Mengunjungi Penginapan Soroba yang Unik
pada tanggal
Wednesday, 15 June 2016
WAMENA (JAYAWIJAYA) - Penginapan Soroba sudah terkenal di mancanegara dan baru diketahui wisatawan domestik belakang terakhir sekitar tahun 2013, dan telah bekerja sama dengan Yayasan Rumah Asuh.
Andre Liem, pemandu wisawata daerah Lembah Baliem ke media ini mengatakan, penginapan Soroba ini terdiri dari 10 honai, ditambah dengan satu honai untuk pertemuan, penginapan ini berada ditengah-tengah kampung Soroba.
Untuk jenis honai sendiri, mempunyai nama masing-masing sesuai bentuk ukuran honai tersebut. Dijelaskannya, honai untuk laki-laki diberi nama Pilamo, honai panjang untuk dapur disebut Unila, sedangkan honai untuk perempuan dan yang sudah berkeluarga disebut Uma.
Pria yang telah melanglang buana di lembah baliem, korowai dan agats sejak tahun 1986 ini mengaku pemilik penginapan Soroba adalah keluarga Himan sekaligus kepala suku Soroba dengan nama Herman Himan.
“Mereka sangat senang, karena telah bekerja sama dengan Yayasan Rumah Asuh, sehingga wisatawan domestik mulai bermunculan dipenginapan Soroba,”kata Andre yang telah dikenal masyakarat kampung Soroba puluhan tahun lalu.
Daerah Soroba itu merupakan cikal bakalnya pariwisata di pada umumnya di Papua, secara khusus di Lembah Baliem, Wamena, Jayawijaya. Dimana, dahulu kala lokasi tersebut adalah tempat perang antar klan daerah atas kampung dan bawah sampai ke Ugima.
“Itu benar-benar ada. Makanya disebut Garden of War (Lapangan Perang) dalam buku yang telah dibuat dan filmnya di edit lagi terus diberi judul Dead Bird (Burung Mati),” ungkap Andre kelahiran Hollandia (kini Port Numbay-Kota Jayapura).
Dikatakannya, sejarah itu masih dapat dirasakan, saat para pengunjung yang hendak nginap ke penginapan Soroba, harus melalui lapangan perang yang masih terlihat dua menara pengintai.
“Tiang-tiang menara pengintai masih ada, saat wisatawan mau masuk ke lokasi penginapan Soroba. Ada lagi menara pengintai di bagian dalam, namanya Pua Koloba,” kata pria yang pernah ke puncak Cartenz pada tahun 1992 juga sering ke Asmat dan Koroway Kombay.
Bukit Watibaga adalah suguhan pertama bagi pengunjung yang berjalan kaki masuk ke lokasi penginapan Soroba. “Bukit watibaga bisa dibuka untuk umum dan tidak ada satupun penagihan uang disitu, dengan syarat tidak boleh bawa kendaraan masuk kelokasi itu,” dijelaskan lelaki yang kini berusia 53 tahun.
Untuk masuk kelokasi penginapan, lanjutnya, pengunjung harus melepaskan atribut kendaraan roda dua dan roda empat di tepi jalan raya dan wajib berjalan kaki kurang lebih 5-7 kilometer.
“Dulu ada pintu gerbang besar tradisional saat mau masuk wilayah Soroba menuju pemginapan. Tapi sekarang sudah tidak ada karena dimakan usia,” urainya.
Menurutnya, jika pengunjung yang ingin menginap di penginapan tersebut wajib membayar Rp 100 ribu ke pengelola tempat tersebut yakni keluarga dari suku yang mendiami kampung Soroba.
“Biasanya datang dan langsung bayar sesuai dengan berapa lama tinggal, tapi semuanya itu ada paket-paketnya, tergantung paket apa yang dipilih,” tutup Andre. (cendananews.com)
Andre Liem, pemandu wisawata daerah Lembah Baliem ke media ini mengatakan, penginapan Soroba ini terdiri dari 10 honai, ditambah dengan satu honai untuk pertemuan, penginapan ini berada ditengah-tengah kampung Soroba.
Untuk jenis honai sendiri, mempunyai nama masing-masing sesuai bentuk ukuran honai tersebut. Dijelaskannya, honai untuk laki-laki diberi nama Pilamo, honai panjang untuk dapur disebut Unila, sedangkan honai untuk perempuan dan yang sudah berkeluarga disebut Uma.
Pria yang telah melanglang buana di lembah baliem, korowai dan agats sejak tahun 1986 ini mengaku pemilik penginapan Soroba adalah keluarga Himan sekaligus kepala suku Soroba dengan nama Herman Himan.
“Mereka sangat senang, karena telah bekerja sama dengan Yayasan Rumah Asuh, sehingga wisatawan domestik mulai bermunculan dipenginapan Soroba,”kata Andre yang telah dikenal masyakarat kampung Soroba puluhan tahun lalu.
Daerah Soroba itu merupakan cikal bakalnya pariwisata di pada umumnya di Papua, secara khusus di Lembah Baliem, Wamena, Jayawijaya. Dimana, dahulu kala lokasi tersebut adalah tempat perang antar klan daerah atas kampung dan bawah sampai ke Ugima.
“Itu benar-benar ada. Makanya disebut Garden of War (Lapangan Perang) dalam buku yang telah dibuat dan filmnya di edit lagi terus diberi judul Dead Bird (Burung Mati),” ungkap Andre kelahiran Hollandia (kini Port Numbay-Kota Jayapura).
Dikatakannya, sejarah itu masih dapat dirasakan, saat para pengunjung yang hendak nginap ke penginapan Soroba, harus melalui lapangan perang yang masih terlihat dua menara pengintai.
“Tiang-tiang menara pengintai masih ada, saat wisatawan mau masuk ke lokasi penginapan Soroba. Ada lagi menara pengintai di bagian dalam, namanya Pua Koloba,” kata pria yang pernah ke puncak Cartenz pada tahun 1992 juga sering ke Asmat dan Koroway Kombay.
Bukit Watibaga adalah suguhan pertama bagi pengunjung yang berjalan kaki masuk ke lokasi penginapan Soroba. “Bukit watibaga bisa dibuka untuk umum dan tidak ada satupun penagihan uang disitu, dengan syarat tidak boleh bawa kendaraan masuk kelokasi itu,” dijelaskan lelaki yang kini berusia 53 tahun.
Untuk masuk kelokasi penginapan, lanjutnya, pengunjung harus melepaskan atribut kendaraan roda dua dan roda empat di tepi jalan raya dan wajib berjalan kaki kurang lebih 5-7 kilometer.
“Dulu ada pintu gerbang besar tradisional saat mau masuk wilayah Soroba menuju pemginapan. Tapi sekarang sudah tidak ada karena dimakan usia,” urainya.
Menurutnya, jika pengunjung yang ingin menginap di penginapan tersebut wajib membayar Rp 100 ribu ke pengelola tempat tersebut yakni keluarga dari suku yang mendiami kampung Soroba.
“Biasanya datang dan langsung bayar sesuai dengan berapa lama tinggal, tapi semuanya itu ada paket-paketnya, tergantung paket apa yang dipilih,” tutup Andre. (cendananews.com)