Aktivis Nilai 1 Mei Sebagai Hari Aneksasi Papua oleh Indonesia
pada tanggal
Monday, 1 May 2017
JAKARTA - Para aktivis yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menyebut 1 Mei adalah Hari Aneksasi Papua oleh RI, merujuk pada peristiwa 1 Mei, saat United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) menyerahkan kepada pemerintah RI.
"Amerika Serikat dan Indonesia melalui PBB telah memainkan peran politik di atas Tanah Papua, rakyat Papua yang masih memiliki hak untuk menentukan nasibnya sebagai bangsa yang merdeka, karena kepentingan AS dan Indonesia pada 1 Mei 1963 Papua dimasukan secara paksa oleh RI," demikian pernyataan FRI-WP dan AMP yang ditanda tangani masing-masing oleh Juru Bicara FRI-WP, Surya Anta dan Ketua AMP Jakarta, Frans Nawipa.
FRI-WP dan AMP selanjutnya mengulang posisi mereka yang berseberangan dengan pemerintah, selama ini sudah sering diungkapkan. FRI-WP dan AMP memandang wilayah Papua masuk menjadi wilayah NKRI adalah secara paksa lewat manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969, dan "wilayah Papua dijadikan wilayah jajahan."
"Indonesia mulai memperketat wilayah Papua dengan berbagai operasi sapu bersih terhadap gerakan perlawanan rakyat Papua yang tidak menghendaki kehadiran Indonesia di Papua, demikian pernyataan mereka.
Kini, lanjut pernyataan tersebut, 54 tahun sudah apa yang mereka sebut sebagai aneksasi itu, Dan berbagai peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan terus terjadi di Papua. "Hutan dan tanah-tanah adat dijadikan lahan jarahan bagi investasi perusahaan-perusahaan Multi National Coorporation (MNC) milik negara-negara Imperialis."
"Pembungkaman terhadap ruang demokrasi semakin nyata dilakukan oleh aparat negara (TNI-Polri) dengan melarang adanya kebebasan berekspresi bagi rakyat Papua didepan umum serta penangkapan disertai penganiayaan terhadap aktivis-aktivis pro kemerdekaan Papua," lanjut pernyataan itu.
Oleh karena itu, FRI-P dan AMP menyerukan empat tuntutan kepada RI dan PBB, yaitu,
Pertama, berikan kebebasan dalam menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua.
Kedua, menuntup dan menghentikan aktifitas eksploitasi semua perusahaan MNC milik negara-negara Imperialis; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari seluruh Tanah Papua.
Ketiga, menarik militer Indonesia (TNI-Polri) organik dan non- organik dari seluruh Tanah Papua untuk menghentikan segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap rakyat Papua.
Keempat, menjaim kebebasan jurnalis dan pers di Papua.
Kelima, membuka seluas-luasnya ruang akses demokrasi bagi rakyat Papua.
Sejarah dalam Dua Versi
Sementara itu versi sejarah resmi Indonesia justru memandang 1 Mei sebagai hari dimana kembalinya Papua ke pangkuan RI.
Pada 15 Agustus 1962 melalui upaya diplomasi yang difasilitasi PBB, Belanda menandatangani New York Agreement (NYA) bersama Indonesia Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann. Kedua belah pihak sepakat atas road map penyelesaian sengketa wilayah Papua.
Pada 21 September PBB menerima dan mengukuhkan NYA dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1752 yang mulai berlaku hari itu juga. Sejumlah pakar menilai resolusi PBB tersebut bukan penerimaan atau pengukuhan, namun hanya merupakan notifikasi.
Dalam NYA diatur pula penyerahan kekuasaan dari Belanda atas tanah Papua kepada PBB lalu setelah itu PBB menyerahkanya ke pemerintah Indonesia melalui referendum (PEPERA).
Pada 1 Oktober 1962, wakil gubernur jenderal Belanda H. Veldkamp menyerahkan kekuasaannya atas Papua kepada sebuah badan PBB yang khusus dibentuk untuk mengurusi masalah Papua, yaitu UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority).
Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada Indonesia. Hollandia yang tadinya menjadi pusat kekuasaan kerajaan Belanda di Papua, diubah namanya menjadi Kota Baru. Momentum 1 Mei ini hingga kini diperingati sebagai Hari kembalinya Papua ke dalam NKRI. (satuharapan.com)
"Amerika Serikat dan Indonesia melalui PBB telah memainkan peran politik di atas Tanah Papua, rakyat Papua yang masih memiliki hak untuk menentukan nasibnya sebagai bangsa yang merdeka, karena kepentingan AS dan Indonesia pada 1 Mei 1963 Papua dimasukan secara paksa oleh RI," demikian pernyataan FRI-WP dan AMP yang ditanda tangani masing-masing oleh Juru Bicara FRI-WP, Surya Anta dan Ketua AMP Jakarta, Frans Nawipa.
FRI-WP dan AMP selanjutnya mengulang posisi mereka yang berseberangan dengan pemerintah, selama ini sudah sering diungkapkan. FRI-WP dan AMP memandang wilayah Papua masuk menjadi wilayah NKRI adalah secara paksa lewat manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969, dan "wilayah Papua dijadikan wilayah jajahan."
"Indonesia mulai memperketat wilayah Papua dengan berbagai operasi sapu bersih terhadap gerakan perlawanan rakyat Papua yang tidak menghendaki kehadiran Indonesia di Papua, demikian pernyataan mereka.
Kini, lanjut pernyataan tersebut, 54 tahun sudah apa yang mereka sebut sebagai aneksasi itu, Dan berbagai peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan terus terjadi di Papua. "Hutan dan tanah-tanah adat dijadikan lahan jarahan bagi investasi perusahaan-perusahaan Multi National Coorporation (MNC) milik negara-negara Imperialis."
"Pembungkaman terhadap ruang demokrasi semakin nyata dilakukan oleh aparat negara (TNI-Polri) dengan melarang adanya kebebasan berekspresi bagi rakyat Papua didepan umum serta penangkapan disertai penganiayaan terhadap aktivis-aktivis pro kemerdekaan Papua," lanjut pernyataan itu.
Oleh karena itu, FRI-P dan AMP menyerukan empat tuntutan kepada RI dan PBB, yaitu,
Pertama, berikan kebebasan dalam menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua.
Kedua, menuntup dan menghentikan aktifitas eksploitasi semua perusahaan MNC milik negara-negara Imperialis; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari seluruh Tanah Papua.
Ketiga, menarik militer Indonesia (TNI-Polri) organik dan non- organik dari seluruh Tanah Papua untuk menghentikan segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap rakyat Papua.
Keempat, menjaim kebebasan jurnalis dan pers di Papua.
Kelima, membuka seluas-luasnya ruang akses demokrasi bagi rakyat Papua.
Sejarah dalam Dua Versi
Sementara itu versi sejarah resmi Indonesia justru memandang 1 Mei sebagai hari dimana kembalinya Papua ke pangkuan RI.
Pada 15 Agustus 1962 melalui upaya diplomasi yang difasilitasi PBB, Belanda menandatangani New York Agreement (NYA) bersama Indonesia Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann. Kedua belah pihak sepakat atas road map penyelesaian sengketa wilayah Papua.
Pada 21 September PBB menerima dan mengukuhkan NYA dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1752 yang mulai berlaku hari itu juga. Sejumlah pakar menilai resolusi PBB tersebut bukan penerimaan atau pengukuhan, namun hanya merupakan notifikasi.
Dalam NYA diatur pula penyerahan kekuasaan dari Belanda atas tanah Papua kepada PBB lalu setelah itu PBB menyerahkanya ke pemerintah Indonesia melalui referendum (PEPERA).
Pada 1 Oktober 1962, wakil gubernur jenderal Belanda H. Veldkamp menyerahkan kekuasaannya atas Papua kepada sebuah badan PBB yang khusus dibentuk untuk mengurusi masalah Papua, yaitu UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority).
Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada Indonesia. Hollandia yang tadinya menjadi pusat kekuasaan kerajaan Belanda di Papua, diubah namanya menjadi Kota Baru. Momentum 1 Mei ini hingga kini diperingati sebagai Hari kembalinya Papua ke dalam NKRI. (satuharapan.com)