Muhammadiyah Papua Barat Nilai Unjuk Rasa Penolakan Masjid Raya Berpotensi Letupkan Konflik Sosial
pada tanggal
Wednesday, 4 November 2015
MANOKWARI – Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Papua Barat, Dr Mulyadi Djaya mengatakan aksi demonstrasi dengan mengerahkan massa besar-besaran untuk melakukan penolakan pendirian masjid raya sebagai Islamic Centre di Manokwari seperti yang terjadi pada Kamis lalu (29/10), sebenarnya tidak perlu terjadi. Syaratnya adalah bila kalau kedua belah pihak atau kelompok patuh dan taat dengan keputusan pertemuan yang difasilitasi oleh Polda Papua Barat pada bulan September lalu.
“Bila ada persoalan yang mengganjal maka seharusnya semua itu kemudian diserahkan kepada Pemerintah yang memang sudah memiliki payung hukum tentang pendirian rumah ibadah,’’ kata Mulyadi, yang juga dosen di Universitas Negeri Papua di Manokwari, kepada Republika, Selasa (3/11).
Mulyadi menegaskan demontrasi besar-besaran yang membawa soal isu suku agama ras dan antargolongan (SARA) punya risiko yang tinggi atas terjadinya gangguan kemanan dan meletupkan konflik sosial. Hal ini karenaa aksi tersebut sangat mudah disusupi pihak lain yang tidak menginginkan kondisi Papua, khususnya Manokwari tetap dalam aman dan damai.
“Apalagi kini situasinya menjelang ajang pemilukada yang akan berlangsung pada Desember nanti. Maka akan sangat mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang sengaja ummat beragama di Manokwari pecah berkeping-keping,’’ katanya.
menegaskan semenjak dulu masyarakat Papua, khususnya Manokwari, telah hidup berdampingan semua agama dan suku yang datang dari dalam dan luar Papua secara damai. Mereka pun saling menghormati setiap perayaan hari-hari besar agama seperti hari raya Idhul Fitri, di mana dari pihak yang menganut agama non muslim mengunjungi warga muslim.
"Dan sebaliknya ketika hari raya natal dan tahun baru keluarga muslim pun membalasnya dengan mengunjungi keluarga Nasrani. Toleransi sangat baik, kenapa kita harus merusak suasana yang sudah terbina dengan baik ini," kata Mulyadi.
Menurut dia, pengalaman para tokoh penyebar agama pun di masa lalu tidak pernah membuat konflik di kalangan masyarakat Papua, khususnya Manokwari itu. Bahkan, kedua pihak bisa saling bersikap lapang dada dan bahkan membantu satu sama lain. Penguasa kawasan Manokwari, yakni Sultan Tidore, tak mempermasalahkan kedatangan penyebar agama dari kalangan Kristen.
"Jadi harus kita kembali mengingat bagaimana toleransi itu sudah diperlihatkan oleh zending Ottow dan Geissler ketika menyebarkan agama Kristen di Tanah Papua yang mendarat di Pulau Mansinam Manokwari pada tahun 5 Februari 1855. Dia bisa sampai ke Manokwari setelah mendapatkan izin dari Sultan Tidore. Bukan hanya itu mereka diantar menggunakan perahu oleh orang Tidore yang Muslim. Nah, contoh toleransi seperti inilah yang harus kita pertahankan," tegas Mulyadi.
Ia menegaskan sebagai konsekuensi kota Manokwari sebagai ibu kota provinsi menuju kota prametropolitan, maka dipastikan terjadi dinamisasi perubahan besar yang mempengaruhi tata kehidupan bermasyarakatnya. Sebagian warga yang dulunya hidup subsisten dan barter, kini harus berhadapan gaya kehidupan baru dengan pola hidup konsumtif dn kompetetif.
"Atas terjadinya situasi seperti itu, maka pastilah akan terjadi masalah psikososial atau culture shock. Maka di sinilah diperlukan kejelian Pemerintah melihat perubahan socsal yang terjadi melalui program-program pembangunan sosial, ekonomi, dan politik,’’ kata Mulyadi.
Diakuinya, bila kemudian muncul sebuah suasana ‘tegang’ di dalam masyarakat Manokwari, seharusnya semua masalah yang muncul bisa diselesaikan dengan cara membangun dialog yang konstruktif dengan kepala dingin dari kedua tokoh agama Islam dan Kristen. Selain itu, para kepala suku di Manokwari harus tetap diikutsertakan. ‘’Sedangkan acara dialog itu harus pula tetap difasilitasi oleh pemerintah dan pihak keamanan.,’’ ujarnya.
Selaku salah satu pengurus ormas Islam. Mulyadi lebih lanjut menyatakan bila pada saat ini pihak Muslim yakni MUI Kabupaten Manokwari melalui Presedium Konsolidasi Ummat Islam Manokwari secara intensif terus melakukan pertemuan dengan ormas-ormas Islam, pagayuban masyarakat, para ulama, dan tokoh masyarakat Muslim lainnya.
"Tujuannya jelas untuk menenangkan suasana agar kaum Muslim di Manokwari tidak terpancing dengan isu-isu yang berkembang yang sulit dipertanggungjawabkan," tegas Mulyadi.
