Bank Rakyat Indonesia Rugi Rp1 Miliar Akibat Krisis PTFI
pada tanggal
Saturday, 18 March 2017
TIMIKA (MIMIKA) - Manajemen Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kantor Cabang Timika, Papua, mengaku kehilangan potensi pendapatan sekitar Rp 1 miliar per bulan sebagai dampak dari krisis yang menimpa perusahaan pertambangan PT Freeport Indonesia sejak Februari 2017.
Kepala BRI Cabang Timika Muhammad Yusuf mengatakan setiap bulan pertumbuhan rata-rata penyaluran kredit BRI Timika sebesar Rp 1,5 miliar hingga Rp 2 miliar terutama kredit tanpa agunan dari karyawan perusahaan-perusahaan privatisasi (perusahaan yang mengelola aset Freeport) dan perusahaan-perusahaan subkontraktor Freeport.
"Peningkatan pinjaman rata-rata perbulan di BRI Timika sekitar Rp 1 miliar. Kesimpulannya, kalau dua bulan kami hentikan pemberian pinjaman kepada karyawan maka kami sudah kehilangan potensi pendapatan sekitar Rp 2 miliar," kata Yusuf, Jumat (17/3).
Ia mengakui sejak awal Februari lalu BRI Timika menempuh kebijakan seleksi ketat pemberian kredit baru kepada karyawan perusahaan-perusahaan privatisasi dan subkontraktor PT Freeport. Dalam perjalanan waktu karena kondisi Freeport tidak juga membaik bahkan dinyatakan dalam kondisi "force major" maka BRI memutuskan menghentikan seluruh pemberian pinjaman kepada karyawan sejak pertengahan Februari.
Yusuf mengatakan BRI Timika cukup khawatir dengan semakin banyaknya karyawan perusahaan privatisasi dan kontraktor Freeport yang kini mengalami Pemutusan Hubungan Kerja/PHK. Dengan semakin banyaknya karyawan yang di-PHK, katanya, BRI kehilangan aset yang produktif.
"Kami tidak khawatir soal pinjaman dilunasi atau tidak. Ketika karyawan di-PHK, tentu mereka akan menerima pesangon, dimana pesangon yang mereka dapatkan cukup besar sehingga bisa langsung melunasi sisa cicilan kredit. Tapi setelah itu mereka tidak produktif lagi karena kehilangan pekerjaan dan sumber pendapatan," jelas Yusuf.
Menurut dia, BRI Timika justru sangat mengkhawatirkan kondisi karyawan yang sekarang dinyatakan 'forelock" atau dirumahkan oleh pihak perusahaan tempat mereka bekerja. Posisi karyawan dengan status "forelock" itu, katanya, tidak jelas apakah nanti akan dipekerjakan kembali atau akan diberhentikan seterusnya.
Dalam situasi ketidakpastian tersebut, BRI mengharapkan agar PT Freeport dan perusahaan-perusahaan subkontraktornya membuka diri untuk membagi data siapa-siapa saja karyawan yang telah dirumahkan dan di-PHK.
Dengan mengetahui data karyawan yang terkena PHK dan dirumahkan apalagi memiliki pinjaman di BRI maka perbankan akan melakukan berbagai langkah mengantisipasi kemungkinan terjadi kredit bermasalah dan lainnya. "Kami tidak menutup mata dengan kondisi yang ada. Kami juga memahami situasi ini dan merasakan kesulitan yang dihadapi karyawan yang di-PHK dan dirumahkan," ujarnya.
"Kami membuka diri apabila ada karyawan yang mengalami kondisi itu agar datang menanyakan ke BRI bagaimana penyelesaian kewajibannya. Kalau memang masih ada kepastian akan dipekerjakan kembali maka kami bisa merescheduling jadwal pinjamannya. Misalkan masa waktu pinjaman selama lima tahun bisa diundur hingga 10 tahun," kata Yusuf menambahkan. (antara)
Kepala BRI Cabang Timika Muhammad Yusuf mengatakan setiap bulan pertumbuhan rata-rata penyaluran kredit BRI Timika sebesar Rp 1,5 miliar hingga Rp 2 miliar terutama kredit tanpa agunan dari karyawan perusahaan-perusahaan privatisasi (perusahaan yang mengelola aset Freeport) dan perusahaan-perusahaan subkontraktor Freeport.
"Peningkatan pinjaman rata-rata perbulan di BRI Timika sekitar Rp 1 miliar. Kesimpulannya, kalau dua bulan kami hentikan pemberian pinjaman kepada karyawan maka kami sudah kehilangan potensi pendapatan sekitar Rp 2 miliar," kata Yusuf, Jumat (17/3).
Ia mengakui sejak awal Februari lalu BRI Timika menempuh kebijakan seleksi ketat pemberian kredit baru kepada karyawan perusahaan-perusahaan privatisasi dan subkontraktor PT Freeport. Dalam perjalanan waktu karena kondisi Freeport tidak juga membaik bahkan dinyatakan dalam kondisi "force major" maka BRI memutuskan menghentikan seluruh pemberian pinjaman kepada karyawan sejak pertengahan Februari.
Yusuf mengatakan BRI Timika cukup khawatir dengan semakin banyaknya karyawan perusahaan privatisasi dan kontraktor Freeport yang kini mengalami Pemutusan Hubungan Kerja/PHK. Dengan semakin banyaknya karyawan yang di-PHK, katanya, BRI kehilangan aset yang produktif.
"Kami tidak khawatir soal pinjaman dilunasi atau tidak. Ketika karyawan di-PHK, tentu mereka akan menerima pesangon, dimana pesangon yang mereka dapatkan cukup besar sehingga bisa langsung melunasi sisa cicilan kredit. Tapi setelah itu mereka tidak produktif lagi karena kehilangan pekerjaan dan sumber pendapatan," jelas Yusuf.
Menurut dia, BRI Timika justru sangat mengkhawatirkan kondisi karyawan yang sekarang dinyatakan 'forelock" atau dirumahkan oleh pihak perusahaan tempat mereka bekerja. Posisi karyawan dengan status "forelock" itu, katanya, tidak jelas apakah nanti akan dipekerjakan kembali atau akan diberhentikan seterusnya.
Dalam situasi ketidakpastian tersebut, BRI mengharapkan agar PT Freeport dan perusahaan-perusahaan subkontraktornya membuka diri untuk membagi data siapa-siapa saja karyawan yang telah dirumahkan dan di-PHK.
Dengan mengetahui data karyawan yang terkena PHK dan dirumahkan apalagi memiliki pinjaman di BRI maka perbankan akan melakukan berbagai langkah mengantisipasi kemungkinan terjadi kredit bermasalah dan lainnya. "Kami tidak menutup mata dengan kondisi yang ada. Kami juga memahami situasi ini dan merasakan kesulitan yang dihadapi karyawan yang di-PHK dan dirumahkan," ujarnya.
"Kami membuka diri apabila ada karyawan yang mengalami kondisi itu agar datang menanyakan ke BRI bagaimana penyelesaian kewajibannya. Kalau memang masih ada kepastian akan dipekerjakan kembali maka kami bisa merescheduling jadwal pinjamannya. Misalkan masa waktu pinjaman selama lima tahun bisa diundur hingga 10 tahun," kata Yusuf menambahkan. (antara)