IHCS Dukung Rizal Ramli Kritik Kontrak Karya PT Freeport Indonesia
pada tanggal
Monday, 12 October 2015
JAKARTA - Ketua Presidium Indonesian Human Rights Commission for Social Justice (IHCS), Ridwan Darmawan, menyatakan dukungannya atas sikap Menko Kemaritiman Rizal Ramli yang mengkritik adanya oknum berusaha memastikan kontrak karya PT Freeport Indonesia dilancarkan.
"Saya sepakat dengan Rizal Ramli yang menginginkan bahwa rezim ini seharusnya mengambil momentum untuk kembali menuliskan sejarah bagi kedaulatan dan kemandirian bangsa dalam mengurus Freeport dan korporasi pengekploitasi sumber daya alam kita yang lainnya," tegas Ridwan, dalam keterangannya, Minggu (11/10).
Diapun mengkritik pernyataan Menteri ESDM Sudirman Said terkait kepastian perpanjangan kontrak karya Freeport paska 2021. Menurutnya hal itu perlu dipertanyakan lebih lanjut.
Pertanyaan itu terutama terkait dengan istilah hukum atau legalitas operasi pertambangan secara umum di Indonesia, yang harusnya mengacu kepada UU Minerba No.4/2009.
Jika mengacu rezim terdahulu, UU pertambangan tahun 1967 yang lahir di awal Orde Baru hingga tahun 2009, maka konsesi-konsesi tambang dikenal dengan rezim kontrak karya. Dalam hal itu, posisi pemerintah setara dengan korporasi.
Sementara paska berlakunya UU Minerba No. 4/2009, sesuai amanatnya dalam pasal peralihan, seluruh Kontrak Karya yang telah ada sebelum UU Minerba yang baru berlaku, harus segera disesuaikan dalam waktu satu tahun dengann ketentuan-ketentuan dlm UU
tersebut. Dalam ketentuannya, UU Minerba yang baru tidak lagi mengenal istilah Kontrak Karya.
"Tetapi menggunakan istilah Ijin Usaha Pertambangan dan Ijin Usaha Pertambangan Khusus," kata dia.
Dalam perjalanan renegosiasi antara Pemerintah dan Freeport sejak rezim SBY, mereka telah bersepakat bahwa Freeport
akan beroperasi berdasarkan rezim IUPK bukan lagi Kontrak Karya.
"Jika demikian, maka pilihan dasar beroperasi melalui rezim IUPK haruslah konsisten dengan klausul-klausul yang ada dalam UU Minerba. Serta posisi Negara atau pemerintah seharusnya tidak lagi sejajar tetapi berada di atas Korporasi Freeport," jelasnya.
"Sehingga Pemerintah tidak perlu selalu membeo dengan apa maunya Freeport. Setahu saya, yang cukup lama mengeluti isu renegosiasi Freeport ini, sikap Sudirman Said ini adalah sikap yang dinanti serta diminta Freeport sejak pertama kali Pemerintah menggulirkan program renegosiasi terhadap korporasi tambang yang beroperasi di Indonesia."
Lebih jauh, dia menilai seharusnya momen renegosiasi itu menjadi momentum bagi Pemerintahan Jokowi-JK yang menyandarkan program pemerintahannya kepada konsep Trisakti-nya Bung Karno. Termasuk untuk mengevaluasi dan mereview kontrak-kontrak karya pertambangan yang tidak adil dan mengkhianati Konstitusi, khususnya Pasal 33.
Sebelumnya, Rizal Ramli mengungkapkan adanya seorang oknum pejabat yang belum-belum sudah mendesakkan perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia, padahal kontrak yang sekarang masih berlaku hingga 2021.
Menurut Rizal, paling cepat negosiasi kontrak karya Freeport baru bisa dilakukan pada 2019, dan baginya akan lebih baik kalau tidak ada perpanjangan. "Ada pejabat yang keblinger mau mempercepat renegosiasi itu," kata Rizal dalam sebuah event di Jakarta, Rabu (7/10). Dia tidak menyebutkan nama.
