ELSAM Nilai PT Freeport Indonesia Rampas Lahan Adat Masyarakat Papua
pada tanggal
Monday, 6 March 2017
JAKARTA - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) di Jakarta melalui Direktur Eksekutifnya Wahyu Wagiman menyatakan selama 50 tahun beroperasi PT Freeport Indonesia telah merampas lahan milik masyarakat adat di Papua.
"Hutan-hutan adat milik masyarakat Amungme dan Kamoro dikonversi menjadi lahan tambang, yang dalam praktiknya menghasilkan limbah yang berpotensi merusak lingkungan hidup di wilayah Timika," ujar Wahyu melalui rilis media pada Senin (6/3).
PIhaknya berpendapat Pemerintah Indonesia seharusnya melakukan penyelesaian secara menyeluruh dalam persoalan yang dihadapi dengan PT. Freeport, tidak hanya melulu membahas mengenai perubahan status PT Freeport Indonesia dan divestasi saham saja, namun juga terkait pemulihan kerusakan -lingkungan dan penyelesaian pelanggaran HAM di Papua.
"Termasuk di dalamnya, menyiapkan sumber-sumber penghidupan bagi masyarakat Timika pasca habisnya bahan-bahan minerba di wilayah operasi PT. Freeport, 10 atau mungkin 50 tahun yang akan datang," ujar dia.
Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport semaksimal mungkin harus menyiapkan dan berkontribusi di dalam meningkatkan mutu hidup masyarakat Papua dengan mencadangkan sumber daya alam bagi generasi Papua mendatang. Dalam kerangka ini, Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport semaksimal mungkin harus berupaya untuk melestarikan dan menggunakan lingkungan serta sumber daya alam bagi kemanfaatan generasi Papua sekarang, dan generasi Papua yang akan datang. Eksploitasi minerba di wilayah konsensi PT. Freeport seharusnya dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan generasi (Papua) sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi (Papua) mendatang dalam memenuhi kebutuhannya (The right to development must be fulfilled so as to equitably meet developmental and environmental needs of present and future generations).
Oleh karenanya, pelibatan masyarakat Papua dalam upaya penyelesaian sengketa antara PT Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia menjadi penting. Masyarakat adat Amungme dan Kamoro harus dilibatkan dalam setiap proses dan pembahasan mengenai masa depan pengelolaan konsensi tambang PT. Freeport. Mengingat, pada awal pemberian Kontrak Karya pertama oleh Presiden Soeharto kepada PT Freeport Indonesia, masyarakat yang terdampak operasi perusahaan tersebut, khususnya sebagian besar suku Amungme dan Kamoro, tidak pernah dilibatkan dalam penyerahan hutan adat milik suku Amungme dan suku Komoro.
6 Maret 2017 – Pada 10 Februari 2017 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Minerba). Dalam regulasi tersebut, perusahaan tambang yang diperbolehkan ekspor hanya mereka yang memenuhi sejumlah persyaratan, salah satunya berkomitmen untuk membangun smelter, divestasi 51 persen saham bagi perusahaan asing, serta mengubah status KK menjadi IUPK. Berdasarkan PP ini, Pemerintah Indonesia resmi menyetujui perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) bagi PT Freeport Indonesia dan PT. Amman Mineral Nusa Tenggara.
"Namun belakangan, PT Freeport Indonesia menolak perubahan status KK menjadi IUPK. Akibatnya, PT Freeport Indonesia tidak lagi memiliki izin ekspor. PT Freeport Indonesia pun kemudian mengancam akan membawa kekisruhan ini ke jalur arbitrase internasional. PT Freeport Indonesia juga melakukan PHK terhadap ribuan pekerjanya dengan alasan perusahaan tidak dapat mengekspor hasil produksinya," ungkap dia.
