Pembelian Saham Rp55 Triliun Inalum ke Freeport Indonesia Masih Diproses
pada tanggal
Wednesday, 14 November 2018
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Penjualan saham PT. Freeport Indonesia (PTFI) ke PT. Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) dari 9,36 persen menjadi 51,2 persen dengan membayar 3,85 miliar dollar AS atau senilai Rp 55 triliun masih diproses dan akan dipenuhi secepatnya.
Menurut Vice President Corporate Communication PTFI, Riza Pratama menuturkan terdapat lima proses untuk kepemilikan saham Freeport yakni Divestasi, Pembangunan Smelter, Peningkatan Penerimaan Negara, Kelangsungan Operasi Hingga Tahun 2041 dan Stabilitas Investasi.
“Salah satunya adalah divestasi, kemudian pembangunan smelter, peningkatan Penerimaan Negara, Kelangsungan Operasi Hingga Tahun 2041, dan Stabilitas Investasi. Lima proses ini harus sama-sama untuk mencapai kesepakatan,” ungkap Juru Bicara PT Freeport Indonesia itu kepada pers, Senin malam (12/11) di Hotel Pullman Thamrin Jakarta Pusat.
Khusus untuk Divestasi, kata Pratama, Inalum harus membeli saham 41,64 persen PTFI. Hingga saat ini, Inalum baru sebatas menandatangani perjanjian pembelian saham PTFI.
Sedangkan mengenai saham 10 persen bagi Papua, Riza Pratama mengatakan prosesnya masih berjalan. Hanya saja pengaturan maupun proses pembelian saham tersebut merupakan bagian kerja dari Pemerintah Indonesia, PT Inalum, Pemprov Papua dan Pemkab Mimika.
“Soal 10 persen saham Freeport untuk Papua prosesnya masih berjalan. Akan tetapi Freeport Indonesia tidak berperan disitu. Itu adalah peran Pemerintah Indonesia, Inalum. Kami sendiri tidak terlibat dalam perundingan itu. Itukan arahnya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Papua,”katanya.
Sedangkan terkait pabrik pengolahan dan pemurnian konsentrat (Smelter) perusahaan itu dibangun di Gresik, Provinsi Jawa Timur.
“Smelter masih di Gresik, karena ada limbah beracun yang harus dikelola. Kebetulan di Gresik sudah ada infrastruktur atau pabrik semen dan pabrik pupuk yang menampung limbah itu. Maka itu untuk sementara lebih visibel dibangun di Gresik,”ungkap Riza.
Selanjutnya menurut rilis dari Inalum pada Rabu (13/11) dijelaskan bahwa pembelian saham ini membutuhkan tahapan yang cukup banyak. Sebab hal ini merupakan upaya pemerintah untuk mengembalikan penguasaan areal tambang PTFI kepada pemerintah Indonesia melalui perjanjian pembelian saham.
Hal ini dilakukan sebab Kontrak Karya (KK) PTFI tidak sama dengan apa yang berlaku di sektor minyak dan gas, yang jika konsesi berakhir maka akan secara otomatis dimiliki pemerintah dan dikelola oleh Pertamina.
Dalam peralihan tersebut, pemerintah tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Itu karena aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah, setelah sebelumnya membayar kontraktor lewat skema cost recovery senilai puluhan triliun rupiah.
KK yang ditandatangani pada 31 Desember 1991 seharusnya memang berakhir pada 2021. Namun, dalam hal ini terdapat perbedaan antara pemerintah dan raksasa tambang Amerika Freeport McMoRan (FCX), pemilik mayoritas PTFI, dalam menafsirkan substansi KK.
FCX menafsirkan, mereka berhak mendapatkan perpanjangan KK hingga 2041 dan pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut seca a "tidak wajar".
Berdasarkan pengertian dari FCX, jika pemerintah tidak memperpanjang kontrak sampai Tahun 2041, maka akan menjadi landasan dasar bagi FCX untuk membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional. Peluang pemerintah untuk memenangkan arbitrase tidak terjamin.
Jika kalah, pemerintah tak hanya diwajibkan membayar ganti rugi senilai miliaran dolar AS ke FCX, tapi juga seluruh aset pemerintah di luar negeri dapat disita jika pemerintah tidak membayar ganti rugi tersebut.
Sekalipun menang, pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI minimal sebesar nilai buku berdasarkan laporan keuangan audited 2017, yang diestimasi sekitar 6 miliar dollar AS. Selain itu, proses panjang arbitrase akan berdampak pada ketidakpastian operasi serta membahayakan kelangsungan tambang deposit emas terbesar di dunia tersebut.
"Jika diasumsikan Indonesia menang dalam arbitrase sekalipun, berdasarkan ketentuan KK, Indonesia sesungguhnya juga tidak akan memperoleh tambang emas di Papua tersebut secara gratis," kata Direktur Reforminer Komaidi Notonegoro dalam sebuah diskusi di televisi Swasta pertengahan tahun ini.
Lebih lanjut, Komaidi mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI minimal sebesar nilai buku yang berdasarkan laporan keuangan audited yang diestimasi sekitar 6 miliar dollar AS.
Tak cuma itu, kata dia, pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan yang nilainya lebih dari Rp 2 triliun. Dengan membayar Rp 55 triliun, Inalum akan mendapatkan keuntungan yang berlipat.
Berdasarkan keterangan dari Inalum, dalam dengar pendapat dengan Komisi 7 DPR baru-baru ini, perusahaan tersebut akan mendapatkan kekayaan tambang yang terdiri dari emas, perunggu dan perak senilai lebih dari Rp 2,175 triliun.
Diperkirakan setelah tahun 2022, Holding Industri Pertambangan tersebut juga akan mendapatkan Iaba bersih dari kekayaan tambang PTFI yang mencapai Rp 58 triliun per tahunnya. (PasificPos/Kompas)