Bina Taruna Indonesia Bumi Cendrawasih, Saluran Generasi Muda Papua yang Cerdas
pada tanggal
Wednesday, 28 October 2015
KOTA JAYAPURA - Direktur Yayasan Bina Taruna Indonesia Bumi Cendrawasih (Binterbusih), Paul Sudiyo mengatakan, dirinya membawa generasi muda Papua yang angkatan pertama yakni pada tahun 90-an.
Hal itu dikatakannya saat Temu Alumni Binaan Binterbusih dan dialog interaktif bertajuk Mari Bergandengan Tangan Merangkai Kebersamaan Untuk Menyiapkan Jalan Bagi Masa depan Generasi Muda Papua di Gedung Olahraga (GOR) Apo, Kota Jayapura, Papua akhir pekan kemarin.
“Yang saya bawa angkatan pertama ke Jawa adalah tahun 90-an. Saat itu mereka terlihat tidak mampu untuk menjadi orang besar, tapi sekarang mereka sudah menjadi pejabat di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat,” kata Paul Sudiyo, mantan Guru di SMA Gabungan Dok V Jayapura di era 80-an ini.
Menurut Paul, mereka yang ada di sini dulu di sini, pihaknya terus dorong untuk betul-betul menjadi orang yang bertanggtungjawab di dalam organisasi.
“Kalau Pemerintah Provinsi Papua mau, kami Binterbusih siap untuk membantu pemerintah Provinsi Papua dan kami punya perang untuk menjadikan generasi muda Papua yang cerdas untuk melampaui bangsa-bangsa lain,” tegas lelaki yang masa mudanya habiskan di wilayah pegunungan tengah Papua ini.
Ia berkisah, sekita 30 tahun yang lalu ketika dirinya berada di pedalaman Papua banyak menemukan kandang babi, lahan kebun yang luas entah itu di Paniai, Jayawijaya dan Sorong juga di pesisir pantai terdapat pohon sagu, pohon kelapa dan sebagainya.
“Tapi sekarang kebun-kebun semakin sempit, kadangkala tidak menemukan kebun. Kandang-kandang babi sudah tidak ada. Sehingga orang Papua ingin pesta babi harus beli lagi sama pendatang. Ini tanda, bahwa kita semakin tidak mandiri. Yang orang pantai sama juga, saya tidak menemukan hutan sagu, karena mereka hanya berharap program-program pemerintah. Itulah tantangan kita ke depan para alumni Binterbusih semua,” ujarnya berkenang.
Ia meminta kepada para alumni agar terus mengawali kebangkitan guna membangun generasi muda Papua yang insan mandiiri.
“Kalau kita tdiak mengawali kebangkitan sekarang, membangun generasi muda dengan semua orang selalu membaca. Saya kwatir, sepuluh tahun lagi ketergantungan semakin besar. Namun, hanya dengan usaha keras, maka kerja bersama kita akan melewati masa yang sulit di Papua,” bebernya.
Alumni binaan Binterbusi di Semarang, Damiana Tekege mengapresiasi figur seorang bapak yang selalu membantu pihaknya selama mengenyam pendidikan di tanah rantauan.
“Ketika itu Pak Paul Sudiyo sama seperti orang tua kandung kami sendiri . Pembinaan pertama yang pak Paul lakukan untuk kami adalah selalu bangunkan kami pagi-pagi, karena kami sudah terbiasa telat ketika masih di kampung,” kata Damiana Tekege berkenang.
Damiana Tekege yang juga adalah Kepala BPMK Kabupaten Dogiyai, Papua ini mengungkapkan, kemudian Sudiyo juga selalu mengingatkan untuk harus baca buku dan diminta untuk selalu evaluasi diri hasil belajar selama satu bulan.
“Pak Sudiyo lakukan itu karena kami angkatan pertama yang dikirim Keuskupan Jayapura sebagai masa percobaa. Jadi kalau kami gagal berarti generasi muda selanjutnya juga ikut gagal. Jangan sampai program dari Keuskupan itu gagal maka kami sangat tekun dalam belajar. Dan hasil binaan dari Binterbusih adalah, drg. Aloysius Giyai (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua), Dance Takimai (Bupati Deiyai), Natalis Tabuni (Bupati Intan Jaya) dan masih banyak yang menjadi manusia yang betul-betul utuh dan saat ini sedang dipakai oleh pemerintah maupun swaswa di tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) yang tercinta ini,” jelasnya.
Perempuan magister hukum yang selesai dengan IPK 3.95 ini meminta, jangan biarkan orang Papua khsuusnya generasi muda agar terus terjerumus dalam hal-hal negatif yang akhirnya bakar mereka menjadi mati.
“Kita jangan biarkan orang asli Papua, khususnya generasi muda. Mereka harus diangkat sesuai dengan bakat yang dimiliki,” ujarnya.
Menurut mantan Kabag Hukum Setda Kabuapten Nabire ini, saatnya alumni Binterbusih mengubah pola pikir masyarakat Papua yang cenderung konsuntif menjadi prodktif dengan mendayagunakan potensi yang ada pada dirinya dan di sekitarnya.
