Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM Akan Laporkan Maraknya Kasus Penembakan Warga Sipil
pada tanggal
Saturday, 3 October 2015
KOTA JAYAPURA - Rentetan aksi penembakan yang terjadi di Papua dan mengakibatkan tewasnya warga sipil mendapat sorotan dari Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM Papua.
SKP melihat belum selesai satu kasus kini muncul kasus lain dan waktunya juga berdekatan dimana SKP mencatat ada 6 kasus yang terjadi dari akhir 2014 hingga akhir September 2015 kemarin.
”Kami protes banyaknya penembakan di Papua. Belum selesai satu kasus penembakan eh terjadi lagi ditempat lain lagi, sampai kapan harus begini,” kata Koordinator Umum SKP HAM, Peneas Lokbere saat memberi keterangan di Sekretariat Kontras Papua, di Waena Padang Bulan, Kamis (1/9).
Enam kasus ini diawali pada 8 Desember kasus penembakan 4 anak sekolah di Enarotali, Paniai, di Yahukimo pada 8 Maret saat pembubaran massa KNPB, di Dogiyai pada 26 Juni 2015, Tolikara pada 17 Juli saat perayaan Idul Fitri 2015, penembakan 2 warga Timika pada 28 Agustus dan terakhir 2 orang pelajar pada 28 September 2015.
Peneas mengaku dari berbagai kejadian ini pihaknya akan mencatat dan membukukan untuk nantinya disuarakan. Meski mulai tak mempercayai pemerintah dan aparat di Papua namun kata dia semua catatan ini akan dipakai untuk dilaporkan ke United Nation PBB.
”Kami seperti berbicara dengan kayu kalau bersuara di Papua, tapi tak apa semuanya selalu kami catat. Sebab nanti akan jadi laporan kami ke pihak yang bisa memberi kami keadilan, karena di Papua sepertinya selalu saja terjadi kekerasan” katanya.
Ia meyakini senjata yang dipakai aparat TNI dan Polri, dibeli menggunakan uang rakyat dengan tujuan melindungi rakyat. Tapi di Papua kesannya gampang sekali rakyat menjadi korban. Ia juga menyesalkan pernyataan Kapolda Papua Irjend Pol Paulus Waterpauw yang menyebut bahwa pembelaan diri anggotanya dengan menembak warga sipil sudah sesuai protap. Pasalnya kata Peneas tak bisa atas nama Undang-Undang membenarkan penembakan terhadap masyarakat. Untuk itu, ia mendesak agar Gubernur Papua dan DPRP memfasilitasi pertemuan resmi dengan Kapolda dan Pangdam untuk mengkaji kembali bagaimana kebijakan keamanan di Papua.
Lalu yang kedua pihaknya meminta argumen hukum yang tak sesuai fakta dengan tujuan membenarkan atau melindungi pelaku penembakan tidak lagi dilontarkan dan pelaku penembakan di Timika segera di proses hukum. “Jika aparat TNI Polri mau dipercaya oleh publik maka harus mengevaluasi dan merubah pola di lapangan. Jangan rakyat sudah korban lalu hanya mohon maaf dan besok masih melakukan,” bebernya.
Teko Kogoya dari Forum Independen Mahasiswa (FIM) menambahkan bahwa seharusnya TNI dan Polri menyadari bahwa anggotanya tidak sekedar diajar untuk bertindak secara militan tapi perlu memahami pendidikan Pancasila yang tidak membenarkan adanya penghakiman sepihak apalagi harus disertai dengan menggunakan alat negara. “Saat ini kami ketakutan karena sering terjadi penembakan,” bebernya yang diiiyakan Toni Hesegem dari Kontras.
Di tempat yang sama, Sekum KNPB, Ones Suhuniap menambahkan bahwa dari semua kejadian ini aparat harus terbuka untuk mengadili siapa saja pelakunya sebab ini bagian dari kejahatan. “Kami ingin melihat apakah yang terlibat ini bisa diadili atau tidak sebab selama ini sepertinya tidak dilakukan,” imbuhnya. Sementara mantan Sekretaris Komisi A DPR Papua, Yulianus Miagoni menambahkan bahwa tak bijak jika dari kasus Timika justru terlontar dari penyampaian Kapolda untuk kasus ini tidak dipolitisir.
Menurutnya tak ada pihak yang ingin mempolitisir penembakan yang menewaskan seorang pemuda di Timika 28 September lalu.
