Sanggar Honai Jadi Contoh Komunitas Seni Tari Peran anak Papua
pada tanggal
Monday, 14 September 2015
KOTA JAYAPURA - Sanggar Honai menjadi salah satu contoh komunitas seni tari peran yang perlu diberdayakan oleh pemerintah setempat maupun tingkat pusat. Pasalnya, komunitas tari peran ini beberapa tahun tahun terakhir sering harumkan nama Papua di tingkat Nasional.
Jefri Zeth Nendissa, pendiri sekaligus kreator Sanggar Honai mengaku, anak didiknya pernah menggapai juara 1 se-Indonesia kategori pelajar dalam ajang seni tingkat nasional pada tahun 2011 lalu.
“Tahun 2011 lalu sanggar kami meraih juara 1 Nasional, kategory SMA. Setelah tahun itu tetap kami ikuti even yang dilakukan tiap tahunnya, kami selalu dapat 5 besar,” kata Jefri saat dijumpai Cendana News dalam sesi latihan tari di Pantai Hamadi, Minggu (6/9) malam kemarin.
Dikatakan pria gondrong ini, personil tari di sanggar yang ia pimpin itu berjumlah sekitar 300-an orang yang berusia belasan hingga puluhan tahun. Dimana, menurutnya, setiap minggu selalu berlatih untuk mengasah keterampilan dan mencari ide terbaru tuk mengangkat tarian dari berbagai suku yang ada di Papua.
“Rata-rata saya mengajar di dua sekolah, kalau ditotal anak didik saya sekitar 150-300 orang. Anak didik yang setiap minggunya latihan secara rutin berjumlah dibawah 100 orang, tapi semuanya dapat dipanggil untuk latihan, kalau ada even besar yang membutuhkan ratusan penari,” ujarnya.
Disebutkan, tarian kolosal membutuhkan banyak penari, bahkan ratusan. Sedangkan even-even biasa pihaknya hanya perlu beberapa penari dan tak jarang hingga puluhan penari.
“Kalau seni peran, memang agak berbeda karena ada yang dari anak kecil hingga orang dewasa. Kami melihat kebutuhan pasar, kadang kalau membutuhkan anak-anak SMP, maka saya memanggil anak-anak kecil yang berusia tujuh hingga belasan tahun,” ujar Jefri yang juga guru kesenian di SMU Negeri 4 Kota Jayapura.
Sanggar yang tari ibukota provinsi Papua, menurutnya, lebih dari seratus sanggar. Namun, dapat dihitung beberapa sanggar saja yang aktif dalam proses seni tarinya. “Di kota jayapura kan kalau tidak salah ada 14 kampung sesuai administrasi pemerintah kota, tapi bisa dihitung dengan jari, sanggar tari yang aktif,” katanya.
Dosen ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) ini juga mengaku kala itu Presiden RI yang dijabat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah membentuk 4 ISBI antara lain Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Sehingga, dirinya diangkat menjadi salah satu dosen seni tari di institut tersebut. Ia yang ingin melihat banyaknya tari di Papua dan karya seni yang sudah terbangun dari dirinya dapat ia aplikasikan ke anak-anak muda saat ini.
“Saya mengajar khusus seni tari, tapi dari kecil latar belakang seni peran saat ikut bapak saya di sanggar Marising, di Koataraja, Kota Jayapura. Tetapi, untuk memperbanyak komunitas tari di Papua, saya mendirikan sanggar ini agar banyak warna dalam seni yang ada di Papua,” tutupnya.
Mengenal lebih dekat sang kreator Sanggar Honai yang kini telah menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler pada beberapa sekolah di Kota Jayapura. Dimana, seni tari dan peran menjadi pelajaran utama sanggar tersebut.
Lahirnya Sanggar Honai salah satunya dari proses perjalanan panjang seniman Jefri Zeth Nendissa yang telah mencicipi beberapa pengalaman dan bakat seni dalam diri pria berdarah Ambon dan Serui ini berawal dari kedua orang tuanya yang mempunyai wadah sanggar seni Marising, hingga kini masih aktif.
