Nasib PT Freeport Indonesia Setelah Pengunduran Diri Maroef Sjamsoeddin
pada tanggal
Monday, 25 January 2016
JAKARTA - Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (FI) Maroef Sjamsoeddin tiba-tiba menyatakan mengundurkan diri dari jabatan pucuk pimpinan perusahaan tambang tembaga dan emas di Papua tersebut.
Pernyataan mundur Maroef ini memunculkan sejumlah spekulasi, namun dalam sebuah wawancara Maroef menjelaskan bahwa keputusan mundur itu merupakan keputusan pribadinya dan tidak ada tekanan untuk itu.
Maklum, Maroef mundur di tengah maraknya isu kelanjutan operasional PTFI di Indonesia, termasuk kasus "papa minta saham" dan penawaran saham perusahaan kepada pemerintah Indonesia.
Dalam Interoffice Memorandum PTFI Management yang dikirimkan Maroef Sjamsoeddin selaku Presdir FI tertanggal 18 Januari 2016 kepada seluruh karyawan yang diperoleh di Jakarta, Senin (18/1), ia menjelaskan bahwa masa kontrak kerjanya selama setahun sebagai Presdir FI sudah berakhir.
Ia juga menyatakan menolak tawaran perpanjangan dari pimpinan Freeport McMoRan, selaku induk usaha FI. "Saya telah berkirim surat pengunduran diri sebagai Presdir Freeport Indonesia," kata Maroef dalam suratnya.
Maroef juga menyampaikan terima kasih atas kerja sama dari semua pihak selama menjalankan tugas dan fungsi yang dipercayakan oleh manajemen perusahaan induk sebagai Presdir FI.
Presiden dan CEO Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc Richard C Adkerson dalam pengumuman internal kepada karyawan FI mengatakan, pihaknya masih memproses pengganti Maroef sebagai Presdir FI yang baru.
Untuk sementara, Robert Schroeder akan menjalankan tanggung jawab manajemen Maroef Sjamsoeddin.
Moffet Mundur Sebelumnya pada akhir tahun lalu, pimpinan dan juga pendiri Freeport McMoRan Inc, James R Moffett mengundurkan diri dari jabatannya.
Penyebabnya adalah turunnya kinerja perusahaan akibat harga komoditas yang terus jatuh, yang memaksa perusahaan memangkas jumlah karyawan maupun produksi.
Data dari bursa New York menunjukkan harga saham Freeport McMoRan Inc pada 19 Januari 2016 tercatat 3,96 dolar AS. Padahal pada 26 Juli 2011 harganya 56,08 dolar AS.
Posisi Moffett digantikan Gerald J Ford yang merupakan direktur independen Freeport McMoRan.
Moffett telah menjabat pimpinan eksekutif Freeport-McMoran Inc sejak 2003. Sebelumnya ia menjabat sebagai CEO pada 1995 hingga 2003. Moffett dan kedua rekannya mendirikan McMoRan Oil & Gas Co pada 1969 dan memimpin upaya merger McMoRan Oil & Gas Co dan Freeport Minerals Co pada 1981.
Sementara Maroef menjabat Presdir FI sejak awal Januari 2015. Ia merupakan Presdir FI berlatar belakang militer dengan pangkat terakhir Marsekal Muda (Purn) TNI AU menggantikan Rozik B Soetjipto.
Maroef yang merupakan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) periode 2011-2014 itu meraih gelar Master of Business Administration dari Jakarta Institute Management Studies.
Pengunduran diri Maroef terjadi saat isu kelanjutan operasi Freeport di Papua tengah berlangsung, termasuk kasus rekaman pembicaraannya dengan Ketua DPR waktu itu Setya Novanto dan pengusaha minyak Riza Chalid.
Freeport sudah mengajukan perpanjangan kontrak dari seharusnya berakhir 2021 menjadi 2041. Namun, sesuai UU No. 4 Tahun 2014 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara, pengajuan perpanjangan kontrak baru bisa dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir.
Kontrak Freeport baru berakhir pada 2021. Dengan demikian, paling cepat pengajuan kontrak dilakukan pada 2019.
Tengah Negosiasi Pengunduran Moffet dan juga Maroef, terjadi saat perusahaan tambang raksasa dunia asal Amerika Serikat tersebut tengah menegosiasikan perpanjangan kontraknya di Papua, Indonesia.
Freeport berupaya meyakinkan Pemerintah Indonesia agar memberikan perpanjangan kontrak tambang yang akan berakhir pada 2021.
