Dainius Puras Angkat 7 Isu Tentang Kesehatan Orang Papua
pada tanggal
Thursday, 13 April 2017
MANOKWARI - Setidaknya tujuh isu terkait pelayanan kesehatan terhadap Orang Asli Papua (OAP) disampaikan oleh para saksi dan korban dari kalangan masyarakat sipil dan adat di Tanah Papua kepada Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Dr Dainius Puras melalui testimoni, saat bertemu di Kantor Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua di Argapura, Kota Jayapura, belum lama ini.
Hal ini diungkapkan oleh Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, dalam keterangannya kepada satuharapan.com, hari ini (10/04).
Dainius Puras berkunjung ke Jayapura pada 29 April 2017. Selain bertemu dengan pejabat pemerintah setempat, ia juga mengadakan pertemuan dengan kelompok masyarakat sipil.
Ketujuh isu dimaksud meliputi soal fasilitas kesehatan, kebijakan kesehatan, akses kesehatan bagi aktivis (tahanan politik dan narapidana politik), kesehatan ibu dan anak, diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), kejadian luar biasa (wabah) serta soal kematian anak di Distrik Mbua-Kabupaten Nduga-Provinsi Papua.
Yan Christian mengatakan, dari ketujuh isu kesehatan tersebut, yang disoroti misalnya mengenai fasilitas pelayanan kesehatan pada sejumlah rumah sakit di Tanah Papua yang masih sangat minimal. Baik dari segi ketersediaan peralatan medis canggih seperti CT Scan, USG maupun tenaga dokter sepesialis yang memadai.
Selain itu, soal pelayanan kesehatan bagi para aktivis (tapol/napol) di lembaga-lembaga pemasyarakatan (lapas) termasuk di Papua Barat, juga tercatat tidak layak.
"Jika ada tapo/napol yang sakit saat ditahan tidak mendapatkan pemeriksaan medis yang memadai, seperti tidak ada tenaga dokter khusus di lapas/tahanan bahkan jika harus dirawat maka keluarganya menanggung pembiayaan tersebut, padahal sudah ada biaya negara," demikian keterangan Yan Christian.
Juga mengenai soal program Keluaraga Berencana (KB) di beberapa daerah pegunungan di Tanah Papua, seperti di Kabupaten Yahukimo yang justru menyebabkan ibu-ibu menjadi "steril" dan tidak bisa mengandung/melahirkan lagi, sehingga menjadi faktor pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (domestic violance).
Secara khusus pula dipaparkan mengenai soal wabah di Distrik Koroway-Kabupaten Yahukimo yang hingga kini belum diketahui sebabnya serta kematian anak di Distrik Mbua-Kabupaten Nduga yang hingga saat ini sudah mencapai angka 80 orang anak meninggal dunia.
Setelah Dainius Puras meninggalkan Papua, ketiga saksi dan korban dari Manokwari-Papua Barat kembali mempresentasikan testimoninya di Kantor Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari.
Ketiga saksi dan korban tersebut terdiri dari Alexander Nekenem sebagai salah satu korban dari sisi pelayanan kesehatan kepada para aktivis (tapol/napol), Nyonya Ferdinanda Ibo-Yatipay menyangkut soal kebijakan bidang kesehatan sejak periode pemerintah Belanda, UNTEA dan Indonesia.
Selain itu turut pula berbicara Kepala Divisi Advokasi Hak Perempuan dan Anak LP3BH Manokwari, Advokat Theresje Julianty Gasperz, yang lebih banyak berbicara mengenai soal kekerasa dalam rumah tangga (KDRT/domestic violance) serta juga soal akses pelayanan kesehatan yang sama sekali diabaikan oleh negara dalam konteks perkara-perkara pidana politik/makar di Tanah Papua, khususnya di Manokwari-Papua Barat.
Semua penyampaian tersebut sudah dirangkum dalam sebuah laporan yang secara khusus disampaikan kepada Pelapor Khusus PBB bidang kesehatan tersebut serta dikirim kepada Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang berkedudukan di Jenewa, Swiss.
