Tolonglah Lihat Kami, Warga Tolikara
pada tanggal
Monday, 3 August 2015
KOTA JAYAPURA - "Tolonglah lihat kami...," begitulah teriakan warga Kabupaten Tolikara, Papua, yang ditemui akhir minggu lalu. Kondisi penduduk di kabupaten itu saat ini memprihatinkan. Daerah yang dimekarkan dari Kabupaten Jayawijaya tahun 2002 itu adalah sisi gelap dari kekayaan Papua yang melimpah.
Suasana hening menyergap di depan gedung agen pemasok minyak subsidi (APMS) di jalan Trans-Tolikara- Puncak, Distrik Wenam, Tolikara, pekan lalu. Lahan seluas sekitar 4.500 meter persegi itu dikelilingi seng. Di dalam gedung APMS tampak tiang-tiang tempat pengisian bensin telah berkarat. Di samping tempat itu ada sebuah rumah yang dihuni warga setempat.
Keterangan dari Humas Pemerintah Kabupaten Tolikara, tak ada lagi aktivitas pengisian bahan bakar minyak (BBM) di APMS itu dalam tiga tahun terakhir. Padahal, tempat itu adalah satu-satunya tempat pengisian bensin bersubsidi di Tolikara. Akibatnya, warga tidak bisa membeli BBM dengan harga lebih murah seperti di Jayapura.
Dari pengamatan Kompas di sejumlah tempat pengisian BBM eceran di Jalan Irian, Jalan Lingkar Karubaga, dan Jalan Kogome, harga bensin dan solar per liter Rp 25.000. Pedagang di Karubaga, ibu kota Tolikara, mendatangkan BBM dari Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, menggunakan jalur darat.
Biasanya mereka membeli satu drum bensin, minyak tanah, dan solar. Setiap drum berisi sekitar 200 liter dihargai Rp 4,2 juta. "Apabila terjadi kelangkaan BBM di Wamena, harga bensin dan solar meningkat, di atas Rp 30.000 per liter," kata Fatahwari, penjual bensin eceran.
Meski mahal, solar dan bensin sangat penting bagi warga Tolikara. Sebagian besar penduduk dan instansi pemerintahan menggunakan genset yang memerlukan bensin atau solar untuk mendapatkan tenaga listrik.
Saat warga di Jakarta menikmati lampu berdaya ribuan watt, warga di Karubaga kesulitan mendapatkan listrik. Dari pengalaman selama seminggu terakhir di Karubaga, listrik hanya berfungsi dari pukul 18.00 WIT hingga pukul 05.00 WIT. Setelah itu, listrik dipadamkan selama 13 jam. Pemkab Tolikara hanya memiliki dua mesin pembangkit listrik tenaga diesel, masing-masing berkapasitas 1.000 megawatt.
"Kami mengeluarkan dana Rp 125.000 per hari untuk pembelian bensin sebanyak 5 liter. Genset bisa digunakan hingga lima jam," ujar Peneas Kogoya, pegawai Hotel Andreas Yikwa, di Karubaga.
Warga Tolikara pun sangatlah jarang memakai kompor untuk memasak karena tingginya harga minyak tanah yang mencapai Rp 25.000 per liter. Mereka memakai kayu bakar untuk memasak. Kebanyakan pengguna minyak tanah adalah pemilik rumah makan atau warga dari kalangan ekonomi menengah ke atas, termasuk pegawai negeri sipil dan aparat keamanan.
Pengiriman bahan pangan
Seratus persen bahan kebutuhan pokok di Karubaga, pusat kegiatan pemerintahan dan bisnis di Tolikara, didatangkan dari Wamena. Perjalanan dari Tolikara ke Wamena, pergi-pulang, melalui jalur darat hanya menggunakan kendaraan sewaan jenis bak terbuka.
