Pembubaran Demo secara Arogan Bukti Matinya Demokrasi di Tanah Papua
pada tanggal
Tuesday, 15 September 2015
KOTA JAYAPURA - Sikap arogan Kepolisian yang sering menghalangi dan membubarkan setiap pendemo merupakan bukti matinya demokrasi di Papua.
Demikian ungkap anggota Komisi I DPR Papua, Laurenzus Kadepa, kepada wartawan, Selasa (8/9). Menurutnya, aparat Kepolisian selalu melihat aksi demo yang dilakukan oleh mahasiswa, masyarakat dan organisasi yang ada di Papua dari sudut pandang negatif.
“Kalau terus dilihat secara negatif, pasti adanya saling curiga. Ini sama dengan demokrasi di Papua sudah mati. Kalau polisi selalu menilai negatif, pasti akan terjadi gesekan. Kalau sudah seperti itu, akan selalu ada pertanyaan ada apa di Papua, dan bisa dibenarkan kalau di Papua tak ada ruang demokrasi. Ini memang kondisi yang terjadi,” beber Kadepa.
Ia berpandangan, apabila kebebasan berpendapat di muka umum yang dilakukan masyarakat kemudian dilarang, dibatasi, bahkan dibubarkan, bagaimana negeri ini disebut negara demokrasi.
Apapun pendapat yang ingin disampaikan kelompok atau perorangan di muka umum itu merupakan hak warga negara yang tidak bisa dibatasi dan harus disediakan ruang untuk menyampaikan pendapat.
“Mereka kan warga negara juga. Mereka harus diberi ruang. Kalau tak ada ruang demokrasi lagi, efeknya akan lebih bahaya dan seolah membenarkan penilaian publik, kalau tak ada ruang demokrasi di Papua. Dengan tindakan kepolisian ini yang membenarkan kalau tak ada demokrasi di Papua,” cetusnya.
Belum lagi, aksi demo damai yang dilakukan Komite Nasional Papua Barat (KNPB), serta beberapa organisasi mahasiswa di Kota Jayapura, Senin (7/9), di depan gapura Universitas Cendrawasih, Waena, Kota Jayapura sampai dikawal ketat aparat kepolisian bersenjata lengkap dari Polres Jayapura Kota.
"Informasinya, massa akan menuju kantor DPR Papua, namun niat tersebut urung terlaksana lantaran tak mendapat izin dari kepolisian," tutupnya. [Dharapos]
Demikian ungkap anggota Komisi I DPR Papua, Laurenzus Kadepa, kepada wartawan, Selasa (8/9). Menurutnya, aparat Kepolisian selalu melihat aksi demo yang dilakukan oleh mahasiswa, masyarakat dan organisasi yang ada di Papua dari sudut pandang negatif.
“Kalau terus dilihat secara negatif, pasti adanya saling curiga. Ini sama dengan demokrasi di Papua sudah mati. Kalau polisi selalu menilai negatif, pasti akan terjadi gesekan. Kalau sudah seperti itu, akan selalu ada pertanyaan ada apa di Papua, dan bisa dibenarkan kalau di Papua tak ada ruang demokrasi. Ini memang kondisi yang terjadi,” beber Kadepa.
Ia berpandangan, apabila kebebasan berpendapat di muka umum yang dilakukan masyarakat kemudian dilarang, dibatasi, bahkan dibubarkan, bagaimana negeri ini disebut negara demokrasi.
Apapun pendapat yang ingin disampaikan kelompok atau perorangan di muka umum itu merupakan hak warga negara yang tidak bisa dibatasi dan harus disediakan ruang untuk menyampaikan pendapat.
“Mereka kan warga negara juga. Mereka harus diberi ruang. Kalau tak ada ruang demokrasi lagi, efeknya akan lebih bahaya dan seolah membenarkan penilaian publik, kalau tak ada ruang demokrasi di Papua. Dengan tindakan kepolisian ini yang membenarkan kalau tak ada demokrasi di Papua,” cetusnya.
Belum lagi, aksi demo damai yang dilakukan Komite Nasional Papua Barat (KNPB), serta beberapa organisasi mahasiswa di Kota Jayapura, Senin (7/9), di depan gapura Universitas Cendrawasih, Waena, Kota Jayapura sampai dikawal ketat aparat kepolisian bersenjata lengkap dari Polres Jayapura Kota.
"Informasinya, massa akan menuju kantor DPR Papua, namun niat tersebut urung terlaksana lantaran tak mendapat izin dari kepolisian," tutupnya. [Dharapos]