Amnesti International Apresiasi Pembebasan Filep Karma
pada tanggal
Sunday, 22 November 2015
JAKARTA - Aktivis prokemerdekaan Papua, Filep Karma menghirup udara bebas setelah dipenjara secara tidak adil selama lebih dari satu dekade karena mengibarkan bendera Bintang Kejora dalam sebuah upacara politik pada 2004.
"Filep Karma menghabiskan waktu lebih dari satu dekade dalam hidupnya di penjara ketika seharusnya dia tidak boleh dipenjara bahkan untuk satu hari. Itu adalah sebuah dagelan keterlaluan dari sistem hukum dan dia seharusnya tidak pernah diadili di pengadilan," kata Direktur Kampanye Amnesti Internasional untuk Asia Tenggara, Josef Benedict, Sabtu (21/11).
Menurutya, setiap Warga Negara Indonesia seharusnya memiliki hak untuk mengekspresikan diri secara bebas (right to free expression) dan hak untuk berkumpul secara bebas (right to freely assemble).
"Tetapi hak tersebut secara kejam ditolak untuk Filep Karma," ujarnya.
Amnesti Internasional sudah lama menganggap Filep Karma sebagai tahanan nurani (prisoner of conscience) dan berkampanye untuk pembebasannya. Pada tahun 2011 para pendukung organisasi ini di lebih dari 80 negara mengirimkan lebih dari 65.000 pesan dukungan kepadanya sebagai bagian dari kampanye tahunan menulis untuk Hak Asasi Manusia (Write for Rights) dan menyerukan pembebasannya tanpa syarat.
Filep Karma secara konsisten menolak untuk menerima remisi yang ditawarkan oleh pemerintah, dan mengatakan dia hanya akan menerima pembebasan tanpa syarat dan bahwa seharusnya dia tidak pernah dipenjara sejak awal.
Amnesti Internasional percaya bahwa dirinya ditangkap secara semena-mena karena menggunakan haknya untuk mengekspresikan diri secara bebas dan untuk berkumpul secara bebas, sewaktu dia mengibarkan bendera dan menghadiri sebuah kegiatan politik.
"Kami berharap ini akan menjadi langkah pertama menuju pembebasan semua tahanan nurani yang dipenjara karena ekspresi politik mereka secara damai di Papua dan di daerah lain di Indonesia," ucap Josef.
Amnesti Internasional berharap pembebasan Filep Karma menjadi tanda otoritas akan menjauh dari tindakan-tindakan represif yang sering digunakan oleh para pihak yang berwenang untuk membungkam perbedaan pendapat secara damai di wilayah Papua.
Di samping pembebasan semua tahanan nurani, pihak berwenang Indonesia harus membentuk sebuah mekanisme untuk menyelesaikan budaya impunitas di Papua dan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pasukan keamanan di masa lalu dan sekarang.
Filep Karma merupakan satu di antara sekitar 200 orang yang ikut ambil bagian dalam sebuah upacara secara damai di Abepura, Provinsi Papua pada 1 Desember 2004. Dalam peringatan deklarasi kemerdekaan Papua, bendera Bintang Kejora – sebuah simbol yang dilarang akan kemerdekaan Papua - dikibarkan.
Polisi kemudian bergerak ke kerumunan massa, memukul orang-orang dengan tongkat. Filep Karma kemudian ditangkap dan didakwa dengan kejahatan "makar" di bawah Pasal 106 dan 110 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ia kemudian divonis bersalah pada 26 Mei 2005 dan dihukum 15 tahun penjara.
Selama kunjungannya ke provinsi Papua dan Papua Barat di bulan Mei, Presiden Joko Widodo mengambil langkah-langkah yang terlihat menunjukan tanda akan menjauhi kebijakan represi dari pemerintahan sebelumnya.