Laporan yang sama nantinya oleh LP3BH akan disampaikan kepada pihak-pihak yang berkompeten di Indonesia dan tanah Papua. (satuharapan.com)
Hal ini diungkapkan oleh Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, dalam keterangannya kepada satuharapan.com, hari ini (10/04).
Dainius Puras berkunjung ke Jayapura pada 29 April 2017. Selain bertemu dengan pejabat pemerintah setempat, ia juga mengadakan pertemuan dengan kelompok masyarakat sipil.
Ketujuh isu dimaksud meliputi soal fasilitas kesehatan, kebijakan kesehatan, akses kesehatan bagi aktivis (tahanan politik dan narapidana politik), kesehatan ibu dan anak, diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), kejadian luar biasa (wabah) serta soal kematian anak di Distrik Mbua-Kabupaten Nduga-Provinsi Papua.
Yan Christian mengatakan, dari ketujuh isu kesehatan tersebut, yang disoroti misalnya mengenai fasilitas pelayanan kesehatan pada sejumlah rumah sakit di Tanah Papua yang masih sangat minimal. Baik dari segi ketersediaan peralatan medis canggih seperti CT Scan, USG maupun tenaga dokter sepesialis yang memadai.
Selain itu, soal pelayanan kesehatan bagi para aktivis (tapol/napol) di lembaga-lembaga pemasyarakatan (lapas) termasuk di Papua Barat, juga tercatat tidak layak.
"Jika ada tapo/napol yang sakit saat ditahan tidak mendapatkan pemeriksaan medis yang memadai, seperti tidak ada tenaga dokter khusus di lapas/tahanan bahkan jika harus dirawat maka keluarganya menanggung pembiayaan tersebut, padahal sudah ada biaya negara," demikian keterangan Yan Christian.
Juga mengenai soal program Keluaraga Berencana (KB) di beberapa daerah pegunungan di Tanah Papua, seperti di Kabupaten Yahukimo yang justru menyebabkan ibu-ibu menjadi "steril" dan tidak bisa mengandung/melahirkan lagi, sehingga menjadi faktor pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (domestic violance).
Secara khusus pula dipaparkan mengenai soal wabah di Distrik Koroway-Kabupaten Yahukimo yang hingga kini belum diketahui sebabnya serta kematian anak di Distrik Mbua-Kabupaten Nduga yang hingga saat ini sudah mencapai angka 80 orang anak meninggal dunia.
Setelah Dainius Puras meninggalkan Papua, ketiga saksi dan korban dari Manokwari-Papua Barat kembali mempresentasikan testimoninya di Kantor Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari.
Ketiga saksi dan korban tersebut terdiri dari Alexander Nekenem sebagai salah satu korban dari sisi pelayanan kesehatan kepada para aktivis (tapol/napol), Nyonya Ferdinanda Ibo-Yatipay menyangkut soal kebijakan bidang kesehatan sejak periode pemerintah Belanda, UNTEA dan Indonesia.
Selain itu turut pula berbicara Kepala Divisi Advokasi Hak Perempuan dan Anak LP3BH Manokwari, Advokat Theresje Julianty Gasperz, yang lebih banyak berbicara mengenai soal kekerasa dalam rumah tangga (KDRT/domestic violance) serta juga soal akses pelayanan kesehatan yang sama sekali diabaikan oleh negara dalam konteks perkara-perkara pidana politik/makar di Tanah Papua, khususnya di Manokwari-Papua Barat.
Semua penyampaian tersebut sudah dirangkum dalam sebuah laporan yang secara khusus disampaikan kepada Pelapor Khusus PBB bidang kesehatan tersebut serta dikirim kepada Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang berkedudukan di Jenewa, Swiss.
Laporan yang sama nantinya oleh LP3BH akan disampaikan kepada pihak-pihak yang berkompeten di Indonesia dan tanah Papua. (satuharapan.com)