Satu kali perjalanan menghabiskan dana Rp 2,5 juta. Jarak tempuh Tolikara ke Wamena mencapai 94 kilometer. Kondisi jalan berlubang dan rawan longsor. Data dari Dinas Pekerjaan Umum Tolikara, 60 persen jalan Trans-Karubaga-Wamena belum diaspal.
"Jalan ini menjadi tanggung jawab Balai Besar Jalan Wilayah X Papua. Setiap tahun, mereka hanya mengaspal 4 kilometer," ungkap Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tolikara Edi Rantetasak.
Pengiriman bahan pangan melalui jalur udara masih terbatas. Panjang landas pacu Bandara Karubaga hanya 750 meter dengan lebar 23 meter. Bandara itu tak memiliki apron.
Maksimal pesawat jenis Cesna Caravan yang dapat memasuki Bandara Karubaga. Dalam sepekan hanya ada tujuh kali penerbangan yang menggunakan harga subsidi Rp 375.000 per orang. Penerbangan dengan harga subsidi dilayani oleh maskapai Susi Air dan Dimonim Air.
Penerbangan dengan harga subsidi dari Karubaga ke Wamena dan Jayapura terbatas. Jadwal penerbangan bisa ditunda apabila terjadi cuaca buruk. Di Tolikara yang terletak di antara pegunungan, perubahan cuaca tak dapat diprediksi.
Penumpang yang ingin bepergian ke dua daerah itu minimal mendaftarkan diri seminggu sebelum keberangkatan. Hanya pejabat pemerintahan setempat yang bebas mendapatkan tiket pesawat bersubsidi.
"Apabila penumpang tidak mendapatkan tiket dengan harga subsidi, mereka terpaksa harus menyewa pesawat dengan harga yang bisa mencapai Rp 43 juta," kata Hendro Cahyono (36), petugas Bandara Karubaga.
Tingginya biaya pengangkutan menyebabkan harga kebutuhan pokok di Tolikara meroket. Harga gula pasir, misalnya, Rp 30.000 per kilogram, beras dengan standar Bulog Rp 20.000 per kilogram, satu bungkus mi instan Rp 4.000, dan tiga telur dijual seharga Rp 10.000.
Harga makanan di warung di Karubaga juga selangit. Menu ayam goreng Rp 50.000 per porsi, bakso Rp 25.000 per porsi, dan teh manis Rp 15.000 per gelas.
Kondisi ini sangat memberatkan warga yang bekerja sebagai petani. Yesina Jikwa, penjual sayur-sayuran di Pasar Kagome, hanya mendapatkan keuntungan Rp 50.000 per hari. Dari keuntungan itu, ia hanya mampu membeli 1 kilogram beras dan telur untuk dimasak.
Janda berusia 35 tahun ini sudah lima tahun berjualan di pasar. Apabila barang jualannya tak laku, ia bersama dua anaknya hanya mengonsumsi ubi jalar. Padahal, kedua anaknya masih berusia balita. "Dengan kondisi ekonomi seperti ini, saya sama sekali tak memikirkan untuk menyekolahkan mereka berdua," ujarnya.
Berdasarkan data produk domestik regional bruto kabupaten itu, seperti dicatat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tolikara, nilai tambah yang dihasilkan dari sektor pertanian didominasi subsektor tanaman bahan makanan. Dari tahun 2006 hingga 2012, nilai dari sektor pertanian meningkat dari Rp 135,89 miliar menjadi Rp 227,83 miliar. Kenaikan itu tidak terlalu besar karena hasil pertanian hanya digunakan warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Bupati Tolikara Usman Wanimbo menuturkan, Tolikara menghuni peringkat ketiga dari 29 kabupaten untuk tingkat kemahalan harga di Papua. Dua kabupaten lain adalah Puncak dan Puncak Jaya.
"Kami hanya berharap Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan bisa membuka akses jalan dan transportasi yang lebih baik ke Tolikara. Dengan cara itu, masalah kemahalan harga bisa teratasi," kata Usman.