Rizal mengatakan berakhirnya kontrak Freeport akan memberi kesempatan besar bagi Indonesia untuk memperbaiki sejarah dan mengelola secara mandiri tambang di sana demi kepentingan rakyat. [BeritaSatu]
"Saya sepakat dengan Rizal Ramli yang menginginkan bahwa rezim ini seharusnya mengambil momentum untuk kembali menuliskan sejarah bagi kedaulatan dan kemandirian bangsa dalam mengurus Freeport dan korporasi pengekploitasi sumber daya alam kita yang lainnya," tegas Ridwan, dalam keterangannya, Minggu (11/10).
Diapun mengkritik pernyataan Menteri ESDM Sudirman Said terkait kepastian perpanjangan kontrak karya Freeport paska 2021. Menurutnya hal itu perlu dipertanyakan lebih lanjut.
Pertanyaan itu terutama terkait dengan istilah hukum atau legalitas operasi pertambangan secara umum di Indonesia, yang harusnya mengacu kepada UU Minerba No.4/2009.
Jika mengacu rezim terdahulu, UU pertambangan tahun 1967 yang lahir di awal Orde Baru hingga tahun 2009, maka konsesi-konsesi tambang dikenal dengan rezim kontrak karya. Dalam hal itu, posisi pemerintah setara dengan korporasi.
Sementara paska berlakunya UU Minerba No. 4/2009, sesuai amanatnya dalam pasal peralihan, seluruh Kontrak Karya yang telah ada sebelum UU Minerba yang baru berlaku, harus segera disesuaikan dalam waktu satu tahun dengann ketentuan-ketentuan dlm UU
tersebut. Dalam ketentuannya, UU Minerba yang baru tidak lagi mengenal istilah Kontrak Karya.
"Tetapi menggunakan istilah Ijin Usaha Pertambangan dan Ijin Usaha Pertambangan Khusus," kata dia.
Dalam perjalanan renegosiasi antara Pemerintah dan Freeport sejak rezim SBY, mereka telah bersepakat bahwa Freeport
akan beroperasi berdasarkan rezim IUPK bukan lagi Kontrak Karya.
"Jika demikian, maka pilihan dasar beroperasi melalui rezim IUPK haruslah konsisten dengan klausul-klausul yang ada dalam UU Minerba. Serta posisi Negara atau pemerintah seharusnya tidak lagi sejajar tetapi berada di atas Korporasi Freeport," jelasnya.
"Sehingga Pemerintah tidak perlu selalu membeo dengan apa maunya Freeport. Setahu saya, yang cukup lama mengeluti isu renegosiasi Freeport ini, sikap Sudirman Said ini adalah sikap yang dinanti serta diminta Freeport sejak pertama kali Pemerintah menggulirkan program renegosiasi terhadap korporasi tambang yang beroperasi di Indonesia."
Lebih jauh, dia menilai seharusnya momen renegosiasi itu menjadi momentum bagi Pemerintahan Jokowi-JK yang menyandarkan program pemerintahannya kepada konsep Trisakti-nya Bung Karno. Termasuk untuk mengevaluasi dan mereview kontrak-kontrak karya pertambangan yang tidak adil dan mengkhianati Konstitusi, khususnya Pasal 33.
Sebelumnya, Rizal Ramli mengungkapkan adanya seorang oknum pejabat yang belum-belum sudah mendesakkan perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia, padahal kontrak yang sekarang masih berlaku hingga 2021.
Menurut Rizal, paling cepat negosiasi kontrak karya Freeport baru bisa dilakukan pada 2019, dan baginya akan lebih baik kalau tidak ada perpanjangan. "Ada pejabat yang keblinger mau mempercepat renegosiasi itu," kata Rizal dalam sebuah event di Jakarta, Rabu (7/10). Dia tidak menyebutkan nama.
Rizal mengatakan berakhirnya kontrak Freeport akan memberi kesempatan besar bagi Indonesia untuk memperbaiki sejarah dan mengelola secara mandiri tambang di sana demi kepentingan rakyat. [BeritaSatu]