Talenta yang dimiliki inilah, membuat ia percaya diri untuk memutuskan kuliah di Intitut Kesenian Jakarta (IKJ) teater seni pertunjukan, tepatnya pada tahun 1994 silam. Saat bergabung dalam teater lembaga keluarga besar teater kampus IKJ, dirinya yang juga berperan sebagai pemain maupun pengurus.
Grup Pantomin Sena Didi Mime grup almarhum Sena Utoyo dan almarhum Didi Petet sebagai dosen di IKJ, turut memperkaya pengalaman pentas keliling dirinya tingkat se-Jawa Bali. Kala itu, teater Yuka pimpinan Renny Djayusman sebagai pemimpin dan pengurus, dan secara profesional ia belajar mengetahui cara di event organizer.
“Banyak karya teater dan seni yang telah dipentaskan dan event-event berskala internasional, bahkan pada saat Presiden almarhum Gustur bekerja sebagai stage manager di istana negara, disanalah namanya mulai terukir. Hingga tingkat nasional untuk menjadi salah satu anak Papua yang dapat membesarkan seni di tanah Jawa,” kata pria kelahiran 2 Maret 1975 itu.
Namun, semuanya itu ia harus kubur, lantaran terpanggil ke Papua, karena di Bumi Cenderawasih inilah dirinya terbentuk menjadi seorang seniman, yang awalnya berkarya bersama sanggar Marising milik orang tuanya.
Ia pun bergabung bersama seni melalui sanggar 10 November berlokasi di Dok IX, Jayapura Utara, namun saat sanggar tersebut naik diubah menjadi salah satu perguruan tinggi di Kota Jayapura. Ia dan peseni lainnya membentuk lagi sanggar yang diberi nama Miracle berpusat di pertamina deplat untuk persiapkan sumber daya manusia (SDM) menuju pertunjukan yang didatangkan grup band SLANK oleh satu event organizer dan mereka pun diberi kesempatan menjadi salah satu grup tari yang pentas di Papua Trade Center (PTC) Entrop, Jayapura Selatan.
Proses terus berjalan perubahan harus terjadi untuk lebih maksimal berproses, bersama beberapa teman ia membentuk Komunitas Papua art Centre Entertaimen (PACE) yang berkonsen melestarikan dan mengembangkan seni budaya Papua secara umum melalui berbagai media.
Namun proses dan kendala terus didalam Komunitas PACE, grup ini tetap berkomitmen akan berkarya tetapi secara khusus dengan tujuan membangun SDM seni peran untuk kebutuhan berbagai media, sehingga ia membentuk Honai Class Action.
Sayang, menurutnya banyak proses dan tantangan yang dihadapi Honai Class Action, lantaran grup ini harus jatuh bangun untuk menjawab kebutuhan hiburan masyarakat di Kota Jayapura, Papua.
“Pengalaman-pengalaman inilah, saya berpikir membuat nama baru yang dapat dikenal dan mudah dipahami masyarakat umum, sehingga munculnya ide mengganti nama Honai Class Action menjadi Sanggar Honai,” tuturnya
Menurutnya, nama Honai sendiri berasal dari nama rumah adat Papua di daerah pegunungan tengah Papua. Ia memilih nama tersebut, karena selain rumah adat secara bentuk dan arsitektur sederhana dan berkarakter.
“Bentuknya yang bulat kecil namun mampu menahan dinginnya embun dipegunungan. Dengan demikian kami mengharapkan dalam membangun SDM Sanggar Honai bersamaan Manageman Honai kreative, mempunyai karakter yang menghormati kebersamaan duduk lingkaran memutuskan apa saja bersama dan berpikir sederhana tuk melahirkan ide-ide kreatif,” ujarnya.