Masalah yang masih terjadi di Tolikara membuktikan, penggunaan dana otonomi Rp 57 triliun dalam 12 tahun terakhir di Papua belum menampakkan hasil. Akademisi dan aktivis pun menyerukan evaluasi penggunaan dana itu. [Kompas]
Suasana hening menyergap di depan gedung agen pemasok minyak subsidi (APMS) di jalan Trans-Tolikara- Puncak, Distrik Wenam, Tolikara, pekan lalu. Lahan seluas sekitar 4.500 meter persegi itu dikelilingi seng. Di dalam gedung APMS tampak tiang-tiang tempat pengisian bensin telah berkarat. Di samping tempat itu ada sebuah rumah yang dihuni warga setempat.
Keterangan dari Humas Pemerintah Kabupaten Tolikara, tak ada lagi aktivitas pengisian bahan bakar minyak (BBM) di APMS itu dalam tiga tahun terakhir. Padahal, tempat itu adalah satu-satunya tempat pengisian bensin bersubsidi di Tolikara. Akibatnya, warga tidak bisa membeli BBM dengan harga lebih murah seperti di Jayapura.
Dari pengamatan Kompas di sejumlah tempat pengisian BBM eceran di Jalan Irian, Jalan Lingkar Karubaga, dan Jalan Kogome, harga bensin dan solar per liter Rp 25.000. Pedagang di Karubaga, ibu kota Tolikara, mendatangkan BBM dari Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, menggunakan jalur darat.
Biasanya mereka membeli satu drum bensin, minyak tanah, dan solar. Setiap drum berisi sekitar 200 liter dihargai Rp 4,2 juta. "Apabila terjadi kelangkaan BBM di Wamena, harga bensin dan solar meningkat, di atas Rp 30.000 per liter," kata Fatahwari, penjual bensin eceran.
Meski mahal, solar dan bensin sangat penting bagi warga Tolikara. Sebagian besar penduduk dan instansi pemerintahan menggunakan genset yang memerlukan bensin atau solar untuk mendapatkan tenaga listrik.
Saat warga di Jakarta menikmati lampu berdaya ribuan watt, warga di Karubaga kesulitan mendapatkan listrik. Dari pengalaman selama seminggu terakhir di Karubaga, listrik hanya berfungsi dari pukul 18.00 WIT hingga pukul 05.00 WIT. Setelah itu, listrik dipadamkan selama 13 jam. Pemkab Tolikara hanya memiliki dua mesin pembangkit listrik tenaga diesel, masing-masing berkapasitas 1.000 megawatt.
"Kami mengeluarkan dana Rp 125.000 per hari untuk pembelian bensin sebanyak 5 liter. Genset bisa digunakan hingga lima jam," ujar Peneas Kogoya, pegawai Hotel Andreas Yikwa, di Karubaga.
Warga Tolikara pun sangatlah jarang memakai kompor untuk memasak karena tingginya harga minyak tanah yang mencapai Rp 25.000 per liter. Mereka memakai kayu bakar untuk memasak. Kebanyakan pengguna minyak tanah adalah pemilik rumah makan atau warga dari kalangan ekonomi menengah ke atas, termasuk pegawai negeri sipil dan aparat keamanan.
Pengiriman bahan pangan
Seratus persen bahan kebutuhan pokok di Karubaga, pusat kegiatan pemerintahan dan bisnis di Tolikara, didatangkan dari Wamena. Perjalanan dari Tolikara ke Wamena, pergi-pulang, melalui jalur darat hanya menggunakan kendaraan sewaan jenis bak terbuka.
Satu kali perjalanan menghabiskan dana Rp 2,5 juta. Jarak tempuh Tolikara ke Wamena mencapai 94 kilometer. Kondisi jalan berlubang dan rawan longsor. Data dari Dinas Pekerjaan Umum Tolikara, 60 persen jalan Trans-Karubaga-Wamena belum diaspal.
