Masuk Ras Melanesia, Suku Yali, Hubula dan Lani Minta Pengakuan Indonesia dan PBB
pada tanggal
Tuesday, 28 March 2017
WAMENA (JAYAWIJAYA) - Tiga suku besar yang terhimpun dalam Dewan Adat Wilayah Balim (La Pago), meminta kepada pemerintah Indonesia dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengakui masyarakat adat dan wilayah hukum adat Papua sebagai sebuah ras dan rumpun bangsa Melanesia di Pasifik Bagian Barat.
Mereka juga mendesak PBB, RI dan negara-negara di dunia untuk mengakui hak menentukan nasib sendiri bagi mereka, sebagai pengakuan atas HAM, kedaulatan demokrasi dan sosial politik, termasuk kedaulatan adat dan budaya untuk berbahasa ibu di dalam suku.
Permintaan itu disampaikan dalam resolusi berisi 14 pokok yang mereka rumuskan dalam sebuah rapat pleno Dewan Adat Wilayah Balim pada 21-23 Maret lalu di Gedung Sosial Katolik (Soska), Hubula, Wamena.
Menurut siaran pers yang diterima satuharapan.com dari Sekretaris Dewan Adat Wilayah Balim (La Pago), Dominikus Surabut, rapat pleno itu dihadiri 150 orang yang merupakan perwakilan dari tiga suku besar di wilayah Balim.
Tiga suku besar tersebut adalah suku Yali Besar, suku Hubula dan suku Lani Besar.
Masing-masing suku besar itu diwakili oleh sejumlah kepala suku dalam menandatangani resolusi.
Penandatangan resolusi dari suku Yali Besar, adalah Wilem Alua, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Baptekma, Email Omoldoman, kepala suku/ketua Dewan Adat daerah Mek, Yulius Bai, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Yali Selatan, Pontius Sunyap, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Una Ukam dan Silas Wamu, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Yali Barat.
Penandatangan resolusi dari suku besar Hubula masing-masing adalah Bonifasius Mulait, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Hubula, Kares Watipo,kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Kurima, Julius Heselo, kepala suku/ketua Adat Daerah Hubla dan Dius Hiluka,kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Ngalik Momuna.
Sementara itu perwakilan suku Lani Besar, masing-masing adalah Simet Jikwa, kepala suku /ketua Dewan Adat Daerah Bogo, ISebel Murib, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Yamo, Koyon Dius Murib, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Koyon, Kelibenus Tabuni, kepala suku/ketua Dwean Adat Daerah Mamid/Kembu, Bernandus Yigibalom, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Tiom Mangga, Gerard Wakerkwa, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Buguk/Gonak/Balim Barat, Menes Murib, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Kuyawani, Orowi Wenda, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Balim Tengah dan Pandinus Wanimbo, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Toli.
Menata Diri dari Tercerai-berai
Rapat pleno yang mengambil tema, "Masyarakat Adat Balim Menata Diri dari Tercerai Berai,” bertujuan untuk merevitalisasi kelembagaan masyarakat adat dari ancaman hak-hak dasar, kehancuran otoritas, dan perlindungan identitas dari kepunahan.
Disebutkan bahwa selama ini masyarakat adat Balim, banyak dirugikan dan menjadi korban secara politik.
Kerugian masyarakat adat Balim terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, lingkungan hidup maupun di bidang sosial dan budaya serta demokrasi.
Secara khusus disebutkan bahwa angka kematian masyarakat adat Balim semakin tinggi, anak putus sekolah juga semakin banyak. Lebih jauh dikatakan bahwa ruang demokrasi dan hak kebebasan dibungkam dan sistem perekonomian masyarakat adat, secara sadar dihancurkan.
Dalam upaya mempertahankan hak dasar, otoritas dan melindungi identitas, yang diakui sedang tercerai berai menuju pada pemusnahan, Dewan Adat Wilayah Balim sepakat menyatakan sudah saatnya bagi rakyat Papua menentukan nasibnya sendiri diatas tanahnya secara bebas.
Ditekankan bahwa Tanah, Hutan, dan Air di wilayah adat Balim adalah hak milik mutlak masyarakat adat sebagai sumber hidup dan kehidupan.
Dalam resolusi, ditegaskan pula keinginan untuk diakui sebagai ras dan rumpun bangsa Melanesia di Pasifik bagian Barat, diberikannya hak penentuan nasib sendiri, dukungan pada United Liberation Movement of West Papua (ULMWP), IPWP dan ILWP, dan desakan agar pemerintah Indonesia membuka akses Pacific Islands Forum (PIF) untuk datang ke Papua.
Mereka mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka akses bagi jurnalis asing, diplomat, senator, akademisi dan pemerhati hak asasi manusia untuk masuk di Tanah Papua, dan mendukung pemilik Hak Ulayat Gunung Nemangkawi dan Danau Wonagon bagian Timur dan Utara, menyatakan agar operasi tambang PT. Freeport Indonesia ditutup, karena kehadiran mereka dianggap sumber utama kejahatan kemanusian terhadap masyarakat adat.
Mereka juga menyerukan agar para pelaku pelanggaran HAM di Papua ditangkap dan diadili melalui mahkamah internasional. Pada saat yang sama mereka meminta agar Pekerja HAM Internasional segera masuk ke Papua, menginvestigasi kasus pelanggaran HAM sejak Papua diintegrasikan ke NKRI sampai sekarang.