Tepat tanggal 9 september 2009, ia mendirikan Sanggar Honai dari latar belakang proses teater SMA Negeri 4 Kota Jayapura yang sampai saat ini masih aktif dan mempunyai 3 titik cabang yakni di SMA N 4, SMK N 2 dan Pantai Hamadi, Kota Jayapura. [CendanaNews]
Jefri Zeth Nendissa, pendiri sekaligus kreator Sanggar Honai mengaku, anak didiknya pernah menggapai juara 1 se-Indonesia kategori pelajar dalam ajang seni tingkat nasional pada tahun 2011 lalu.
“Tahun 2011 lalu sanggar kami meraih juara 1 Nasional, kategory SMA. Setelah tahun itu tetap kami ikuti even yang dilakukan tiap tahunnya, kami selalu dapat 5 besar,” kata Jefri saat dijumpai Cendana News dalam sesi latihan tari di Pantai Hamadi, Minggu (6/9) malam kemarin.
Dikatakan pria gondrong ini, personil tari di sanggar yang ia pimpin itu berjumlah sekitar 300-an orang yang berusia belasan hingga puluhan tahun. Dimana, menurutnya, setiap minggu selalu berlatih untuk mengasah keterampilan dan mencari ide terbaru tuk mengangkat tarian dari berbagai suku yang ada di Papua.
“Rata-rata saya mengajar di dua sekolah, kalau ditotal anak didik saya sekitar 150-300 orang. Anak didik yang setiap minggunya latihan secara rutin berjumlah dibawah 100 orang, tapi semuanya dapat dipanggil untuk latihan, kalau ada even besar yang membutuhkan ratusan penari,” ujarnya.
Disebutkan, tarian kolosal membutuhkan banyak penari, bahkan ratusan. Sedangkan even-even biasa pihaknya hanya perlu beberapa penari dan tak jarang hingga puluhan penari.
“Kalau seni peran, memang agak berbeda karena ada yang dari anak kecil hingga orang dewasa. Kami melihat kebutuhan pasar, kadang kalau membutuhkan anak-anak SMP, maka saya memanggil anak-anak kecil yang berusia tujuh hingga belasan tahun,” ujar Jefri yang juga guru kesenian di SMU Negeri 4 Kota Jayapura.
Sanggar yang tari ibukota provinsi Papua, menurutnya, lebih dari seratus sanggar. Namun, dapat dihitung beberapa sanggar saja yang aktif dalam proses seni tarinya. “Di kota jayapura kan kalau tidak salah ada 14 kampung sesuai administrasi pemerintah kota, tapi bisa dihitung dengan jari, sanggar tari yang aktif,” katanya.
Dosen ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) ini juga mengaku kala itu Presiden RI yang dijabat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah membentuk 4 ISBI antara lain Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Sehingga, dirinya diangkat menjadi salah satu dosen seni tari di institut tersebut. Ia yang ingin melihat banyaknya tari di Papua dan karya seni yang sudah terbangun dari dirinya dapat ia aplikasikan ke anak-anak muda saat ini.
“Saya mengajar khusus seni tari, tapi dari kecil latar belakang seni peran saat ikut bapak saya di sanggar Marising, di Koataraja, Kota Jayapura. Tetapi, untuk memperbanyak komunitas tari di Papua, saya mendirikan sanggar ini agar banyak warna dalam seni yang ada di Papua,” tutupnya.
Mengenal lebih dekat sang kreator Sanggar Honai yang kini telah menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler pada beberapa sekolah di Kota Jayapura. Dimana, seni tari dan peran menjadi pelajaran utama sanggar tersebut.
Lahirnya Sanggar Honai salah satunya dari proses perjalanan panjang seniman Jefri Zeth Nendissa yang telah mencicipi beberapa pengalaman dan bakat seni dalam diri pria berdarah Ambon dan Serui ini berawal dari kedua orang tuanya yang mempunyai wadah sanggar seni Marising, hingga kini masih aktif.