“Kalau bicara soal politisir itukan lebih pada pola pikir saja nah tidak mungkin kami melebih-lebihkan karena yang meninggal adik kami juga. Jadi pernyataan Kapolda tidak tepat,” imbuhnya. [Indopos]
SKP melihat belum selesai satu kasus kini muncul kasus lain dan waktunya juga berdekatan dimana SKP mencatat ada 6 kasus yang terjadi dari akhir 2014 hingga akhir September 2015 kemarin.
”Kami protes banyaknya penembakan di Papua. Belum selesai satu kasus penembakan eh terjadi lagi ditempat lain lagi, sampai kapan harus begini,” kata Koordinator Umum SKP HAM, Peneas Lokbere saat memberi keterangan di Sekretariat Kontras Papua, di Waena Padang Bulan, Kamis (1/9).
Enam kasus ini diawali pada 8 Desember kasus penembakan 4 anak sekolah di Enarotali, Paniai, di Yahukimo pada 8 Maret saat pembubaran massa KNPB, di Dogiyai pada 26 Juni 2015, Tolikara pada 17 Juli saat perayaan Idul Fitri 2015, penembakan 2 warga Timika pada 28 Agustus dan terakhir 2 orang pelajar pada 28 September 2015.
Peneas mengaku dari berbagai kejadian ini pihaknya akan mencatat dan membukukan untuk nantinya disuarakan. Meski mulai tak mempercayai pemerintah dan aparat di Papua namun kata dia semua catatan ini akan dipakai untuk dilaporkan ke United Nation PBB.
”Kami seperti berbicara dengan kayu kalau bersuara di Papua, tapi tak apa semuanya selalu kami catat. Sebab nanti akan jadi laporan kami ke pihak yang bisa memberi kami keadilan, karena di Papua sepertinya selalu saja terjadi kekerasan” katanya.
Ia meyakini senjata yang dipakai aparat TNI dan Polri, dibeli menggunakan uang rakyat dengan tujuan melindungi rakyat. Tapi di Papua kesannya gampang sekali rakyat menjadi korban. Ia juga menyesalkan pernyataan Kapolda Papua Irjend Pol Paulus Waterpauw yang menyebut bahwa pembelaan diri anggotanya dengan menembak warga sipil sudah sesuai protap. Pasalnya kata Peneas tak bisa atas nama Undang-Undang membenarkan penembakan terhadap masyarakat. Untuk itu, ia mendesak agar Gubernur Papua dan DPRP memfasilitasi pertemuan resmi dengan Kapolda dan Pangdam untuk mengkaji kembali bagaimana kebijakan keamanan di Papua.
Lalu yang kedua pihaknya meminta argumen hukum yang tak sesuai fakta dengan tujuan membenarkan atau melindungi pelaku penembakan tidak lagi dilontarkan dan pelaku penembakan di Timika segera di proses hukum. “Jika aparat TNI Polri mau dipercaya oleh publik maka harus mengevaluasi dan merubah pola di lapangan. Jangan rakyat sudah korban lalu hanya mohon maaf dan besok masih melakukan,” bebernya.
Teko Kogoya dari Forum Independen Mahasiswa (FIM) menambahkan bahwa seharusnya TNI dan Polri menyadari bahwa anggotanya tidak sekedar diajar untuk bertindak secara militan tapi perlu memahami pendidikan Pancasila yang tidak membenarkan adanya penghakiman sepihak apalagi harus disertai dengan menggunakan alat negara. “Saat ini kami ketakutan karena sering terjadi penembakan,” bebernya yang diiiyakan Toni Hesegem dari Kontras.
Di tempat yang sama, Sekum KNPB, Ones Suhuniap menambahkan bahwa dari semua kejadian ini aparat harus terbuka untuk mengadili siapa saja pelakunya sebab ini bagian dari kejahatan. “Kami ingin melihat apakah yang terlibat ini bisa diadili atau tidak sebab selama ini sepertinya tidak dilakukan,” imbuhnya. Sementara mantan Sekretaris Komisi A DPR Papua, Yulianus Miagoni menambahkan bahwa tak bijak jika dari kasus Timika justru terlontar dari penyampaian Kapolda untuk kasus ini tidak dipolitisir.
Menurutnya tak ada pihak yang ingin mempolitisir penembakan yang menewaskan seorang pemuda di Timika 28 September lalu.
“Kalau bicara soal politisir itukan lebih pada pola pikir saja nah tidak mungkin kami melebih-lebihkan karena yang meninggal adik kami juga. Jadi pernyataan Kapolda tidak tepat,” imbuhnya. [Indopos]