Rizal Ramli Anggap Freeport Indonesia Serakah
pada tanggal
Tuesday, 13 October 2015
JAKARTA - Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli menganggap PT Freeport Indonesia terlalu mencari untung tanpa menyeimbangkan hasil produksi dengan dampak limbahnya.
Rizal menuding, ketidakpedulian PTFI terhadap lingkungan sekitarnya yang terkena limbah membuat perusahaan tersebut dianggap serakah. Menurut Rizal, Freeport seenaknya saja memanfaatkan potensi di Indonesia.
"Limbah beracun yang membahayakan rakyat di sekitar Sungai Amungme di Papua itu tidak diproses. Freeport terlalu greedy, terlalu untung besar-besaran," ujar Rizal di Gedung KPK, Jakarta, Senin (12/10).
Padahal, kata dia, ada tambang-tambang lain, misalnya di Sulawesi yang memproses limbahnya sehingga tidak membahayakan lingkungan. Namun, Freeport terkesan abai terhadap limbahnya yang berdampak buruk bagi lingkungan ataupun masyarakat sekitar.
Rizal menganggap perpanjangan kontrak dengan Freeport tidak layak dilakukan karena "keserakahan" perusahaan itu. Sebab, selama menjalani kontrak dengan Pemerintah Indonesia dari tahun 1967 hingga 2014, Freeport hanya membayar royalti sebesar 1 persen. Padahal, idealnya negara lain membayar kewajiban 6 hingga 7 persen.
"Memang sebelum pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) berakhir, mereka setuju menaikkan 3,5 persen royalti, tapi itu belum cukup menurut kami. Freeport harus bayar 6 hingga 7 persen royalti," kata Rizal.
Selain itu, kata Rizal, Freport juga tidak tegas soal pelepasan saham atau divestasi. Ia mengatakan, ada kewajiban pemegang Kontrak Karya untuk memiliki program divestasi. "Artinya, menjual sahamnya kepada Pemerintah Indonesia atau anak perusahaan di Indonesia," kata dia.
Kontribusi lebih
Sebelumnya, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin menegaskan bahwa pihaknya tidak berkeberatan untuk memberikan kontribusi lebih ke Papua. Hal ini sebagaimana diminta oleh Pemerintah Indonesia.
Lebih lanjut, menurut dia, Freeport selaku investor tentu memiliki perhitungan bisnis dan tak ingin merugi. Kalau Freeport merugi, maka kontribusi atau manfaat yang diberikan kepada pemerintah tentu juga berkurang.
Sayangnya, Maroef tidak menjelaskan lebih rinci ketika ditanya kontribusi konkret ke Papua. [Kompas]
Rizal menuding, ketidakpedulian PTFI terhadap lingkungan sekitarnya yang terkena limbah membuat perusahaan tersebut dianggap serakah. Menurut Rizal, Freeport seenaknya saja memanfaatkan potensi di Indonesia.
"Limbah beracun yang membahayakan rakyat di sekitar Sungai Amungme di Papua itu tidak diproses. Freeport terlalu greedy, terlalu untung besar-besaran," ujar Rizal di Gedung KPK, Jakarta, Senin (12/10).
Padahal, kata dia, ada tambang-tambang lain, misalnya di Sulawesi yang memproses limbahnya sehingga tidak membahayakan lingkungan. Namun, Freeport terkesan abai terhadap limbahnya yang berdampak buruk bagi lingkungan ataupun masyarakat sekitar.
Rizal menganggap perpanjangan kontrak dengan Freeport tidak layak dilakukan karena "keserakahan" perusahaan itu. Sebab, selama menjalani kontrak dengan Pemerintah Indonesia dari tahun 1967 hingga 2014, Freeport hanya membayar royalti sebesar 1 persen. Padahal, idealnya negara lain membayar kewajiban 6 hingga 7 persen.
"Memang sebelum pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) berakhir, mereka setuju menaikkan 3,5 persen royalti, tapi itu belum cukup menurut kami. Freeport harus bayar 6 hingga 7 persen royalti," kata Rizal.
Selain itu, kata Rizal, Freport juga tidak tegas soal pelepasan saham atau divestasi. Ia mengatakan, ada kewajiban pemegang Kontrak Karya untuk memiliki program divestasi. "Artinya, menjual sahamnya kepada Pemerintah Indonesia atau anak perusahaan di Indonesia," kata dia.
Kontribusi lebih
Sebelumnya, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin menegaskan bahwa pihaknya tidak berkeberatan untuk memberikan kontribusi lebih ke Papua. Hal ini sebagaimana diminta oleh Pemerintah Indonesia.
Lebih lanjut, menurut dia, Freeport selaku investor tentu memiliki perhitungan bisnis dan tak ingin merugi. Kalau Freeport merugi, maka kontribusi atau manfaat yang diberikan kepada pemerintah tentu juga berkurang.
Sayangnya, Maroef tidak menjelaskan lebih rinci ketika ditanya kontribusi konkret ke Papua. [Kompas]