Puluhan Warga Demo di Puspenka Pertanyakan Hasil MA
pada tanggal
Thursday, 12 November 2015
SENTANI (JAYAPURA) - Puluhan warga melakukan demo di halaman Puspenka Hawai, Sentani, Kabupaten Jayapura pada Senin, 14 September 2015. Demo itu ditengarai karena pihak yang kalah (termohon) di Mahkamah Agung (MA), yaitu pemilik ulayat mempertanyakan dokumen hasil amar putusan MA tahun 2008. Dokumen amar putusan itu dinilai cacat hukum.
“Oknum-oknum Sinode GKI Papua Mafia Tanah,” teriak warga membacakan tulisan pada spanduknya.
Salah seorang pendemo yang menyebut dirinya pemilik ulayat, Siska Yoku mengatakan, dari proses pengadilan di Pengadilan Negeri, bahkan sampai di Mahkamah Agung pemilik ulayat dinyatakan kalah. Hal itu sudah dilakukan peninjauan kembali. “Namun dalam surat keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jayapura setelah dipelajari ada kekeliruan di sana, jumlah luas tanah yang menjadi dokumen sinode tidak sama dengan hasil putusan pengadilan,” kata Siska Yoku.
Menurut Siska, hasil amar putusan pengadilan luas areal tanah milik Sinode GKI Tanah Papua adalah 1,9 hektar. “Ini yang benar siapa?” katanya.
“Sebagai pemilik tanah dan juga masyarakat yang mendiami tanah ini tidak diberikan surat pemberitahuan secara tertulis tentang pengukuran tanah, malah yang kami dengar pemberitahuannya di gereja hari Minggu (13/9) sinode mau melakukan eksekusi tanah, yang terjadi malah sinode melakukan pengukuran ulang. Inikan tidak mungkin,” ujarnya.
Ia mengatakan, jika tanah itu diukur lagi oleh sinode, maka harus menunjukkan kepada pihaknya hasil putusan pengadilan yang dimenangkan atas lahan 1,9 hektar, disertai dengan surat pelepasan hak atas tanah berdasarkan peta dan KART pada tahun 1971.
“Boleh melakukan pengukuran tanah, tetapi tunjukkan dulu dokumen asli yang telah dimenangkan di pengadilan,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Sinode GKI di Tanah Papua Albert Yoku yang dihubungi via telepon selulernya mengaku kalau tanah yang saat ini dipersoalkan adalah milik Sinode.
“Saya juga bagian dari atas tanah tersebut, tetapi pendahulu kami sudah lebih dulu menjualnya kepada pihak GKI. Proses penjualan tanah tersebut terjadi pada tahun 1969-1971 dengan harga tanahnya sebesar Rp 28.000,-Ib. Sinode juga telah menang di semua tingkatan pengadilan, bahkan sampai di Mahkama Agung. Tahun 1998 persoalan tanah Puspenka di bawah ke pengadilan, persoalan ini berjalan sampai sepuluh tahun lamanya dan pengadilan memutuskan tanah tersebut adalah milik sinode. Tahun 2008 pihak termohon mengajukan banding dan ke Mahkama Agung, tetapi hasilnya tetap sama. Untuk itu saya berpikir bahwa mari kita sama-sama melihat persoalan ini dengan kepala yang dingin, pelajari bersama dokumen yang ada supaya tidak terjadi keributan atau salah paham diantara kita semua,” jelasnya. [Jubi]
“Oknum-oknum Sinode GKI Papua Mafia Tanah,” teriak warga membacakan tulisan pada spanduknya.
Salah seorang pendemo yang menyebut dirinya pemilik ulayat, Siska Yoku mengatakan, dari proses pengadilan di Pengadilan Negeri, bahkan sampai di Mahkamah Agung pemilik ulayat dinyatakan kalah. Hal itu sudah dilakukan peninjauan kembali. “Namun dalam surat keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jayapura setelah dipelajari ada kekeliruan di sana, jumlah luas tanah yang menjadi dokumen sinode tidak sama dengan hasil putusan pengadilan,” kata Siska Yoku.
Menurut Siska, hasil amar putusan pengadilan luas areal tanah milik Sinode GKI Tanah Papua adalah 1,9 hektar. “Ini yang benar siapa?” katanya.
“Sebagai pemilik tanah dan juga masyarakat yang mendiami tanah ini tidak diberikan surat pemberitahuan secara tertulis tentang pengukuran tanah, malah yang kami dengar pemberitahuannya di gereja hari Minggu (13/9) sinode mau melakukan eksekusi tanah, yang terjadi malah sinode melakukan pengukuran ulang. Inikan tidak mungkin,” ujarnya.
Ia mengatakan, jika tanah itu diukur lagi oleh sinode, maka harus menunjukkan kepada pihaknya hasil putusan pengadilan yang dimenangkan atas lahan 1,9 hektar, disertai dengan surat pelepasan hak atas tanah berdasarkan peta dan KART pada tahun 1971.
“Boleh melakukan pengukuran tanah, tetapi tunjukkan dulu dokumen asli yang telah dimenangkan di pengadilan,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Sinode GKI di Tanah Papua Albert Yoku yang dihubungi via telepon selulernya mengaku kalau tanah yang saat ini dipersoalkan adalah milik Sinode.
“Saya juga bagian dari atas tanah tersebut, tetapi pendahulu kami sudah lebih dulu menjualnya kepada pihak GKI. Proses penjualan tanah tersebut terjadi pada tahun 1969-1971 dengan harga tanahnya sebesar Rp 28.000,-Ib. Sinode juga telah menang di semua tingkatan pengadilan, bahkan sampai di Mahkama Agung. Tahun 1998 persoalan tanah Puspenka di bawah ke pengadilan, persoalan ini berjalan sampai sepuluh tahun lamanya dan pengadilan memutuskan tanah tersebut adalah milik sinode. Tahun 2008 pihak termohon mengajukan banding dan ke Mahkama Agung, tetapi hasilnya tetap sama. Untuk itu saya berpikir bahwa mari kita sama-sama melihat persoalan ini dengan kepala yang dingin, pelajari bersama dokumen yang ada supaya tidak terjadi keributan atau salah paham diantara kita semua,” jelasnya. [Jubi]