Termasuk mencakup pembebasan lima aktivis politik yang dipenjara lewat peradilan yang tidak adil berdasarkan pengambilan pengakuan secara paksa sebagai hasil penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya, dan membuat janji akan memberikan grasi atau amnesti bagi para aktivis politik lainnya yang dipenjara di berbagai tempat di Indonesia. Presiden juga mengumumkan bahwa pihak berwenang telah mencabut larangan bagi jurnalis asing untuk masuk ke Papua, bepergian secara bebas, dan membuat laporan tentang kawasan tersebut. [SuaraPembaruan]
"Filep Karma menghabiskan waktu lebih dari satu dekade dalam hidupnya di penjara ketika seharusnya dia tidak boleh dipenjara bahkan untuk satu hari. Itu adalah sebuah dagelan keterlaluan dari sistem hukum dan dia seharusnya tidak pernah diadili di pengadilan," kata Direktur Kampanye Amnesti Internasional untuk Asia Tenggara, Josef Benedict, Sabtu (21/11).
Menurutya, setiap Warga Negara Indonesia seharusnya memiliki hak untuk mengekspresikan diri secara bebas (right to free expression) dan hak untuk berkumpul secara bebas (right to freely assemble).
"Tetapi hak tersebut secara kejam ditolak untuk Filep Karma," ujarnya.
Amnesti Internasional sudah lama menganggap Filep Karma sebagai tahanan nurani (prisoner of conscience) dan berkampanye untuk pembebasannya. Pada tahun 2011 para pendukung organisasi ini di lebih dari 80 negara mengirimkan lebih dari 65.000 pesan dukungan kepadanya sebagai bagian dari kampanye tahunan menulis untuk Hak Asasi Manusia (Write for Rights) dan menyerukan pembebasannya tanpa syarat.
Filep Karma secara konsisten menolak untuk menerima remisi yang ditawarkan oleh pemerintah, dan mengatakan dia hanya akan menerima pembebasan tanpa syarat dan bahwa seharusnya dia tidak pernah dipenjara sejak awal.
Amnesti Internasional percaya bahwa dirinya ditangkap secara semena-mena karena menggunakan haknya untuk mengekspresikan diri secara bebas dan untuk berkumpul secara bebas, sewaktu dia mengibarkan bendera dan menghadiri sebuah kegiatan politik.
"Kami berharap ini akan menjadi langkah pertama menuju pembebasan semua tahanan nurani yang dipenjara karena ekspresi politik mereka secara damai di Papua dan di daerah lain di Indonesia," ucap Josef.
Amnesti Internasional berharap pembebasan Filep Karma menjadi tanda otoritas akan menjauh dari tindakan-tindakan represif yang sering digunakan oleh para pihak yang berwenang untuk membungkam perbedaan pendapat secara damai di wilayah Papua.
Di samping pembebasan semua tahanan nurani, pihak berwenang Indonesia harus membentuk sebuah mekanisme untuk menyelesaikan budaya impunitas di Papua dan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pasukan keamanan di masa lalu dan sekarang.
Filep Karma merupakan satu di antara sekitar 200 orang yang ikut ambil bagian dalam sebuah upacara secara damai di Abepura, Provinsi Papua pada 1 Desember 2004. Dalam peringatan deklarasi kemerdekaan Papua, bendera Bintang Kejora – sebuah simbol yang dilarang akan kemerdekaan Papua - dikibarkan.
Polisi kemudian bergerak ke kerumunan massa, memukul orang-orang dengan tongkat. Filep Karma kemudian ditangkap dan didakwa dengan kejahatan "makar" di bawah Pasal 106 dan 110 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ia kemudian divonis bersalah pada 26 Mei 2005 dan dihukum 15 tahun penjara.
Selama kunjungannya ke provinsi Papua dan Papua Barat di bulan Mei, Presiden Joko Widodo mengambil langkah-langkah yang terlihat menunjukan tanda akan menjauhi kebijakan represi dari pemerintahan sebelumnya.
Termasuk mencakup pembebasan lima aktivis politik yang dipenjara lewat peradilan yang tidak adil berdasarkan pengambilan pengakuan secara paksa sebagai hasil penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya, dan membuat janji akan memberikan grasi atau amnesti bagi para aktivis politik lainnya yang dipenjara di berbagai tempat di Indonesia. Presiden juga mengumumkan bahwa pihak berwenang telah mencabut larangan bagi jurnalis asing untuk masuk ke Papua, bepergian secara bebas, dan membuat laporan tentang kawasan tersebut. [SuaraPembaruan]