Berkaitan dengan persoalan antara PT. Freeport dan Pemerintah Indonesia ini, masyarakat Papua sangat mengharapkan ketegasan pemerintah Indonesia untuk memaksa PT Freeport Indonesia mematuhi UU Minerba dan menjalankan kewajiban-kewajibannya selama beroperasi di Indonesia. Selain ketegasan terkait perubahan status PT Freeport Indonesia, pemerintah Indonesia juga harus memiliki ketegasan terhadap permasalahan kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di sekitar wilayah operasi PT. Freeport. (papuanesia)
"Hutan-hutan adat milik masyarakat Amungme dan Kamoro dikonversi menjadi lahan tambang, yang dalam praktiknya menghasilkan limbah yang berpotensi merusak lingkungan hidup di wilayah Timika," ujar Wahyu melalui rilis media pada Senin (6/3).
PIhaknya berpendapat Pemerintah Indonesia seharusnya melakukan penyelesaian secara menyeluruh dalam persoalan yang dihadapi dengan PT. Freeport, tidak hanya melulu membahas mengenai perubahan status PT Freeport Indonesia dan divestasi saham saja, namun juga terkait pemulihan kerusakan -lingkungan dan penyelesaian pelanggaran HAM di Papua.
"Termasuk di dalamnya, menyiapkan sumber-sumber penghidupan bagi masyarakat Timika pasca habisnya bahan-bahan minerba di wilayah operasi PT. Freeport, 10 atau mungkin 50 tahun yang akan datang," ujar dia.
Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport semaksimal mungkin harus menyiapkan dan berkontribusi di dalam meningkatkan mutu hidup masyarakat Papua dengan mencadangkan sumber daya alam bagi generasi Papua mendatang. Dalam kerangka ini, Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport semaksimal mungkin harus berupaya untuk melestarikan dan menggunakan lingkungan serta sumber daya alam bagi kemanfaatan generasi Papua sekarang, dan generasi Papua yang akan datang. Eksploitasi minerba di wilayah konsensi PT. Freeport seharusnya dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan generasi (Papua) sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi (Papua) mendatang dalam memenuhi kebutuhannya (The right to development must be fulfilled so as to equitably meet developmental and environmental needs of present and future generations).
Oleh karenanya, pelibatan masyarakat Papua dalam upaya penyelesaian sengketa antara PT Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia menjadi penting. Masyarakat adat Amungme dan Kamoro harus dilibatkan dalam setiap proses dan pembahasan mengenai masa depan pengelolaan konsensi tambang PT. Freeport. Mengingat, pada awal pemberian Kontrak Karya pertama oleh Presiden Soeharto kepada PT Freeport Indonesia, masyarakat yang terdampak operasi perusahaan tersebut, khususnya sebagian besar suku Amungme dan Kamoro, tidak pernah dilibatkan dalam penyerahan hutan adat milik suku Amungme dan suku Komoro.
6 Maret 2017 – Pada 10 Februari 2017 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Minerba). Dalam regulasi tersebut, perusahaan tambang yang diperbolehkan ekspor hanya mereka yang memenuhi sejumlah persyaratan, salah satunya berkomitmen untuk membangun smelter, divestasi 51 persen saham bagi perusahaan asing, serta mengubah status KK menjadi IUPK. Berdasarkan PP ini, Pemerintah Indonesia resmi menyetujui perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) bagi PT Freeport Indonesia dan PT. Amman Mineral Nusa Tenggara.
"Namun belakangan, PT Freeport Indonesia menolak perubahan status KK menjadi IUPK. Akibatnya, PT Freeport Indonesia tidak lagi memiliki izin ekspor. PT Freeport Indonesia pun kemudian mengancam akan membawa kekisruhan ini ke jalur arbitrase internasional. PT Freeport Indonesia juga melakukan PHK terhadap ribuan pekerjanya dengan alasan perusahaan tidak dapat mengekspor hasil produksinya," ungkap dia.
Berkaitan dengan persoalan antara PT. Freeport dan Pemerintah Indonesia ini, masyarakat Papua sangat mengharapkan ketegasan pemerintah Indonesia untuk memaksa PT Freeport Indonesia mematuhi UU Minerba dan menjalankan kewajiban-kewajibannya selama beroperasi di Indonesia. Selain ketegasan terkait perubahan status PT Freeport Indonesia, pemerintah Indonesia juga harus memiliki ketegasan terhadap permasalahan kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di sekitar wilayah operasi PT. Freeport. (papuanesia)