Sebelumnya, pada Kamis (29/10) sekitar dua ribu masa umat Kristiani di Manowari melakukan aksi unjuk rasa menolak kehadiran masjid di Manokwari. Pada saat itu, para pengunjuk rasa di dalam orasinya yang dilakukan di depan kantor Bupati Manowari, meminta agar aparaat membongkar dan tidak melanjutkan pembangunan sebuah masjid yang akan didirikan di Kelurahan Andai, Distrik Manokwari Selatan sebab pembangunan itu dilakukan diatas tanah zending yang hingga saat ini juga belum mendapatkan ijin IMB dan SKB 3 menteri terkait pembangunan tempat ibadah. [Republika/Papuanesia]
“Bila ada persoalan yang mengganjal maka seharusnya semua itu kemudian diserahkan kepada Pemerintah yang memang sudah memiliki payung hukum tentang pendirian rumah ibadah,’’ kata Mulyadi, yang juga dosen di Universitas Negeri Papua di Manokwari, kepada Republika, Selasa (3/11).
Mulyadi menegaskan demontrasi besar-besaran yang membawa soal isu suku agama ras dan antargolongan (SARA) punya risiko yang tinggi atas terjadinya gangguan kemanan dan meletupkan konflik sosial. Hal ini karenaa aksi tersebut sangat mudah disusupi pihak lain yang tidak menginginkan kondisi Papua, khususnya Manokwari tetap dalam aman dan damai.
“Apalagi kini situasinya menjelang ajang pemilukada yang akan berlangsung pada Desember nanti. Maka akan sangat mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang sengaja ummat beragama di Manokwari pecah berkeping-keping,’’ katanya.
menegaskan semenjak dulu masyarakat Papua, khususnya Manokwari, telah hidup berdampingan semua agama dan suku yang datang dari dalam dan luar Papua secara damai. Mereka pun saling menghormati setiap perayaan hari-hari besar agama seperti hari raya Idhul Fitri, di mana dari pihak yang menganut agama non muslim mengunjungi warga muslim.
"Dan sebaliknya ketika hari raya natal dan tahun baru keluarga muslim pun membalasnya dengan mengunjungi keluarga Nasrani. Toleransi sangat baik, kenapa kita harus merusak suasana yang sudah terbina dengan baik ini," kata Mulyadi.
Menurut dia, pengalaman para tokoh penyebar agama pun di masa lalu tidak pernah membuat konflik di kalangan masyarakat Papua, khususnya Manokwari itu. Bahkan, kedua pihak bisa saling bersikap lapang dada dan bahkan membantu satu sama lain. Penguasa kawasan Manokwari, yakni Sultan Tidore, tak mempermasalahkan kedatangan penyebar agama dari kalangan Kristen.
"Jadi harus kita kembali mengingat bagaimana toleransi itu sudah diperlihatkan oleh zending Ottow dan Geissler ketika menyebarkan agama Kristen di Tanah Papua yang mendarat di Pulau Mansinam Manokwari pada tahun 5 Februari 1855. Dia bisa sampai ke Manokwari setelah mendapatkan izin dari Sultan Tidore. Bukan hanya itu mereka diantar menggunakan perahu oleh orang Tidore yang Muslim. Nah, contoh toleransi seperti inilah yang harus kita pertahankan," tegas Mulyadi.
Ia menegaskan sebagai konsekuensi kota Manokwari sebagai ibu kota provinsi menuju kota prametropolitan, maka dipastikan terjadi dinamisasi perubahan besar yang mempengaruhi tata kehidupan bermasyarakatnya. Sebagian warga yang dulunya hidup subsisten dan barter, kini harus berhadapan gaya kehidupan baru dengan pola hidup konsumtif dn kompetetif.
"Atas terjadinya situasi seperti itu, maka pastilah akan terjadi masalah psikososial atau culture shock. Maka di sinilah diperlukan kejelian Pemerintah melihat perubahan socsal yang terjadi melalui program-program pembangunan sosial, ekonomi, dan politik,’’ kata Mulyadi.
Diakuinya, bila kemudian muncul sebuah suasana ‘tegang’ di dalam masyarakat Manokwari, seharusnya semua masalah yang muncul bisa diselesaikan dengan cara membangun dialog yang konstruktif dengan kepala dingin dari kedua tokoh agama Islam dan Kristen. Selain itu, para kepala suku di Manokwari harus tetap diikutsertakan. ‘’Sedangkan acara dialog itu harus pula tetap difasilitasi oleh pemerintah dan pihak keamanan.,’’ ujarnya.
Selaku salah satu pengurus ormas Islam. Mulyadi lebih lanjut menyatakan bila pada saat ini pihak Muslim yakni MUI Kabupaten Manokwari melalui Presedium Konsolidasi Ummat Islam Manokwari secara intensif terus melakukan pertemuan dengan ormas-ormas Islam, pagayuban masyarakat, para ulama, dan tokoh masyarakat Muslim lainnya.
"Tujuannya jelas untuk menenangkan suasana agar kaum Muslim di Manokwari tidak terpancing dengan isu-isu yang berkembang yang sulit dipertanggungjawabkan," tegas Mulyadi.
Sebelumnya, pada Kamis (29/10) sekitar dua ribu masa umat Kristiani di Manowari melakukan aksi unjuk rasa menolak kehadiran masjid di Manokwari. Pada saat itu, para pengunjuk rasa di dalam orasinya yang dilakukan di depan kantor Bupati Manowari, meminta agar aparaat membongkar dan tidak melanjutkan pembangunan sebuah masjid yang akan didirikan di Kelurahan Andai, Distrik Manokwari Selatan sebab pembangunan itu dilakukan diatas tanah zending yang hingga saat ini juga belum mendapatkan ijin IMB dan SKB 3 menteri terkait pembangunan tempat ibadah. [Republika/Papuanesia]