Talenta yang dimiliki inilah, membuat ia percaya diri untuk memutuskan kuliah di Intitut Kesenian Jakarta (IKJ) teater seni pertunjukan, tepatnya pada tahun 1994 silam. Saat bergabung dalam teater lembaga keluarga besar teater kampus IKJ, dirinya yang juga berperan sebagai pemain maupun pengurus.
Grup Pantomin Sena Didi Mime grup almarhum Sena Utoyo dan almarhum Didi Petet sebagai dosen di IKJ, turut memperkaya pengalaman pentas keliling dirinya tingkat se-Jawa Bali. Kala itu, teater Yuka pimpinan Renny Djayusman sebagai pemimpin dan pengurus, dan secara profesional ia belajar mengetahui cara di event organizer.
“Banyak karya teater dan seni yang telah dipentaskan dan event-event berskala internasional, bahkan pada saat Presiden almarhum Gustur bekerja sebagai stage manager di istana negara, disanalah namanya mulai terukir. Hingga tingkat nasional untuk menjadi salah satu anak Papua yang dapat membesarkan seni di tanah Jawa,” kata pria kelahiran 2 Maret 1975 itu.
Namun, semuanya itu ia harus kubur, lantaran terpanggil ke Papua, karena di Bumi Cenderawasih inilah dirinya terbentuk menjadi seorang seniman, yang awalnya berkarya bersama sanggar Marising milik orang tuanya.
Ia pun bergabung bersama seni melalui sanggar 10 November berlokasi di Dok IX, Jayapura Utara, namun saat sanggar tersebut naik diubah menjadi salah satu perguruan tinggi di Kota Jayapura. Ia dan peseni lainnya membentuk lagi sanggar yang diberi nama Miracle berpusat di pertamina deplat untuk persiapkan sumber daya manusia (SDM) menuju pertunjukan yang didatangkan grup band SLANK oleh satu event organizer dan mereka pun diberi kesempatan menjadi salah satu grup tari yang pentas di Papua Trade Center (PTC) Entrop, Jayapura Selatan.
Proses terus berjalan perubahan harus terjadi untuk lebih maksimal berproses, bersama beberapa teman ia membentuk Komunitas Papua art Centre Entertaimen (PACE) yang berkonsen melestarikan dan mengembangkan seni budaya Papua secara umum melalui berbagai media.
Namun proses dan kendala terus didalam Komunitas PACE, grup ini tetap berkomitmen akan berkarya tetapi secara khusus dengan tujuan membangun SDM seni peran untuk kebutuhan berbagai media, sehingga ia membentuk Honai Class Action.
Sayang, menurutnya banyak proses dan tantangan yang dihadapi Honai Class Action, lantaran grup ini harus jatuh bangun untuk menjawab kebutuhan hiburan masyarakat di Kota Jayapura, Papua.
“Pengalaman-pengalaman inilah, saya berpikir membuat nama baru yang dapat dikenal dan mudah dipahami masyarakat umum, sehingga munculnya ide mengganti nama Honai Class Action menjadi Sanggar Honai,” tuturnya
Menurutnya, nama Honai sendiri berasal dari nama rumah adat Papua di daerah pegunungan tengah Papua. Ia memilih nama tersebut, karena selain rumah adat secara bentuk dan arsitektur sederhana dan berkarakter.
“Bentuknya yang bulat kecil namun mampu menahan dinginnya embun dipegunungan. Dengan demikian kami mengharapkan dalam membangun SDM Sanggar Honai bersamaan Manageman Honai kreative, mempunyai karakter yang menghormati kebersamaan duduk lingkaran memutuskan apa saja bersama dan berpikir sederhana tuk melahirkan ide-ide kreatif,” ujarnya.
Tepat tanggal 9 september 2009, ia mendirikan Sanggar Honai dari latar belakang proses teater SMA Negeri 4 Kota Jayapura yang sampai saat ini masih aktif dan mempunyai 3 titik cabang yakni di SMA N 4, SMK N 2 dan Pantai Hamadi, Kota Jayapura. [CendanaNews]