BMKG Nilai El Nino di Mimika Tidak Berdampak Besar
pada tanggal
Tuesday, 17 November 2015
TIMIKA (MIMIKA) – Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Timika menyatakan dampak El Nino atau fase musim kemarau secara ekstrim di Kabupaten Mimika tidak terlalu besar.
“El Nino secara umum berakhir pada Januari 2016, namun beberapa wilayah di Indonesia sudah masuk dalam musim pancaroba dari kemarau hingga ke musim hujan termasuk di Mimika dan Papua pada umumnya, sehingga dampaknya adalah berakhirnya kemarau ekstrim dan beralih pada musim hujan,” ujar prakirawan BMKG Timika, Sony Hartono S.Si kepada Salam Papua, Senin (16/11).
Ia akui fenomena El Nino yang merupakan gejala gangguan iklim yang diakibatkan oleh naiknya suhu permukaan laut Samudera Pasifik sekitar khatulistiwa bagian tengah dan timur ini sebenarnya masih berlangsung namun terkendala dengan faktor-faktor lokal.
“Faktor lokal di Timika yang membuat El Nino tidak lagi berlaku akibat hujan yang terjadi setiap hari di sepanjang wilayah Mimika. Di Timika, trend lahirnya awan pembentuk hujan yang disebut awan Cumulonimbus atau awan Cb sedang meningkat. Awan konvektif inilah yang menimbulkan hujan dengan petir dengan skala yang cukup banyak,” ujarnya.
Dikatakan hujan di musim peralihan seperti saat ini dinilai memberikan keuntungan tersendiri. Sebab prakiraan sebelumnya yang menyatakan bahwa perubahan ini kembali menormalkan wilayah Papua Selatan yang sebelumnya terlanda musim kemarau panjang yang ekstrim akibat el-nino sejak Maret 2015 lalu.
“Awan konvektif ini muncul akibat adanya penambahan awan akibat terkumpulnya titik air di wilayah perairan di wilayah selatan dan karakter awan juga muncul di wilayah pegunungan yang terletak di utara. Akhirnya hujan di wilayah pesisir terjadi di pagi hingga siang hari, sedangkan petang hingga malam terjadi hujan di wilayah pegunungan,” ungkap dia.
Keuntungan dari peningkatan musim pancaroba ini dinilai memberikan keuntungan secara nyata kepada masyarakat Mimika diantaranya adalah berkurangnya polusi asap secara drastis pasca terbakarnya hutan di Selatan Papua pada September dan Oktober lalu.
“Dampak yang paling terlihat adalah kabut asap di Timika yang berkurang akibat rendahnya titik api di Merauke dan sekitarnya. Sebab meski kini ada laporan titik api hingga capai 90-an titik api, namun dampaknya secara langsung tidak dirasakan lagi di Timika,” ungkap dia. [SalamPapua]
“El Nino secara umum berakhir pada Januari 2016, namun beberapa wilayah di Indonesia sudah masuk dalam musim pancaroba dari kemarau hingga ke musim hujan termasuk di Mimika dan Papua pada umumnya, sehingga dampaknya adalah berakhirnya kemarau ekstrim dan beralih pada musim hujan,” ujar prakirawan BMKG Timika, Sony Hartono S.Si kepada Salam Papua, Senin (16/11).
Ia akui fenomena El Nino yang merupakan gejala gangguan iklim yang diakibatkan oleh naiknya suhu permukaan laut Samudera Pasifik sekitar khatulistiwa bagian tengah dan timur ini sebenarnya masih berlangsung namun terkendala dengan faktor-faktor lokal.
“Faktor lokal di Timika yang membuat El Nino tidak lagi berlaku akibat hujan yang terjadi setiap hari di sepanjang wilayah Mimika. Di Timika, trend lahirnya awan pembentuk hujan yang disebut awan Cumulonimbus atau awan Cb sedang meningkat. Awan konvektif inilah yang menimbulkan hujan dengan petir dengan skala yang cukup banyak,” ujarnya.
Dikatakan hujan di musim peralihan seperti saat ini dinilai memberikan keuntungan tersendiri. Sebab prakiraan sebelumnya yang menyatakan bahwa perubahan ini kembali menormalkan wilayah Papua Selatan yang sebelumnya terlanda musim kemarau panjang yang ekstrim akibat el-nino sejak Maret 2015 lalu.
“Awan konvektif ini muncul akibat adanya penambahan awan akibat terkumpulnya titik air di wilayah perairan di wilayah selatan dan karakter awan juga muncul di wilayah pegunungan yang terletak di utara. Akhirnya hujan di wilayah pesisir terjadi di pagi hingga siang hari, sedangkan petang hingga malam terjadi hujan di wilayah pegunungan,” ungkap dia.
Keuntungan dari peningkatan musim pancaroba ini dinilai memberikan keuntungan secara nyata kepada masyarakat Mimika diantaranya adalah berkurangnya polusi asap secara drastis pasca terbakarnya hutan di Selatan Papua pada September dan Oktober lalu.
“Dampak yang paling terlihat adalah kabut asap di Timika yang berkurang akibat rendahnya titik api di Merauke dan sekitarnya. Sebab meski kini ada laporan titik api hingga capai 90-an titik api, namun dampaknya secara langsung tidak dirasakan lagi di Timika,” ungkap dia. [SalamPapua]