Di bagian lain diserukan agar pemerintah RI menarik pasukan organik dan nonorganik dari Papua serta menmbatasi arus migrasi masuk ke Papua, dengan alasan sedang terjadi penurunan jumlah jiwa penduduk masyarakat adat Papua. (satuharapan.com)
Mereka juga mendesak PBB, RI dan negara-negara di dunia untuk mengakui hak menentukan nasib sendiri bagi mereka, sebagai pengakuan atas HAM, kedaulatan demokrasi dan sosial politik, termasuk kedaulatan adat dan budaya untuk berbahasa ibu di dalam suku.
Permintaan itu disampaikan dalam resolusi berisi 14 pokok yang mereka rumuskan dalam sebuah rapat pleno Dewan Adat Wilayah Balim pada 21-23 Maret lalu di Gedung Sosial Katolik (Soska), Hubula, Wamena.
Menurut siaran pers yang diterima satuharapan.com dari Sekretaris Dewan Adat Wilayah Balim (La Pago), Dominikus Surabut, rapat pleno itu dihadiri 150 orang yang merupakan perwakilan dari tiga suku besar di wilayah Balim.
Tiga suku besar tersebut adalah suku Yali Besar, suku Hubula dan suku Lani Besar.
Masing-masing suku besar itu diwakili oleh sejumlah kepala suku dalam menandatangani resolusi.
Penandatangan resolusi dari suku Yali Besar, adalah Wilem Alua, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Baptekma, Email Omoldoman, kepala suku/ketua Dewan Adat daerah Mek, Yulius Bai, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Yali Selatan, Pontius Sunyap, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Una Ukam dan Silas Wamu, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Yali Barat.
Penandatangan resolusi dari suku besar Hubula masing-masing adalah Bonifasius Mulait, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Hubula, Kares Watipo,kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Kurima, Julius Heselo, kepala suku/ketua Adat Daerah Hubla dan Dius Hiluka,kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Ngalik Momuna.
Sementara itu perwakilan suku Lani Besar, masing-masing adalah Simet Jikwa, kepala suku /ketua Dewan Adat Daerah Bogo, ISebel Murib, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Yamo, Koyon Dius Murib, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Koyon, Kelibenus Tabuni, kepala suku/ketua Dwean Adat Daerah Mamid/Kembu, Bernandus Yigibalom, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Tiom Mangga, Gerard Wakerkwa, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Buguk/Gonak/Balim Barat, Menes Murib, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Kuyawani, Orowi Wenda, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Balim Tengah dan Pandinus Wanimbo, kepala suku/ketua Dewan Adat Daerah Toli.
Menata Diri dari Tercerai-berai
Rapat pleno yang mengambil tema, "Masyarakat Adat Balim Menata Diri dari Tercerai Berai,” bertujuan untuk merevitalisasi kelembagaan masyarakat adat dari ancaman hak-hak dasar, kehancuran otoritas, dan perlindungan identitas dari kepunahan.
Disebutkan bahwa selama ini masyarakat adat Balim, banyak dirugikan dan menjadi korban secara politik.
Kerugian masyarakat adat Balim terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, lingkungan hidup maupun di bidang sosial dan budaya serta demokrasi.
Secara khusus disebutkan bahwa angka kematian masyarakat adat Balim semakin tinggi, anak putus sekolah juga semakin banyak. Lebih jauh dikatakan bahwa ruang demokrasi dan hak kebebasan dibungkam dan sistem perekonomian masyarakat adat, secara sadar dihancurkan.
Dalam upaya mempertahankan hak dasar, otoritas dan melindungi identitas, yang diakui sedang tercerai berai menuju pada pemusnahan, Dewan Adat Wilayah Balim sepakat menyatakan sudah saatnya bagi rakyat Papua menentukan nasibnya sendiri diatas tanahnya secara bebas.
Ditekankan bahwa Tanah, Hutan, dan Air di wilayah adat Balim adalah hak milik mutlak masyarakat adat sebagai sumber hidup dan kehidupan.
Dalam resolusi, ditegaskan pula keinginan untuk diakui sebagai ras dan rumpun bangsa Melanesia di Pasifik bagian Barat, diberikannya hak penentuan nasib sendiri, dukungan pada United Liberation Movement of West Papua (ULMWP), IPWP dan ILWP, dan desakan agar pemerintah Indonesia membuka akses Pacific Islands Forum (PIF) untuk datang ke Papua.
Mereka mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka akses bagi jurnalis asing, diplomat, senator, akademisi dan pemerhati hak asasi manusia untuk masuk di Tanah Papua, dan mendukung pemilik Hak Ulayat Gunung Nemangkawi dan Danau Wonagon bagian Timur dan Utara, menyatakan agar operasi tambang PT. Freeport Indonesia ditutup, karena kehadiran mereka dianggap sumber utama kejahatan kemanusian terhadap masyarakat adat.
Mereka juga menyerukan agar para pelaku pelanggaran HAM di Papua ditangkap dan diadili melalui mahkamah internasional. Pada saat yang sama mereka meminta agar Pekerja HAM Internasional segera masuk ke Papua, menginvestigasi kasus pelanggaran HAM sejak Papua diintegrasikan ke NKRI sampai sekarang.
Di bagian lain diserukan agar pemerintah RI menarik pasukan organik dan nonorganik dari Papua serta menmbatasi arus migrasi masuk ke Papua, dengan alasan sedang terjadi penurunan jumlah jiwa penduduk masyarakat adat Papua. (satuharapan.com)