Suku Toraja, Bugis, Amungme dan Kei Sepakat Akhiri Konflik di Timika
pada tanggal
Wednesday, 12 April 2017
TIMIKA (MIMIKA) - Kepolisian Resor Mimika, Papua, mengapresiasi tercapainya kesepakatan bersama suku-suku di Timika untuk mengakhiri konflik antarwarga yang sempat memicu suasana tidak kondusif di wilayah itu.
Kapolres Mimika AKBP Victor Dean Mackbon di Timika, Rabu, mengatakan Suku Toraja, Suku Bugis, Suku Amungme, Suku Kei Bombai, dan Suku Kei Holat telah bersepakat menyelesaikan secara damai kasus pembunuhan Luther Magal, Thomas Talubun, dan penyerangan warga Irigasi Ujung Jalan Hasanuddin pada beberapa waktu lalu.
"Terima kasih kepada semua pihak, baik dari Toraja, Bugis, Amungme, Kei Bombai, dan Kei Holat. Semua harus berpikir dewasa untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi dan tidak mengulangi lagi perbuatan yang sama di kemudian hari. Semua pihak menginginkan untuk hidup berdampingan secara damai di Timika," kata Victor.
Tokoh masyarakat Amungme, Pieter Yan Magal, mengatakan seringnya terjadi konflik antarwarga di Timika menunjukkan bahwa Kota Timika telah berkembang pesat.
"Ada pergesekan antarbudaya, kelompok, dan pribadi selalu terjadi di Timika. Ini sebuah proses menuju sebuah situasi yang semakin lebih baik. Hanya saja dalam setiap konflik itu, masyarakat terkadang tidak tahu-menahu, mereka cuma diadu domba. Maka perlu keterlibatan tokoh-tokoh untuk melihat persoalan-persoalan di tengah masyarakat kita," kata mantan Wakil Ketua DPRD Mimika itu.
Meski warga Mimika heterogen dari aspek kesukuan, Pieter Magal meminta semua pihak harus mengedepankan nasionalisme di atas segala-galanya, bukan malah mengedepankan semangat kedaerahan.
Jika setiap warga Timika masih tetap membangun pertahanan diri dalam lingkup suku atau kedaerahannya, katanya, hal itu dapat meretakkan semangat persatuan.
"Di atas lembaga adat harus ada wadah nasional yang menaungi suku-suku ini. Kalau tidak seperti itu, pasti masyarakat kita selalu bisa diadu domba untuk terlibat dalam konflik. Konflik membuat semua macet, ekonomi macet, anak-anak takut pergi ke sekolah, aktivitas masyarakat juga menjadi macet. Kita tidak menginginkan hal itu berlangsung di Timika," katanya.
Tokoh Amungme lainnya, Agustinus Anggaibak, mengatakan masyarakat Mimika, terutama di Kota Timika, membutuhkan rasa aman dan kenyamanan agar bisa melakukan aktivitas.
"Semua orang ingin bebas tanpa tekanan dari pihak manapun. Mari semua elemen masyarakat bersama pemerintah daerah, aparat TNI, dan Polri bekerja sama untuk menciptakan situasi keamanan yang kondusif di Timika," katanya.
Menurut mantan anggota DPRD Mimika itu, persoalan keamanan tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada aparat keamanan (TNI dan Polri), tetapi merupakan tugas dan tanggung jawab semua pihak, termasuk masyarakat.
"Jangan sampai ada kesan masyarakat dan pemerintah daerah lipat tangan lalu yang sibuk sana-sini mengurus masalah itu hanya TNI dan Polri. Itu tidak benar. Ini menjadi tanggung jawab kita semua. Kalau Timika aman maka sudah tentu pembangunan bisa berjalan baik," kata Agustinus. (antara)
Kapolres Mimika AKBP Victor Dean Mackbon di Timika, Rabu, mengatakan Suku Toraja, Suku Bugis, Suku Amungme, Suku Kei Bombai, dan Suku Kei Holat telah bersepakat menyelesaikan secara damai kasus pembunuhan Luther Magal, Thomas Talubun, dan penyerangan warga Irigasi Ujung Jalan Hasanuddin pada beberapa waktu lalu.
"Terima kasih kepada semua pihak, baik dari Toraja, Bugis, Amungme, Kei Bombai, dan Kei Holat. Semua harus berpikir dewasa untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi dan tidak mengulangi lagi perbuatan yang sama di kemudian hari. Semua pihak menginginkan untuk hidup berdampingan secara damai di Timika," kata Victor.
Tokoh masyarakat Amungme, Pieter Yan Magal, mengatakan seringnya terjadi konflik antarwarga di Timika menunjukkan bahwa Kota Timika telah berkembang pesat.
"Ada pergesekan antarbudaya, kelompok, dan pribadi selalu terjadi di Timika. Ini sebuah proses menuju sebuah situasi yang semakin lebih baik. Hanya saja dalam setiap konflik itu, masyarakat terkadang tidak tahu-menahu, mereka cuma diadu domba. Maka perlu keterlibatan tokoh-tokoh untuk melihat persoalan-persoalan di tengah masyarakat kita," kata mantan Wakil Ketua DPRD Mimika itu.
Meski warga Mimika heterogen dari aspek kesukuan, Pieter Magal meminta semua pihak harus mengedepankan nasionalisme di atas segala-galanya, bukan malah mengedepankan semangat kedaerahan.
Jika setiap warga Timika masih tetap membangun pertahanan diri dalam lingkup suku atau kedaerahannya, katanya, hal itu dapat meretakkan semangat persatuan.
"Di atas lembaga adat harus ada wadah nasional yang menaungi suku-suku ini. Kalau tidak seperti itu, pasti masyarakat kita selalu bisa diadu domba untuk terlibat dalam konflik. Konflik membuat semua macet, ekonomi macet, anak-anak takut pergi ke sekolah, aktivitas masyarakat juga menjadi macet. Kita tidak menginginkan hal itu berlangsung di Timika," katanya.
Tokoh Amungme lainnya, Agustinus Anggaibak, mengatakan masyarakat Mimika, terutama di Kota Timika, membutuhkan rasa aman dan kenyamanan agar bisa melakukan aktivitas.
"Semua orang ingin bebas tanpa tekanan dari pihak manapun. Mari semua elemen masyarakat bersama pemerintah daerah, aparat TNI, dan Polri bekerja sama untuk menciptakan situasi keamanan yang kondusif di Timika," katanya.
Menurut mantan anggota DPRD Mimika itu, persoalan keamanan tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada aparat keamanan (TNI dan Polri), tetapi merupakan tugas dan tanggung jawab semua pihak, termasuk masyarakat.
"Jangan sampai ada kesan masyarakat dan pemerintah daerah lipat tangan lalu yang sibuk sana-sini mengurus masalah itu hanya TNI dan Polri. Itu tidak benar. Ini menjadi tanggung jawab kita semua. Kalau Timika aman maka sudah tentu pembangunan bisa berjalan baik," kata Agustinus. (antara)