Perusahaan tersebut siap memenuhi sejumlah persyaratan perpanjangan kontrak yang diajukan pemerintah seperti peningkatan royalti dan pembangunan pabrik pengolahan (smelter).
Freeport juga siap menginvestasikan dana hingga 18 miliar dolar AS untuk investasi tambang bawah tanah, infrastruktur dan "smelter".
Dalam perkembangannya, isu perpanjangan kontrak memunculkan kasus rekaman permintaan saham divestasi yang menyebabkan Ketua DPR waktu itu Setya Novanto mengundurkan diri. Kasus ini dikenal sebagai kasus "papa minta saham".
Berkaitan dengan kewajiban divestasi saham, PT FI telah menyampaikan penawaran sahamnya sebanyak 10,64 persen senilai 1,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp23 triliun.
Pemerintah Indonesia masih mengevaluasi nilai saham yang ditawarkan Freeport tersebut yang dilakukan oleh tim lintas instansi.
Setelah dilakukan penghitungan, tim akan bertemu tim Freeport untuk menyepakati harga saham. Kemudian diputuskan berdasarkan persetujuan para pihak.
Sesuai PP Nomor 77/2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, evaluasi mengenai valuasi Freeport akan dilakukan selama 60 hari.
Kewajiban divestasi Freeport itu, mengacu pada PP Nomor 77/2014 sebesar 30 persen. Regulasi itu mengatur tiga jenis kategori divestasi.
Pertama, jika perusahaan tambang milik asing hanya melakukan kegiatan pertambangan, maka besaran divestasinya sebesar 51 persen.
Kemudian jika perusahaan tambang itu melakukan kegiatan penambangan dan terintegrasi dengan pengolahan dan pemurnian, maka divestasinya sebesar 40 persen.
Terakhir, apabila perusahaan itu melakukan kegiatan tambang bawah tanah (underground), divestasinya 30 persen.
Divestasi tersebut juga dilakukan secara bertahap, pada 2016 ini Freeport wajib melepas 20 persen saham dan pada 2019 sebesar 10 persen saham. Karena pemerintah sudah memiliki 9,36 persen saham, maka tahun ini divestasi sebesar 10,64 persen.
Freeport sudah hampir setengah abad beroperasi di Papua, Indonesia. Pada 5 April 1967, FI menandatangani kontrak karya penambangan di Erstberg, Papua untuk masa 30 tahun sampai 1997.
Pada 1991, perusahaan memperoleh perpanjangan kontrak selama 30 tahun atau hingga 2021, menyusul penemuan tambang Grasberg pada 1988.
Dalam kontrak 1991 tersebut, terdapat klausul kemungkinan perpanjangan 2x10 tahun setelah 2021 atau hingga 2041.
Per 31 Desember 2014, cadangan terbukti Freeport di Papua tercatat 2,57 miliar ton bijih yang terdiri atas 1,02 persen berupa tembaga, 0,83 gram per ton bijih berupa emas, dan 4,32 gram per ton bijih berupa perak.
Hadapi Ujian Ketika menjadi inspektur upacara HUT ke-70 Kemerdekaan RI di lapangan Sporthall Tembagapura, Kabupaten Mimika, Maroef Sjamsoeddin mengatakan bahwa perusahaan sedang menghadapi ujian yang sangat penting, antara lain ketidakpastian tentang perpanjangan operasional setelah adanya kontrak karya.
Perusahaan juga menghadapi penurunan harga komoditas produk perusahaan di pasar global. Hal ini berdampak pada menurunnya harga saham perusahaan pada bursa internasional.
Pada saat bersamaan perusahaan memerlukan modal investasi yang sangat besar untuk melanjutkan produksi pada "underground mining" (tambang bawah tanah).
Demikian pula halnya perluasan atau pengembangan kapasitas "smelter" di Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur.
Bersamaan dengan itu kondisi alam berupa perubahan cuaca sebagai dampak dari fenomena El Nino perlu juga menjadi fokus antisipasi perusahaan tersebut terhadap nilai produksi.
Untuk itu Maroef mengajak semua pihak perlu memahami betul kondisi objektif itu dan bersatu padu mendukung langkah yang diambil manajemen dalam menentukan kebijakan.
Mundurnya Maroef mungkin tidak mengubah operasional perusahaan di Papua, Indonesia.
Namun, jika selama ini ia yang bertanggung jawab atas sejumlah isu berkaitan dengan Freeport, maka bagaimana nasib Freeport nanti sepertinya belum bisa dipastikan. (antara)