Rozik Soetjipto Nilai Penutupan PTFI Merugikan
pada tanggal
Monday, 23 November 2015
TIMIKA (MIMIKA) – Mantan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) Rozik Boedioro Soetjipto angkat suara terkait masalah yang dihadapi perusahaan yang dibesarkannya saat ini.
Ia menilai pernyataan dari segelintir pengamat dan pejabat negara untuk menutup perusahaan tambang tembaga-emas terbesar di dunia ini dinilai sangat dini dan merugikan. Sebab, pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua akan mengalami goncangan besar jika PTFI benar-benar ditutup.
“Beritanya masih simpang-siur. Ada beda pendapat pribadi tentang masa depan Freeport. Menurut saya diperlukan pertimbangan masak-masak dan bijaksana dari pemerintah. Karena dampak keputusan yang diambil akan berimplikasi sangat luas untuk bangsa kita, khususnya saudara-saudara kita di Papua,” ungkap Rozik saat kepada Salam Papua, Minggu (22/11)
Ia menilai upaya dari perusahaan yang pernah dipimpinnya sejak tanggal 27 Januari 2012 hingga 7 Januari 2015 lalu ini sudah berkembang. Sebab beberapa poin kesepakatan bersama yang diminta oleh pemerintah pusat telah dilaksanakan secara perlahan-lahan.
Dari empat poin keputusan yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo kepada PTFI yakni pembangunan smelter di wilayah Indonesia, peningkatan keuntungan kepada Pemerintah Pusat dan daerah, divestasi sesuai Undang-Undang Minerba dan pemberdayaan masyarakat lokal di sekitar areal perusahaan, ia katakan sudah ada perkembangan. Meski sebagian dari isi kesepakatan bersama (MoU) antara Pemerintah Pusat dan PTFI ini masih belum dapat dipenuhi perusahaan itu sejak digulirkan pada Jumat, 25 Juli 2014 lalu.
“Sebagian sudah dilaksanakan, tetapi perlu ditingkatkan, khususnya pemberdayaan masyarakat dan local content. Namun, terkait divestasi saham dengan 30 persen kepemilikan saham untuk Indonesia dan pembangunan smelter inilah yang belum terealisasi,” jelas dia.
Ia menegaskan opininya ini bersifat netral dan berusaha untuk melihat dari sisi pembangunan daerah, terutama untuk kepentingan masyarakat Papua.
“Saya sekarang kan sudah tidak terlibat dengan masalah Freeport. Jadi pandangan saya bersifat independen sebagai orang luar yang pernah berada didalam PTFI. Jadi sebaiknya kita tunggu saja kebijakan yang akan diambil oleh Presiden Jokowi,” tutur Rozik.
Sebelum melepaskan masa jabatannya, Rozik pernah menyatakan bahwa belum ada perusahaan yang mampu mengelola bekas tambang di Grasberg dan sekitarnya secara mendadak, termasuk perusahaan Indonesia. Sebab, jika kontrak PTFI pada 2021 tidak diperpanjang oleh pemerintah Indonesia, bekas tambang mereka dipastikan tidak dapat dikelola dengan baik sebab jika tambang itu diserahkan ke perusahaan lain, pasti akan timbul masalah.
"Karena teknologi di pertambangan ini memahami tellermate," katanya di Jakarta, seperti diberitakan Tempo pada Senin pada 11 Agustus 2014 lalu.
Menurut Rozik saat itu, struktur pertambangan Freeport, seperti bijih, bentuk, dan letaknya, agak rumit sehingga bakal menyulitkan perusahaan tambang lain yang ingin menggarapnya. Kalaupun pemerintah melakukan amandemen terhadap kontrak karya Freeport, produksi tambang mereka pun tak serta-merta naik. Sebab, kapasitas produksi tetap 240 ribu ton. [SalamPapua]
Ia menilai pernyataan dari segelintir pengamat dan pejabat negara untuk menutup perusahaan tambang tembaga-emas terbesar di dunia ini dinilai sangat dini dan merugikan. Sebab, pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua akan mengalami goncangan besar jika PTFI benar-benar ditutup.
“Beritanya masih simpang-siur. Ada beda pendapat pribadi tentang masa depan Freeport. Menurut saya diperlukan pertimbangan masak-masak dan bijaksana dari pemerintah. Karena dampak keputusan yang diambil akan berimplikasi sangat luas untuk bangsa kita, khususnya saudara-saudara kita di Papua,” ungkap Rozik saat kepada Salam Papua, Minggu (22/11)
Ia menilai upaya dari perusahaan yang pernah dipimpinnya sejak tanggal 27 Januari 2012 hingga 7 Januari 2015 lalu ini sudah berkembang. Sebab beberapa poin kesepakatan bersama yang diminta oleh pemerintah pusat telah dilaksanakan secara perlahan-lahan.
Dari empat poin keputusan yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo kepada PTFI yakni pembangunan smelter di wilayah Indonesia, peningkatan keuntungan kepada Pemerintah Pusat dan daerah, divestasi sesuai Undang-Undang Minerba dan pemberdayaan masyarakat lokal di sekitar areal perusahaan, ia katakan sudah ada perkembangan. Meski sebagian dari isi kesepakatan bersama (MoU) antara Pemerintah Pusat dan PTFI ini masih belum dapat dipenuhi perusahaan itu sejak digulirkan pada Jumat, 25 Juli 2014 lalu.
“Sebagian sudah dilaksanakan, tetapi perlu ditingkatkan, khususnya pemberdayaan masyarakat dan local content. Namun, terkait divestasi saham dengan 30 persen kepemilikan saham untuk Indonesia dan pembangunan smelter inilah yang belum terealisasi,” jelas dia.
Ia menegaskan opininya ini bersifat netral dan berusaha untuk melihat dari sisi pembangunan daerah, terutama untuk kepentingan masyarakat Papua.
“Saya sekarang kan sudah tidak terlibat dengan masalah Freeport. Jadi pandangan saya bersifat independen sebagai orang luar yang pernah berada didalam PTFI. Jadi sebaiknya kita tunggu saja kebijakan yang akan diambil oleh Presiden Jokowi,” tutur Rozik.
Sebelum melepaskan masa jabatannya, Rozik pernah menyatakan bahwa belum ada perusahaan yang mampu mengelola bekas tambang di Grasberg dan sekitarnya secara mendadak, termasuk perusahaan Indonesia. Sebab, jika kontrak PTFI pada 2021 tidak diperpanjang oleh pemerintah Indonesia, bekas tambang mereka dipastikan tidak dapat dikelola dengan baik sebab jika tambang itu diserahkan ke perusahaan lain, pasti akan timbul masalah.
"Karena teknologi di pertambangan ini memahami tellermate," katanya di Jakarta, seperti diberitakan Tempo pada Senin pada 11 Agustus 2014 lalu.
Menurut Rozik saat itu, struktur pertambangan Freeport, seperti bijih, bentuk, dan letaknya, agak rumit sehingga bakal menyulitkan perusahaan tambang lain yang ingin menggarapnya. Kalaupun pemerintah melakukan amandemen terhadap kontrak karya Freeport, produksi tambang mereka pun tak serta-merta naik. Sebab, kapasitas produksi tetap 240 ribu ton. [SalamPapua]