Tokoh Papua Minta Pemerintah Pusat Klarifikasi Penunjukkan Chappy Hakim Sebagai Presidir PTFI
pada tanggal
Thursday, 24 November 2016
KOTA JAYAPURA - Para tokoh meminta klarifikasi pemerintah pusat terkait pencalonan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia yang dinilai tak memihak kepada orang asli papua (OAP). Matius Murib, penggiat HAM Papua menyesalkan kebijakan pusat tak mengakomodir adanya putra daerah asli Papua yang didorong untuk menjadi Presiden Direktur tambang raksasa PT Freeport Indonesia.
"Beberapa waktu lalu kami dari Papua wakili tokoh-tokoh lakukan pertemuan dengan pemerintah pusat, kalau tak salah ada hampir 100 orang dalam pertemuan itu. Hasilnya ada permintaan resmi dari Presiden RI melalui Menkopolhukam untuk disiapkan nama-nama orang asli Papua untuk dicalonlan dalam pemilihan Presiden Direktur PTFI," kata Matius Murib, Rabu (23/11) di Kota Jayapura.
Nama-nama yang didorong untuk masuk bursa pemilihan presdir PTFI, kata Murib yakni Frans Pigome yang saat ini bekerja sebagai Karyawan PTFI, kedua Pdt Edison Murib dari Masyarakat, juga mantan karyawan PTFI, ketiga Silas Natkime saat ini masih karyawan PTFI.
"Keempat, Dr. Vince Tebay dari Akademisi Uncen Jayapura dan terakhir Pdt Lypius Biniluk perwakilan dari Gubernur Papua. Sayangnya beberapa hari lalu, prerdir PTFI yang ditunjuk bukan orang asli Papua, melainkan berasal dari militer," tuturnya.
Ia bertanya-tanya, alasan apa Jakarta berikan kebijakan bertolak belakang dengan aspirasi masyarakat asli Papua.
"Kebijakan ini harus ada penjelasan dari pemerintah. Mungkin calon OAP ini tak mampu, tak siap, atau apa? Kami minta klarifikasi dan penjelasan resmi dari pemerintah atas apa yang telah dilakukan," ditegaskan Murib.
Menurutnya ada dua alasan kuat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua yakni politik dan ekonomi.
"Ekonomi sangat terlihat jelas dengan adanya PTFI selama ini. Masyarakat masih belum sejahtera, dan politik sangat kuat dalam pemilihan ini," katanya.
Kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat ini, lanjutnya dapat berujung konflik di Tanah Papua, karena apa yang telah dilakukan tersebut sama saja tindakan memprovokasi.
"Pemerintah ini mengajak masyarakat konflik lagi untuk memprovokasi. Presiden RI dan Menkopulhukam segera memberi penjelasan soal ini," katanya.
Marinus Yaung selaku Akademisi di Kota Jayapura, berpendapat bahwa keputusan Presdir PTFI bukan milik Indonesia melainkan keputusan dari Amerika. "Jadi memang disitulah seakan-akan PTFI memanfaatkan kekuasaannya di Indonesia, ada kepentingan Amerika. Daya tawar Indonesia itu sangat lemah," kata Yaung.
Sementara tokoh perempuan yang juga penggiat HAM di Tanah Papua, Abina Wasanggai menilai kebijakan pemerintah pusat adalah penipuan terhadap rakyat Papua.
"Ini adalah satu penipuan, karena permintaan awal kami diminta siapkan calon dari Papua. Jadi kami siapkan lima orang," kata Wasanggai.
Sekedar diketahui, Chappy Hakim, Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) telah ditunjuk sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia. Namun penunjukkan tersebut belumlah resmi, pasalnya hingga kini masih menunggu persetujuan para pemegang saham. (cendananews.com)
"Beberapa waktu lalu kami dari Papua wakili tokoh-tokoh lakukan pertemuan dengan pemerintah pusat, kalau tak salah ada hampir 100 orang dalam pertemuan itu. Hasilnya ada permintaan resmi dari Presiden RI melalui Menkopolhukam untuk disiapkan nama-nama orang asli Papua untuk dicalonlan dalam pemilihan Presiden Direktur PTFI," kata Matius Murib, Rabu (23/11) di Kota Jayapura.
Nama-nama yang didorong untuk masuk bursa pemilihan presdir PTFI, kata Murib yakni Frans Pigome yang saat ini bekerja sebagai Karyawan PTFI, kedua Pdt Edison Murib dari Masyarakat, juga mantan karyawan PTFI, ketiga Silas Natkime saat ini masih karyawan PTFI.
"Keempat, Dr. Vince Tebay dari Akademisi Uncen Jayapura dan terakhir Pdt Lypius Biniluk perwakilan dari Gubernur Papua. Sayangnya beberapa hari lalu, prerdir PTFI yang ditunjuk bukan orang asli Papua, melainkan berasal dari militer," tuturnya.
Ia bertanya-tanya, alasan apa Jakarta berikan kebijakan bertolak belakang dengan aspirasi masyarakat asli Papua.
"Kebijakan ini harus ada penjelasan dari pemerintah. Mungkin calon OAP ini tak mampu, tak siap, atau apa? Kami minta klarifikasi dan penjelasan resmi dari pemerintah atas apa yang telah dilakukan," ditegaskan Murib.
Menurutnya ada dua alasan kuat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua yakni politik dan ekonomi.
"Ekonomi sangat terlihat jelas dengan adanya PTFI selama ini. Masyarakat masih belum sejahtera, dan politik sangat kuat dalam pemilihan ini," katanya.
Kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat ini, lanjutnya dapat berujung konflik di Tanah Papua, karena apa yang telah dilakukan tersebut sama saja tindakan memprovokasi.
"Pemerintah ini mengajak masyarakat konflik lagi untuk memprovokasi. Presiden RI dan Menkopulhukam segera memberi penjelasan soal ini," katanya.
Marinus Yaung selaku Akademisi di Kota Jayapura, berpendapat bahwa keputusan Presdir PTFI bukan milik Indonesia melainkan keputusan dari Amerika. "Jadi memang disitulah seakan-akan PTFI memanfaatkan kekuasaannya di Indonesia, ada kepentingan Amerika. Daya tawar Indonesia itu sangat lemah," kata Yaung.
Sementara tokoh perempuan yang juga penggiat HAM di Tanah Papua, Abina Wasanggai menilai kebijakan pemerintah pusat adalah penipuan terhadap rakyat Papua.
"Ini adalah satu penipuan, karena permintaan awal kami diminta siapkan calon dari Papua. Jadi kami siapkan lima orang," kata Wasanggai.
Sekedar diketahui, Chappy Hakim, Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) telah ditunjuk sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia. Namun penunjukkan tersebut belumlah resmi, pasalnya hingga kini masih menunggu persetujuan para pemegang saham. (cendananews.com)