"Jalan ini menjadi tanggung jawab Balai Besar Jalan Wilayah X Papua. Setiap tahun, mereka hanya mengaspal 4 kilometer," ungkap Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tolikara Edi Rantetasak.
Pengiriman bahan pangan melalui jalur udara masih terbatas. Panjang landas pacu Bandara Karubaga hanya 750 meter dengan lebar 23 meter. Bandara itu tak memiliki apron.
Maksimal pesawat jenis Cesna Caravan yang dapat memasuki Bandara Karubaga. Dalam sepekan hanya ada tujuh kali penerbangan yang menggunakan harga subsidi Rp 375.000 per orang. Penerbangan dengan harga subsidi dilayani oleh maskapai Susi Air dan Dimonim Air.
Penerbangan dengan harga subsidi dari Karubaga ke Wamena dan Jayapura terbatas. Jadwal penerbangan bisa ditunda apabila terjadi cuaca buruk. Di Tolikara yang terletak di antara pegunungan, perubahan cuaca tak dapat diprediksi.
Penumpang yang ingin bepergian ke dua daerah itu minimal mendaftarkan diri seminggu sebelum keberangkatan. Hanya pejabat pemerintahan setempat yang bebas mendapatkan tiket pesawat bersubsidi.
"Apabila penumpang tidak mendapatkan tiket dengan harga subsidi, mereka terpaksa harus menyewa pesawat dengan harga yang bisa mencapai Rp 43 juta," kata Hendro Cahyono (36), petugas Bandara Karubaga.
Tingginya biaya pengangkutan menyebabkan harga kebutuhan pokok di Tolikara meroket. Harga gula pasir, misalnya, Rp 30.000 per kilogram, beras dengan standar Bulog Rp 20.000 per kilogram, satu bungkus mi instan Rp 4.000, dan tiga telur dijual seharga Rp 10.000.
Harga makanan di warung di Karubaga juga selangit. Menu ayam goreng Rp 50.000 per porsi, bakso Rp 25.000 per porsi, dan teh manis Rp 15.000 per gelas.
Kondisi ini sangat memberatkan warga yang bekerja sebagai petani. Yesina Jikwa, penjual sayur-sayuran di Pasar Kagome, hanya mendapatkan keuntungan Rp 50.000 per hari. Dari keuntungan itu, ia hanya mampu membeli 1 kilogram beras dan telur untuk dimasak.
Janda berusia 35 tahun ini sudah lima tahun berjualan di pasar. Apabila barang jualannya tak laku, ia bersama dua anaknya hanya mengonsumsi ubi jalar. Padahal, kedua anaknya masih berusia balita. "Dengan kondisi ekonomi seperti ini, saya sama sekali tak memikirkan untuk menyekolahkan mereka berdua," ujarnya.
Berdasarkan data produk domestik regional bruto kabupaten itu, seperti dicatat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tolikara, nilai tambah yang dihasilkan dari sektor pertanian didominasi subsektor tanaman bahan makanan. Dari tahun 2006 hingga 2012, nilai dari sektor pertanian meningkat dari Rp 135,89 miliar menjadi Rp 227,83 miliar. Kenaikan itu tidak terlalu besar karena hasil pertanian hanya digunakan warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Bupati Tolikara Usman Wanimbo menuturkan, Tolikara menghuni peringkat ketiga dari 29 kabupaten untuk tingkat kemahalan harga di Papua. Dua kabupaten lain adalah Puncak dan Puncak Jaya.
"Kami hanya berharap Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan bisa membuka akses jalan dan transportasi yang lebih baik ke Tolikara. Dengan cara itu, masalah kemahalan harga bisa teratasi," kata Usman.
Masalah yang masih terjadi di Tolikara membuktikan, penggunaan dana otonomi Rp 57 triliun dalam 12 tahun terakhir di Papua belum menampakkan hasil. Akademisi dan aktivis pun menyerukan evaluasi penggunaan dana itu. [Kompas]