Presiden Jokowi Diminta Hormati Kebebasan Pers di Papua
pada tanggal
Thursday, 12 November 2015
JAKARTA - Perintah Presiden Joko Widodo agar kebebasan pers dihormati di Papua tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh bawahan presiden Jokowi, kata pegiat lembaga Human Rights Watch.
Dalam pemaparannya atas laporan Human Rights Watch (HRW) setebal 75 halaman bertajuk “Something to Hide?: Indonesia’s Restrictions on Media Freedom and Rights Monitoring in Papua,” Andreas Harsono dari HRW mengatakan wartawan asing yang terakreditasi di Jakarta masih dibatasi untuk pergi ke Papua.
“Mereka masih harus minta surat jalan ke Badan Intelkam Polri , juga masih harus memberitahu jadwal, tujuan, tempat dan waktu peliputan di Papua ke Kementerian Luar Negeri,” ujar Andreas
"Padahal, ini tidak diperlukan apabila seorang wartawan asing pergi meliput ke Bandung, Yogyakarta, Makasar dan tempat-tempat lain di Indonesia. Indonesia sebagai satu Negara cukup satu visa jurnalis, tidak perlu visa ganda ke untuk meliput di Papua," tambah Andreas.
Dibandingkan dengan Cina
Ketika ditanya mengenai pernyataan seorang pejabat Indonesia yang mengatakan pengajuan ijin peliputan lumrah dilakukan di Cina dan negara manapun di dunia, Andreas tidak menepis.
“Oh betul, kalau jurnalis mau meliput ke daerah Xinjiang yang bermasalah di Cina, jurnalis harus mengajukan permohonan surat jalan. Pertanyaannya, mau tidak Indonesia disamakan dengan rezim otoriter macam Cina?” ujarnya.
Andreas mengamini bahwa semua jurnalis harus mengajukan visa wartawan ketika meliput di sebuah negara. “Persoalannya, seharusnya tidak perlu ada visa khusus ke Papua, bukan?”
Berdasarkan wawancara kepada 107 wartawan, redaktur, dan lembaga swadaya masyarakat, HRW menemukan bahwa persoalan pembatasan peliputan jurnalis asing telah berlangsung selama 25 tahun.
“Ada semacam sikap paranoid dari pemerintah Indonesia terhadap jurnalis asing. Di daerah ini kan ada pemberontakan, korupsi, pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan hidup. Semuanya ini ditutupi,” kata Andreas.
Wartawan lokal lebih menderita
Lebih dari itu, kata Andreas, wartawan lokal di papua justru menderita pembatasan yang lebih parah lagi. “ Ada yang diintimidasi, ruang redaksi dimasuki militer sehingga menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman.”
Bahkan, menurut Andreas, dia mendapat laporan bahwa pekerja-pekerja kemanusiaan asing , pejabat-pejabat PBB, dan akademsi dibatasi masuk ke Papua.
Andreas mengakui bahwa ada kemajuan sejak Presiden Jokowi memerintahkan pembukaan akses kepada wartawan asing di Papua pada 10 Me 2015. Menurutnya ada beberapa wartawan dari berbagai Negara, termasuk Selandia Baru yang datang meliput ke Papua tanpa hambatan berarti.
Namun, kebebasan itu tidak seleluasa seperti yang terjadi jika wartawan asing meliput ke tempat-tempat lain di Indonesia.
“Oleh karena itu, Human Rights Watch mengusulkan Presiden Jokowi menerbitkan instruksi presiden mengenai peliputan wartawan asing ke Papua. Tidak cukup secara verbal, harus aturan tertulis. Sehingga bawahan-bawahan presiden memiliki pegangan,” kata Andreas. [BBC]
Dalam pemaparannya atas laporan Human Rights Watch (HRW) setebal 75 halaman bertajuk “Something to Hide?: Indonesia’s Restrictions on Media Freedom and Rights Monitoring in Papua,” Andreas Harsono dari HRW mengatakan wartawan asing yang terakreditasi di Jakarta masih dibatasi untuk pergi ke Papua.
“Mereka masih harus minta surat jalan ke Badan Intelkam Polri , juga masih harus memberitahu jadwal, tujuan, tempat dan waktu peliputan di Papua ke Kementerian Luar Negeri,” ujar Andreas
"Padahal, ini tidak diperlukan apabila seorang wartawan asing pergi meliput ke Bandung, Yogyakarta, Makasar dan tempat-tempat lain di Indonesia. Indonesia sebagai satu Negara cukup satu visa jurnalis, tidak perlu visa ganda ke untuk meliput di Papua," tambah Andreas.
Dibandingkan dengan Cina
Ketika ditanya mengenai pernyataan seorang pejabat Indonesia yang mengatakan pengajuan ijin peliputan lumrah dilakukan di Cina dan negara manapun di dunia, Andreas tidak menepis.
“Oh betul, kalau jurnalis mau meliput ke daerah Xinjiang yang bermasalah di Cina, jurnalis harus mengajukan permohonan surat jalan. Pertanyaannya, mau tidak Indonesia disamakan dengan rezim otoriter macam Cina?” ujarnya.
Andreas mengamini bahwa semua jurnalis harus mengajukan visa wartawan ketika meliput di sebuah negara. “Persoalannya, seharusnya tidak perlu ada visa khusus ke Papua, bukan?”
Berdasarkan wawancara kepada 107 wartawan, redaktur, dan lembaga swadaya masyarakat, HRW menemukan bahwa persoalan pembatasan peliputan jurnalis asing telah berlangsung selama 25 tahun.
“Ada semacam sikap paranoid dari pemerintah Indonesia terhadap jurnalis asing. Di daerah ini kan ada pemberontakan, korupsi, pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan hidup. Semuanya ini ditutupi,” kata Andreas.
Wartawan lokal lebih menderita
Lebih dari itu, kata Andreas, wartawan lokal di papua justru menderita pembatasan yang lebih parah lagi. “ Ada yang diintimidasi, ruang redaksi dimasuki militer sehingga menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman.”
Bahkan, menurut Andreas, dia mendapat laporan bahwa pekerja-pekerja kemanusiaan asing , pejabat-pejabat PBB, dan akademsi dibatasi masuk ke Papua.
Andreas mengakui bahwa ada kemajuan sejak Presiden Jokowi memerintahkan pembukaan akses kepada wartawan asing di Papua pada 10 Me 2015. Menurutnya ada beberapa wartawan dari berbagai Negara, termasuk Selandia Baru yang datang meliput ke Papua tanpa hambatan berarti.
Namun, kebebasan itu tidak seleluasa seperti yang terjadi jika wartawan asing meliput ke tempat-tempat lain di Indonesia.
“Oleh karena itu, Human Rights Watch mengusulkan Presiden Jokowi menerbitkan instruksi presiden mengenai peliputan wartawan asing ke Papua. Tidak cukup secara verbal, harus aturan tertulis. Sehingga bawahan-bawahan presiden memiliki pegangan,” kata Andreas. [BBC]