Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) Harus Maksimal
pada tanggal
Friday, 17 June 2016
JAKARTA - Pemerintah perlu memaksimalkan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) guna mengatasi impor ikan yang dilakukan dalam rangka guna mengatasi kekurangan bahan baku yang dibutuhkan industri pengolahan ikan di berbagai daerah.
"Pemerintah harus memaksimalkan konsep SLIN yang telah diluncurkan tahun 2014 lalu. Jika ikan makarel yang di impor itu masih wajar. Namun untuk tongkol, cakalang dan baby tuna jika masih diimpor juga menjadi suatu yang lucu dan tidak masuk akal," kata Anggota Komisi IV DPR RI Akmal Pasluddin dalam rilis di Jakarta, Jumat.
Sebagaimana diketahui, ikan seperti tongkol, cakalang, dan tuna sebenarnya banyak terdapat dan biasa diperoleh di kawasan perairan Indonesia.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menilai kebijakan impor ikan yang dikeluarkan oleh pemerintah belakangan ini, adalah tindakan yang salah kaprah karena dapat menumbuhkan luka yang sangat mendalam bagi nelayan kecil yang selama ini telah bersusah payah mencari ikan.
"Kebijakan importasi ikan ini salah kaprah. Janggal dimana-mana. Sektor perikanan yang seharusnya sebagai penyangga kebutuhan pangan pertanian, malah ikut latah untuk ikut-ikutan impor," ucap Akmal.
Ia juga mengingatkan bahwa kejanggalan kebijakan importasi ikan ini tampak pada rujukan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2014, yang menyebutkan bahwa total produksi perikanan tangkap di laut menunjukkan tren yang meningkat.
Data tersebut menyebutkan pada tahun 2009, tangkapan ikan hanya 4.812.235 ton. Tetapi, melonjak drastis pada tahun 2014 menjadi 5.779.990 ton.
"Pemerintah membuat dalih bahwa selama ini hasil tangkapan nelayan tidak memenuhi syarat industri. Padahal, produksi ikan nelayan Indonesia sangat tinggi, misalnya, jenis ikan makarel, tuna, tongkol dan cakalang, juga dengan kualitas yang sangat baik, terutama hasil tangkapan nelayan di Indonesia Timur," tuturnya.
Dia mengingatkan beberapa daerah di Indonesia Timur yang memiliki produksi ikan cukup tinggi tersebut, misalnya, di Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. Di sisi lain, lanjutnya, kebutuhan yang cukup besar, berada pada kota-kota besar di Pulau Jawa.
Hal tersebut karena selain keterbatasan sarana dan prasarana logistik untuk produk segar, pemerintah menurut Akmal terlalu malas untuk mengangkut ikan yang baik dari wilayah timur ke Pulau Jawa.
"Bukti yang sangat nyata dapat kita peroleh dari data KKP sendiri pada besarnya tangkapan ikan tuna. Pada tahun 2009, hasil tangkapan tuna secara nasional sebesar 163.965 ton. Sedangkan tahun 2014 meningkat menjadi 310.560 ton. Sedangkan tahun 2015, tuna kita bersaing ketat dengan Australia dan lebih tinggi dari tangkapan negara China," ungkapnya.
Untuk itu, Akmal mendesak pemerintah lebih fokus kepada alur distribusi produk perikanan, masih lambannya perizinan pengoperasian kapal, dan sistem logistik produk perikanan tangkap yang masih primitif sehingga sulit menstabilkan suplai ikan pada industri pengolahan.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Nilanto Perbowo mengatakan impor ikan yang masuk ke Republik Indonesia diawasi dengan ketat dan sifatnya tidak meluas.
"Dalam hal izin impor ini KKP melakukan pengendalian dengan pengawasan yang sangat ketat dan memperhatikan asas pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan," kata Nilanto Perbowo. (antara)
"Pemerintah harus memaksimalkan konsep SLIN yang telah diluncurkan tahun 2014 lalu. Jika ikan makarel yang di impor itu masih wajar. Namun untuk tongkol, cakalang dan baby tuna jika masih diimpor juga menjadi suatu yang lucu dan tidak masuk akal," kata Anggota Komisi IV DPR RI Akmal Pasluddin dalam rilis di Jakarta, Jumat.
Sebagaimana diketahui, ikan seperti tongkol, cakalang, dan tuna sebenarnya banyak terdapat dan biasa diperoleh di kawasan perairan Indonesia.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menilai kebijakan impor ikan yang dikeluarkan oleh pemerintah belakangan ini, adalah tindakan yang salah kaprah karena dapat menumbuhkan luka yang sangat mendalam bagi nelayan kecil yang selama ini telah bersusah payah mencari ikan.
"Kebijakan importasi ikan ini salah kaprah. Janggal dimana-mana. Sektor perikanan yang seharusnya sebagai penyangga kebutuhan pangan pertanian, malah ikut latah untuk ikut-ikutan impor," ucap Akmal.
Ia juga mengingatkan bahwa kejanggalan kebijakan importasi ikan ini tampak pada rujukan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2014, yang menyebutkan bahwa total produksi perikanan tangkap di laut menunjukkan tren yang meningkat.
Data tersebut menyebutkan pada tahun 2009, tangkapan ikan hanya 4.812.235 ton. Tetapi, melonjak drastis pada tahun 2014 menjadi 5.779.990 ton.
"Pemerintah membuat dalih bahwa selama ini hasil tangkapan nelayan tidak memenuhi syarat industri. Padahal, produksi ikan nelayan Indonesia sangat tinggi, misalnya, jenis ikan makarel, tuna, tongkol dan cakalang, juga dengan kualitas yang sangat baik, terutama hasil tangkapan nelayan di Indonesia Timur," tuturnya.
Dia mengingatkan beberapa daerah di Indonesia Timur yang memiliki produksi ikan cukup tinggi tersebut, misalnya, di Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. Di sisi lain, lanjutnya, kebutuhan yang cukup besar, berada pada kota-kota besar di Pulau Jawa.
Hal tersebut karena selain keterbatasan sarana dan prasarana logistik untuk produk segar, pemerintah menurut Akmal terlalu malas untuk mengangkut ikan yang baik dari wilayah timur ke Pulau Jawa.
"Bukti yang sangat nyata dapat kita peroleh dari data KKP sendiri pada besarnya tangkapan ikan tuna. Pada tahun 2009, hasil tangkapan tuna secara nasional sebesar 163.965 ton. Sedangkan tahun 2014 meningkat menjadi 310.560 ton. Sedangkan tahun 2015, tuna kita bersaing ketat dengan Australia dan lebih tinggi dari tangkapan negara China," ungkapnya.
Untuk itu, Akmal mendesak pemerintah lebih fokus kepada alur distribusi produk perikanan, masih lambannya perizinan pengoperasian kapal, dan sistem logistik produk perikanan tangkap yang masih primitif sehingga sulit menstabilkan suplai ikan pada industri pengolahan.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Nilanto Perbowo mengatakan impor ikan yang masuk ke Republik Indonesia diawasi dengan ketat dan sifatnya tidak meluas.
"Dalam hal izin impor ini KKP melakukan pengendalian dengan pengawasan yang sangat ketat dan memperhatikan asas pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan," kata Nilanto Perbowo. (antara)