HRWG Apresiasi Niat Terbuka Pempus untuk Papua pada Sidang Dewan HAM PBB
pada tanggal
Monday, 3 April 2017
JAKARTA - Human Rights Working Group (HRWG) mengapreasiasi niat Pemerintah Republik Indonesia untuk lebih terbuka pada sidang berkala Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 3 Mei mendatang.
Direktur Eksekutif HRWG Muhammad Hafiz dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu, mengatakan pemerintah harus lebih bersikap terbuka dan jujur tentang tantangan serta kendala penegakkan HAM di Indonesia dalam Sidang Universal Periodic Review (UPR) tersebut.
Menurut dia salah satu materi yang diangkat pada pertemuan itu adalah pelanggaran HAM dan akses jurnalis asing ke Papua.
"Sehingga menutup-nutupi situasi yang sebenarnya justru akan meletakkan pemerintah pada posisi defensif dan tidak jujur," ujar dia.
Ia mengemukakan dalam skema yang demokratis dan terbuka saat ini, sangat sulit untuk menutupi kondisi nyata di setiap negara.
"Bila demikian, maka hal ini tentu tidak baik bagi posisi Indonesia sendiri di hadapan negara-negara lain," tutur Hafiz.
Menurut dia, ada beberapa isu signifikan yang menjadi fokus dalam Sidang UPR mendatang, terutama selama periode 2012-2017.
"Kasus-kasus tersebut tentu akan menjadi perhatian negara-negara, apalagi jika penyelesaiannya belum nampak nyata," ujarnya, menambahkan.
Selain masalah HAM Papua, ada beberapa isu lain yang potensial muncul antara lain eksekusi mati yang terus dilanjutkan Pemerintah Indonesia, kasus kebebasan beragama yang hingga sekarang belum selesai, pengikut Gafatar yang terusir dari Menpawah Kalimantan Barat serta kriminalisasi terhadap penganutny, hak-hak kaum disabilitas terutama layanan kesehatan, pasung dan perempuan disabilitas, dan pengabaian hak masyarakat adat.
Terhadap isu-isu tersebut, HRWG mengharapkan pemerintah telah menyiapkan jawaban yang valid dan kredibel, termasuk upaya dan komitmen yang sedang dilakukan.
"Jawaban pemerintah akan menjadi catatan bagi masyarakat sipil dan komunitas internasional sehingga jawaban yang defensif justru akan memperburuk citra Indonesia itu sendiri," ucap Hafiz.
Apalagi, tambah Hafiz, terhadap isu-isu tersebut, masyarakat sipil Indonesia telah menyampaikan laporannya pada September 2016 lalu.
Mekanisme UPR rutin dilaksanakan empat tahunan, sejak 2008 dan diteruskan pada 2012. Review 2017 merupakan kali ketiga Indonesia ikut dalam evaluasi universal tersebut.
Hafiz menjelaskan UPR adalah mekanisme unik di mana menggambarkan kesetaraan semua negara di dunia karena 193 Negara PBB di-review oleh anggota PBB yang lain tentang sejauh mana hak asasi manusia dijalankan di level nasional.
Oleh karena itu, lanjut Hafiz, mekanisme seharusnya disikapi secara dewasa oleh pemerintah dan publik di Indonesia sebagai bagian dari reformasi PBB yang sering kali memposisikan negara-negara berkembang secara timpang.
"Artinya, dalam iklim kesetaraan dan demokratis, Indonesia juga dapat mengevaluasi dan berkomentar terhadap situasi HAM di negara-negara lain ketika mereka direview di dalam UPR," ujarnya.
Indonesia adalah salah satu negara yang sejak awal telah memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan mekanisme UPR di mana partisipasi masyarakat sipil diperkuat, bersedia secara sukarela pada tntuk di-review untuk pertama kalinya, dan terlibat dalam perumusan prosedur UPR sejak Dewan HAM masih menjadi Komisi HAM. (antara/papuanesia)
Direktur Eksekutif HRWG Muhammad Hafiz dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu, mengatakan pemerintah harus lebih bersikap terbuka dan jujur tentang tantangan serta kendala penegakkan HAM di Indonesia dalam Sidang Universal Periodic Review (UPR) tersebut.
Menurut dia salah satu materi yang diangkat pada pertemuan itu adalah pelanggaran HAM dan akses jurnalis asing ke Papua.
"Sehingga menutup-nutupi situasi yang sebenarnya justru akan meletakkan pemerintah pada posisi defensif dan tidak jujur," ujar dia.
Ia mengemukakan dalam skema yang demokratis dan terbuka saat ini, sangat sulit untuk menutupi kondisi nyata di setiap negara.
"Bila demikian, maka hal ini tentu tidak baik bagi posisi Indonesia sendiri di hadapan negara-negara lain," tutur Hafiz.
Menurut dia, ada beberapa isu signifikan yang menjadi fokus dalam Sidang UPR mendatang, terutama selama periode 2012-2017.
"Kasus-kasus tersebut tentu akan menjadi perhatian negara-negara, apalagi jika penyelesaiannya belum nampak nyata," ujarnya, menambahkan.
Selain masalah HAM Papua, ada beberapa isu lain yang potensial muncul antara lain eksekusi mati yang terus dilanjutkan Pemerintah Indonesia, kasus kebebasan beragama yang hingga sekarang belum selesai, pengikut Gafatar yang terusir dari Menpawah Kalimantan Barat serta kriminalisasi terhadap penganutny, hak-hak kaum disabilitas terutama layanan kesehatan, pasung dan perempuan disabilitas, dan pengabaian hak masyarakat adat.
Terhadap isu-isu tersebut, HRWG mengharapkan pemerintah telah menyiapkan jawaban yang valid dan kredibel, termasuk upaya dan komitmen yang sedang dilakukan.
"Jawaban pemerintah akan menjadi catatan bagi masyarakat sipil dan komunitas internasional sehingga jawaban yang defensif justru akan memperburuk citra Indonesia itu sendiri," ucap Hafiz.
Apalagi, tambah Hafiz, terhadap isu-isu tersebut, masyarakat sipil Indonesia telah menyampaikan laporannya pada September 2016 lalu.
Mekanisme UPR rutin dilaksanakan empat tahunan, sejak 2008 dan diteruskan pada 2012. Review 2017 merupakan kali ketiga Indonesia ikut dalam evaluasi universal tersebut.
Hafiz menjelaskan UPR adalah mekanisme unik di mana menggambarkan kesetaraan semua negara di dunia karena 193 Negara PBB di-review oleh anggota PBB yang lain tentang sejauh mana hak asasi manusia dijalankan di level nasional.
Oleh karena itu, lanjut Hafiz, mekanisme seharusnya disikapi secara dewasa oleh pemerintah dan publik di Indonesia sebagai bagian dari reformasi PBB yang sering kali memposisikan negara-negara berkembang secara timpang.
"Artinya, dalam iklim kesetaraan dan demokratis, Indonesia juga dapat mengevaluasi dan berkomentar terhadap situasi HAM di negara-negara lain ketika mereka direview di dalam UPR," ujarnya.
Indonesia adalah salah satu negara yang sejak awal telah memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan mekanisme UPR di mana partisipasi masyarakat sipil diperkuat, bersedia secara sukarela pada tntuk di-review untuk pertama kalinya, dan terlibat dalam perumusan prosedur UPR sejak Dewan HAM masih menjadi Komisi HAM. (antara/papuanesia)