Gereja Katolik di Timika Larang Warga Amungme dan Kamoro Jual Tanah
pada tanggal
Monday, 27 March 2017
TIMIKA (MIMIKA) - Keuskupan Timika melarang masyarakat Papua asli Mimika, suku Amungme dan Kamoro menjual tanah agar tidak kehilangan harta benda berharga para pendahulu yang akan menyulitkan anak cucu di kemudian hari.
Uskup Timika, John Philip Saklil di Timika, Senin, mengatakan larangan tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat asli Mimika dari ancaman jual beli tanah yang semakin marak dilakukan oleh pemilik tanah dan menjadi sebuah kebiasaan baru.
"Masyarakat Papua hidup dengan mengolah tanah atau dusun mereka, bukan hidup dari uang hasil jual tanah. Saya marah mereka yang suka jual-jual tanah," katanya.
Ia menilai jika tanah atau dusun-dusun masyarakat diselamatkan dari praktik jual beli maka hidup mereka akan sejahtera, namun sebaliknya jika tanah yang ada semakin sempit karena sudah dijual maka mereka akan terpinggirkan.
"Kalau tungku api di rumah sudah tidak berasap lagi maka itu sama dengan tidak ada kehidupan. Tungku api dalam hal ini tanah atau dusun memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Papua," ujarnya.
Jika dusun milik masyarakat tidak dijual dan dikelola dengan baik maka situasi Freeport terkini sama sekali tidak berpengaruh kepada kehidupan ekonomi masyarakat Mimika.
Untuk mendukung itu, pemimpin Gereja Katolik di Timika itu juga mengharapkan partisipasi semua pihak dalam melindungi masyarakat Mimika termasuk melindungi masyarakat dari kebiasaan menjual tanah.
Ia juga meminta pengusaha untuk tidak memanfaatkan situasi masyarakat asli dengan mengiming-imingi sejumlah uang untuk memperoleh ratusan bahkan ribuan hektare dusun masyarakat.
"Perlu adanya regulasi tentang hak masyarakat adat yang dipatuhi bersama misalnya dalam bentuk peraturan kampung atau kemudian menjadi peraturan daerah," ucapnya. (antara)
Uskup Timika, John Philip Saklil di Timika, Senin, mengatakan larangan tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat asli Mimika dari ancaman jual beli tanah yang semakin marak dilakukan oleh pemilik tanah dan menjadi sebuah kebiasaan baru.
"Masyarakat Papua hidup dengan mengolah tanah atau dusun mereka, bukan hidup dari uang hasil jual tanah. Saya marah mereka yang suka jual-jual tanah," katanya.
Ia menilai jika tanah atau dusun-dusun masyarakat diselamatkan dari praktik jual beli maka hidup mereka akan sejahtera, namun sebaliknya jika tanah yang ada semakin sempit karena sudah dijual maka mereka akan terpinggirkan.
"Kalau tungku api di rumah sudah tidak berasap lagi maka itu sama dengan tidak ada kehidupan. Tungku api dalam hal ini tanah atau dusun memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Papua," ujarnya.
Jika dusun milik masyarakat tidak dijual dan dikelola dengan baik maka situasi Freeport terkini sama sekali tidak berpengaruh kepada kehidupan ekonomi masyarakat Mimika.
Untuk mendukung itu, pemimpin Gereja Katolik di Timika itu juga mengharapkan partisipasi semua pihak dalam melindungi masyarakat Mimika termasuk melindungi masyarakat dari kebiasaan menjual tanah.
Ia juga meminta pengusaha untuk tidak memanfaatkan situasi masyarakat asli dengan mengiming-imingi sejumlah uang untuk memperoleh ratusan bahkan ribuan hektare dusun masyarakat.
"Perlu adanya regulasi tentang hak masyarakat adat yang dipatuhi bersama misalnya dalam bentuk peraturan kampung atau kemudian menjadi peraturan daerah," ucapnya. (antara)