Kontrak Karya PT Freeport Indonesia Terkendala Undang-Undang
pada tanggal
Friday, 23 October 2015
JAKARTA - Pemasukan dari Freeport Indonesia yang sangat besar masuk ke kas negara menjadi salah satu pertimbangan pemerintah dalam pembahasan kelanjutan kontrak karya perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu untuk terus beroperasi di Indonesia.
Namun, di sisi lain, Istana belum bisa memberikan kepastian kelanjutan kontrak karena terkendala regulasi.
"Soal Freeport, Presiden punya sikap cukup jelas. Berdasar undang-undang, pembahasan perpanjangan baru dilakukan dua tahun sebelum berakhir pada tahun 2021," ujar Kepala Staf Presiden Teten Masduki di Istana Kepresidenan, Selasa (20/10).
Dengan demikian, pembahasan perpanjangan kontrak seharusnya baru bisa dilakukan pada tahun 2019. Namun, dengan kondisi itu, Teten menyebutkan tidak ada perusahaan tambang yang mau menanamkan investasinya karena tidak ada kepastian perpanjangan kontrak.
"Ada enggak yang mau bisnis Rp 10 miliar dollar, tambang dalam 2 tahun, tambang akan turun, eksplorasi misalnya. Ada enggak yang mau kalau ternyata tidak pasti ada perpanjangan. Nah ini dilemtis," kata dia.
Presiden menekankan lima hal harus dipenuhi Freeport jika ingin melanjutkan kontrak di Indonesia, seperti royalti, divestasi usaha, kandungan lokal, pembangunan industri smelter, dan pembangunan Papua. Untuk menyiasati kendala regulasi itu, kelima poin itu pun dibahas lebih dulu dalam proses pranegosiasi yang dilakukan mulai sekarang.
Meski terhambat regulasi, Teten menyebutkan pemerintah juga berkepentingan untuk dalam bisnis Freeport di Indonesia.
"Pemerintah berkepentingan agar produksi terus bertambah. Kalau enggak, APBN langung collapse karena gede banget kan. Maka ini harus disiasati," ucap Teten. [Kompas]
Namun, di sisi lain, Istana belum bisa memberikan kepastian kelanjutan kontrak karena terkendala regulasi.
"Soal Freeport, Presiden punya sikap cukup jelas. Berdasar undang-undang, pembahasan perpanjangan baru dilakukan dua tahun sebelum berakhir pada tahun 2021," ujar Kepala Staf Presiden Teten Masduki di Istana Kepresidenan, Selasa (20/10).
Dengan demikian, pembahasan perpanjangan kontrak seharusnya baru bisa dilakukan pada tahun 2019. Namun, dengan kondisi itu, Teten menyebutkan tidak ada perusahaan tambang yang mau menanamkan investasinya karena tidak ada kepastian perpanjangan kontrak.
"Ada enggak yang mau bisnis Rp 10 miliar dollar, tambang dalam 2 tahun, tambang akan turun, eksplorasi misalnya. Ada enggak yang mau kalau ternyata tidak pasti ada perpanjangan. Nah ini dilemtis," kata dia.
Presiden menekankan lima hal harus dipenuhi Freeport jika ingin melanjutkan kontrak di Indonesia, seperti royalti, divestasi usaha, kandungan lokal, pembangunan industri smelter, dan pembangunan Papua. Untuk menyiasati kendala regulasi itu, kelima poin itu pun dibahas lebih dulu dalam proses pranegosiasi yang dilakukan mulai sekarang.
Meski terhambat regulasi, Teten menyebutkan pemerintah juga berkepentingan untuk dalam bisnis Freeport di Indonesia.
"Pemerintah berkepentingan agar produksi terus bertambah. Kalau enggak, APBN langung collapse karena gede banget kan. Maka ini harus disiasati," ucap Teten. [Kompas]