Lisye Elvina Kareni, Peserta Beasiswa AdiK yang Sukses
pada tanggal
Tuesday, 25 April 2017
JAKARTA - Salah satu peserta beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (AdiK) Papua, Lisye Elvina Kareni resmi menyandang predikat Sarjana Kedokteran pada Sabtu (22/4).
Gadis asal Jayapura, Provinsi Papua, ini berhasil merampungkan studi Pendidikan Kedokteran di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS).
Lisye telah melewati perjuangan panjang hingga akhirnya ia sukses merampungkan kuliah dalam waktu tiga tahun enam bulan alias tujuh semester. Bermula pada 2013, saat ia lolos seleksi .
Di bawah naungan Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti, program ini diterapkan untuk melakukan pemerataan akses pendidikan tinggi bagi putera-puteri Indonesia di pulau terluar atau pedalaman.
Di awal perkuliahan, Lisye sempat merasa putus asa dan hampir menyerah. Ketertinggalan kurikulum saat ia mengenyam pendidikan menengah di Papua, membuatnya kewalahan ketika harus beradaptasi dengan iklim akademik di kampus kedokteran ini.
“Kerasa betul di semester pertama. Waktu SMA di Papua, pengetahuan saya belum sejauh yang dikuasai teman-teman di sini. Kendala bahasa dan budaya juga. Saya mesti adaptasi banget,” ungkap Lisye.
Beruntung, gadis berusia 22 ini memiliki tekad sekuat baja. Tidak pantang menyerah, ia terus belajar dan mengimbangi kultur akademik serta pergaulan dengan karib di kampus. Gadis yang kini sudah fasih berbahasa Jawa dialek Solo ini, mengaku tidak ingin kesempatan meraih pendidikan tinggi, apalagi dengan beasiswa negara, menjadi sia-sia. Terlebih, fasilitas dan akses berobat di Papua yang terbatas, menyulut semangatnya untuk segera menjadi dokter untuk di sana.
“Saya kepingin sukses, inget mama, dan inget saya harus kembali ke Papua menjadi dokter. Saya ingin membangun Papua, mendarmakan ilmu saya,” terangnya penuh semangat.
Wakil Rektor Bidang Akademik UNS, Sutarno, membenarkan bahwa mahasiswa Program Afirmasi mendapati sejumlah kendala dalam mengikuti ritme akademik. Meski demikian, pihak perguruan tinggi merancang sejumlah pendampingan khusus serta matrikulasi telah diberikan kepada mahasiswa yang berasal dari Papua dan daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) lainnya.
“Berkali-kali, kasus minta pindah program studi, terjadi. Jarang sekali yang bisa tekun merampungkan seperti Lisye,” papar Sutarno, saat ditemui usai prosesi wisuda.
Lisye lulus dengan indeks prestasi kumulatif 3,22. Skripsinya tentang pemeriksaan trombosit dalam kajian hematologi menjadi pamungkas studinya. Menurut Lisye, kunci kesuksesannya adalah tekun mengikuti perkuliahan, pandai bergaul atau menyesuaikan kultur di tanah perantauan, dan percaya kepada Tuhan.
Pencapaian Lisye menjadi motivasi bagi teman-temannya, peserta program AdiK, yang saat ini masih menjalani proses perkuliahan. Termasuk adik kandungnya, Aprilia Sasarari, mahasiswa Ilmu Peternakan UNS.
“Kami bangga dengan Kak Lisye. Semua teman-teman Afirmasi dari Papua, ingin sesukses dia. Kami juga sedang berjuang,” kata Aprilia. (kemenristekdikti)
Gadis asal Jayapura, Provinsi Papua, ini berhasil merampungkan studi Pendidikan Kedokteran di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS).
Lisye telah melewati perjuangan panjang hingga akhirnya ia sukses merampungkan kuliah dalam waktu tiga tahun enam bulan alias tujuh semester. Bermula pada 2013, saat ia lolos seleksi .
Di bawah naungan Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti, program ini diterapkan untuk melakukan pemerataan akses pendidikan tinggi bagi putera-puteri Indonesia di pulau terluar atau pedalaman.
Di awal perkuliahan, Lisye sempat merasa putus asa dan hampir menyerah. Ketertinggalan kurikulum saat ia mengenyam pendidikan menengah di Papua, membuatnya kewalahan ketika harus beradaptasi dengan iklim akademik di kampus kedokteran ini.
“Kerasa betul di semester pertama. Waktu SMA di Papua, pengetahuan saya belum sejauh yang dikuasai teman-teman di sini. Kendala bahasa dan budaya juga. Saya mesti adaptasi banget,” ungkap Lisye.
Beruntung, gadis berusia 22 ini memiliki tekad sekuat baja. Tidak pantang menyerah, ia terus belajar dan mengimbangi kultur akademik serta pergaulan dengan karib di kampus. Gadis yang kini sudah fasih berbahasa Jawa dialek Solo ini, mengaku tidak ingin kesempatan meraih pendidikan tinggi, apalagi dengan beasiswa negara, menjadi sia-sia. Terlebih, fasilitas dan akses berobat di Papua yang terbatas, menyulut semangatnya untuk segera menjadi dokter untuk di sana.
“Saya kepingin sukses, inget mama, dan inget saya harus kembali ke Papua menjadi dokter. Saya ingin membangun Papua, mendarmakan ilmu saya,” terangnya penuh semangat.
Wakil Rektor Bidang Akademik UNS, Sutarno, membenarkan bahwa mahasiswa Program Afirmasi mendapati sejumlah kendala dalam mengikuti ritme akademik. Meski demikian, pihak perguruan tinggi merancang sejumlah pendampingan khusus serta matrikulasi telah diberikan kepada mahasiswa yang berasal dari Papua dan daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) lainnya.
“Berkali-kali, kasus minta pindah program studi, terjadi. Jarang sekali yang bisa tekun merampungkan seperti Lisye,” papar Sutarno, saat ditemui usai prosesi wisuda.
Lisye lulus dengan indeks prestasi kumulatif 3,22. Skripsinya tentang pemeriksaan trombosit dalam kajian hematologi menjadi pamungkas studinya. Menurut Lisye, kunci kesuksesannya adalah tekun mengikuti perkuliahan, pandai bergaul atau menyesuaikan kultur di tanah perantauan, dan percaya kepada Tuhan.
Pencapaian Lisye menjadi motivasi bagi teman-temannya, peserta program AdiK, yang saat ini masih menjalani proses perkuliahan. Termasuk adik kandungnya, Aprilia Sasarari, mahasiswa Ilmu Peternakan UNS.
“Kami bangga dengan Kak Lisye. Semua teman-teman Afirmasi dari Papua, ingin sesukses dia. Kami juga sedang berjuang,” kata Aprilia. (kemenristekdikti)