika berlangsung operasi di asrama itu.
Pada hari Selasa (20/8), situasinya lebih tenang di beberapa daerah, tetapi wakil gubernur Papua, Mohamad Lakotani, mengatakan melalui telepon bahwa sekitar 200 polisi telah dikirim ke Sorong dari pulau Sulawesi di tengah ketegangan yang berkelanjutan.
Lakotani mengatakan “sejumlah signifikan” orang Papua turun ke jalan lagi di Sorong setelah protes hari Senin (19/08/2019) mengakibatkan bandara rusak, kantor-kantor dibakar dan sebuah penjara dibakar.
Sekitar 400 demonstran berada di jalan-jalan Sorong pada hari Selasa (20/08/2019), kata kepala Polresta Sorong AKBP Mario P. Siregar, kepada portal berita Detik.com, sementara kantor berita pemerintah Antara mengatakan beberapa jalan masih diblokir oleh ban terbakar.
Polisi juga memburu lebih dari 250 narapidana yang melarikan diri dari penjara di Sorong yang dibakar, ketika terjadi kerusuhan, Senin (19/8). "Para pengunjuk rasa telah menyerang penjara itu di antara gedung-gedung lain," kata Ade Kusmanto, juru bicara direktorat jenderal pemasyarakatan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
“Setelah membakar fasilitas kantor pemerintah daerah, pengunjuk rasa menuju ke penjara dan melemparkan batu, memprovokasi tahanan,” kata Kusmanto, seraya menambahkan bahwa seorang sipir penjara terluka dalam kerusuhan itu.
Pejabat itu mengatakan dari 547 narapidana yang ditahan di penjara itu, 258 orang melarikan diri, tetapi dia menambahkan bahwa sebagian telah ditangkap kembali.
Bandwidth internet juga sengaja diperlambat di beberapa bagian Papua pada hari Selasa (20/8), terutama di sekitar Sorong, sehingga mempersulit orang untuk mengirim gambar dan video, kata juru bicara kementerian komunikasi dan teknologi informasi.
Langkah serupa diambil pada hari Senin (19/07/2019) untuk mencegah penyebaran hoaks, kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan.
"Orang Papua marah karena kata-kata yang sangat rasis yang digunakan oleh orang Jawa Timur, polisi dan militer,” kata Gubernur Papua Lukas Enembe.
Sebuah gerakan separatis telah membara selama beberapa dekade di Papua, daerah yang kaya sumber daya, di mana sering terjadi pengaduan pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan Indonesia. Kelompok-kelompok HAM mendesak polisi Indonesia agar menahan diri dan menyelidiki tuduhan rasisme dan diskriminasi yang dihadapi oleh para mahasiswa Papua.
“Pihak berwenang Indonesia harus bertindak segera untuk mengurangi ketegangan di provinsi Papua Barat dan menjamin bahwa orang yang ingin memprotes secara damai dapat terus melakukannya.” Demikian kata Usman Hamid, direktur eksekutif organisasi HAM Amnesty Internasional untuk Indonesia, dalam sebuah pernyataan. (VOA)
Ribuan orang Papua turun ke jalan di kota Sorong, Manokwari dan Jayapura pada hari Senin (19/8), memblokir jalan-jalan, merusak bandara dan membakar gedung-gedung pemerintah.
Protes itu dipicu oleh penahanan mahasiswa Papua di kota Surabaya, Jawa Timur atas tuduhan bahwa mereka tidak menghormati bendera Indonesia di depan asrama ketika berlangsung perayaan Hari Kemerdekaan pada hari Sabtu.
Polisi menembakkan gas air mata ke asrama itu sebelum menangkap 43 mahasiswa, menurut seorang aktivis, yang mengatakan polisi mengatai para mahasiswa sebagai “monyet” ketika berlangsung operasi di asrama itu.
Pada hari Selasa (20/8), situasinya lebih tenang di beberapa daerah, tetapi wakil gubernur Papua, Mohamad Lakotani, mengatakan melalui telepon bahwa sekitar 200 polisi telah dikirim ke Sorong dari pulau Sulawesi di tengah ketegangan yang berkelanjutan.
Lakotani mengatakan “sejumlah signifikan” orang Papua turun ke jalan lagi di Sorong setelah protes hari Senin (19/08/2019) mengakibatkan bandara rusak, kantor-kantor dibakar dan sebuah penjara dibakar.
Sekitar 400 demonstran berada di jalan-jalan Sorong pada hari Selasa (20/08/2019), kata kepala Polresta Sorong AKBP Mario P. Siregar, kepada portal berita Detik.com, sementara kantor berita pemerintah Antara mengatakan beberapa jalan masih diblokir oleh ban terbakar.
Polisi juga memburu lebih dari 250 narapidana yang melarikan diri dari penjara di Sorong yang dibakar, ketika terjadi kerusuhan, Senin (19/8). "Para pengunjuk rasa telah menyerang penjara itu di antara gedung-gedung lain," kata Ade Kusmanto, juru bicara direktorat jenderal pemasyarakatan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
“Setelah membakar fasilitas kantor pemerintah daerah, pengunjuk rasa menuju ke penjara dan melemparkan batu, memprovokasi tahanan,” kata Kusmanto, seraya menambahkan bahwa seorang sipir penjara terluka dalam kerusuhan itu.
Pejabat itu mengatakan dari 547 narapidana yang ditahan di penjara itu, 258 orang melarikan diri, tetapi dia menambahkan bahwa sebagian telah ditangkap kembali.
Bandwidth internet juga sengaja diperlambat di beberapa bagian Papua pada hari Selasa (20/8), terutama di sekitar Sorong, sehingga mempersulit orang untuk mengirim gambar dan video, kata juru bicara kementerian komunikasi dan teknologi informasi.
Langkah serupa diambil pada hari Senin (19/07/2019) untuk mencegah penyebaran hoaks, kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan.
"Orang Papua marah karena kata-kata yang sangat rasis yang digunakan oleh orang Jawa Timur, polisi dan militer,” kata Gubernur Papua Lukas Enembe.
Sebuah gerakan separatis telah membara selama beberapa dekade di Papua, daerah yang kaya sumber daya, di mana sering terjadi pengaduan pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan Indonesia. Kelompok-kelompok HAM mendesak polisi Indonesia agar menahan diri dan menyelidiki tuduhan rasisme dan diskriminasi yang dihadapi oleh para mahasiswa Papua.
“Pihak berwenang Indonesia harus bertindak segera untuk mengurangi ketegangan di provinsi Papua Barat dan menjamin bahwa orang yang ingin memprotes secara damai dapat terus melakukannya.” Demikian kata Usman Hamid, direktur eksekutif organisasi HAM Amnesty Internasional untuk Indonesia, dalam sebuah pernyataan. (VOA)