“ Kita tidak minta orang Papua untuk membuka toko atau mall yang besar-bensar. Orang Papua diangkat sesuai kemampuan dan bidang yang ada pada dirinya. Misalnya, kalau di Dogiyai, tempat tugas saya, potensinya ternak babi, buah merah dan kopi. Ini yang kita perlu angkat, karena itu juga merupakan pola untuk mengubah kebiasaan ketergantungan,” pungkasnya. [TabloidJubi]
Hal itu dikatakannya saat Temu Alumni Binaan Binterbusih dan dialog interaktif bertajuk Mari Bergandengan Tangan Merangkai Kebersamaan Untuk Menyiapkan Jalan Bagi Masa depan Generasi Muda Papua di Gedung Olahraga (GOR) Apo, Kota Jayapura, Papua akhir pekan kemarin.
“Yang saya bawa angkatan pertama ke Jawa adalah tahun 90-an. Saat itu mereka terlihat tidak mampu untuk menjadi orang besar, tapi sekarang mereka sudah menjadi pejabat di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat,” kata Paul Sudiyo, mantan Guru di SMA Gabungan Dok V Jayapura di era 80-an ini.
Menurut Paul, mereka yang ada di sini dulu di sini, pihaknya terus dorong untuk betul-betul menjadi orang yang bertanggtungjawab di dalam organisasi.
“Kalau Pemerintah Provinsi Papua mau, kami Binterbusih siap untuk membantu pemerintah Provinsi Papua dan kami punya perang untuk menjadikan generasi muda Papua yang cerdas untuk melampaui bangsa-bangsa lain,” tegas lelaki yang masa mudanya habiskan di wilayah pegunungan tengah Papua ini.
Ia berkisah, sekita 30 tahun yang lalu ketika dirinya berada di pedalaman Papua banyak menemukan kandang babi, lahan kebun yang luas entah itu di Paniai, Jayawijaya dan Sorong juga di pesisir pantai terdapat pohon sagu, pohon kelapa dan sebagainya.
“Tapi sekarang kebun-kebun semakin sempit, kadangkala tidak menemukan kebun. Kandang-kandang babi sudah tidak ada. Sehingga orang Papua ingin pesta babi harus beli lagi sama pendatang. Ini tanda, bahwa kita semakin tidak mandiri. Yang orang pantai sama juga, saya tidak menemukan hutan sagu, karena mereka hanya berharap program-program pemerintah. Itulah tantangan kita ke depan para alumni Binterbusih semua,” ujarnya berkenang.
Ia meminta kepada para alumni agar terus mengawali kebangkitan guna membangun generasi muda Papua yang insan mandiiri.
“Kalau kita tdiak mengawali kebangkitan sekarang, membangun generasi muda dengan semua orang selalu membaca. Saya kwatir, sepuluh tahun lagi ketergantungan semakin besar. Namun, hanya dengan usaha keras, maka kerja bersama kita akan melewati masa yang sulit di Papua,” bebernya.
Alumni binaan Binterbusi di Semarang, Damiana Tekege mengapresiasi figur seorang bapak yang selalu membantu pihaknya selama mengenyam pendidikan di tanah rantauan.
“Ketika itu Pak Paul Sudiyo sama seperti orang tua kandung kami sendiri . Pembinaan pertama yang pak Paul lakukan untuk kami adalah selalu bangunkan kami pagi-pagi, karena kami sudah terbiasa telat ketika masih di kampung,” kata Damiana Tekege berkenang.
Damiana Tekege yang juga adalah Kepala BPMK Kabupaten Dogiyai, Papua ini mengungkapkan, kemudian Sudiyo juga selalu mengingatkan untuk harus baca buku dan diminta untuk selalu evaluasi diri hasil belajar selama satu bulan.
“Pak Sudiyo lakukan itu karena kami angkatan pertama yang dikirim Keuskupan Jayapura sebagai masa percobaa. Jadi kalau kami gagal berarti generasi muda selanjutnya juga ikut gagal. Jangan sampai program dari Keuskupan itu gagal maka kami sangat tekun dalam belajar. Dan hasil binaan dari Binterbusih adalah, drg. Aloysius Giyai (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua), Dance Takimai (Bupati Deiyai), Natalis Tabuni (Bupati Intan Jaya) dan masih banyak yang menjadi manusia yang betul-betul utuh dan saat ini sedang dipakai oleh pemerintah maupun swaswa di tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) yang tercinta ini,” jelasnya.
Perempuan magister hukum yang selesai dengan IPK 3.95 ini meminta, jangan biarkan orang Papua khsuusnya generasi muda agar terus terjerumus dalam hal-hal negatif yang akhirnya bakar mereka menjadi mati.
“Kita jangan biarkan orang asli Papua, khususnya generasi muda. Mereka harus diangkat sesuai dengan bakat yang dimiliki,” ujarnya.
Menurut mantan Kabag Hukum Setda Kabuapten Nabire ini, saatnya alumni Binterbusih mengubah pola pikir masyarakat Papua yang cenderung konsuntif menjadi prodktif dengan mendayagunakan potensi yang ada pada dirinya dan di sekitarnya.
“ Kita tidak minta orang Papua untuk membuka toko atau mall yang besar-bensar. Orang Papua diangkat sesuai kemampuan dan bidang yang ada pada dirinya. Misalnya, kalau di Dogiyai, tempat tugas saya, potensinya ternak babi, buah merah dan kopi. Ini yang kita perlu angkat, karena itu juga merupakan pola untuk mengubah kebiasaan ketergantungan,” pungkasnya. [TabloidJubi]