Socrates Yoman Minta Pemerintah Pusat Berhenti Alihkan Masalah di Papua
pada tanggal
Thursday, 6 August 2015
KOTA JAYAPURA - Kepala Persekutuan Gereja-gereja Baptis di Tanah Papua (PGBP) Pendeta Socrtez Sofyan Yoman berharap, negara bijak menyikapi kericuhan di Karubaga, Kabupaten Tolikara yang terjadi pada pertengahan Juli lalu.
Ia mengatakan, kericuhan di Karubaga mendapat perhatian luar biasa dari pemerintah pusat. Tidak hanya dari Presiden, perhatian luar biasa ditunjukkan oleh panglima TNI, Kapolri dan sejumlah menteri yang langsung datang ke lokasi kericuhan di Tolikara.
Ia menyayangkan hal ini sebab, peristiwa kekerasan yang dialami oleh orang asli Papua seolah diabaikan demi kepentingan satu pihak semata, sebab ia menilai adanya pengalihan masalah.
“Kami melihat ini satu pengalihan masalah. Satu masalah penting adalah, kasus pembunuhan yang dilakukan aparat keamanan di Paniai pada 8 Desember 2014. Tak hanya itu kasus Yahukimo juga, dan beberapa kasus lainnya. Ini pengalihan issu yang dilakukan negara,” kata Socratez Yoman di Kantor Sinode GKI Papua, Argapura, Kota Jayapura, Rabu (5/8).
Ia justru mempertanyakan dimana negara ketika sejumlah tempat ibadah di beberapa daerah di Indonesia ditutup secara paksa oleh pihak – pihak tertentu. Ia mencontohkan, gereja Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor, Jawa Barat yang ditutup paksa oleh walikota dan ormas agama radikal setempat serta muslim yang berbeda pandangan yang sering kali diserang dan dibunuh oleh muslim mayoritas.
“Negara ada dimana. Keadilan ada dimana, undang – undang ada di mana, pancasila ada di mana, bhineka tunggal ika ada dimana? Apa hanya ada di buku? Syiah dan Ahmadiyah dikejar – kejar, lalu negara ada dimana?” ucapnya, seperti diberitakan tabloidjubi.com.
Katanya, persoalan Papua bukan masalah kecil, bukan masalah makan minum, ekonomi, tapi masalah identitas, martabat, masa depan, dan status politik yang persoalkan oleh rakyat Papua. Sehingga harus diselesaikan dialog lebih luas.
Sementara Ketua Sinode GKI di Tanah Papua, Albert Yoku mengatakan, insiden Tolikara merupakan letupan dari semua masalah di Papua.
Misalnya kasus Paniai, Yahukimo, dan kasus – kasus besar di Papua, tak ditangani serius oleh negara seperti menangani Tolikara.
“Kami harap semangat itu juga dipakai menyelesaikan kasus – kasus itu. Jangan hanya Tolikara saja yang seolah terlalu besar. Padahal itu terlalu kecil. Masalah Tolikara ini adalah tabrakan terhadap peradaban dan dibukanya mata kita bahwa minoritas di Indonesia harus mendapat perlakuan adil,” kata Albert Yoku. [Jubi]
Ia mengatakan, kericuhan di Karubaga mendapat perhatian luar biasa dari pemerintah pusat. Tidak hanya dari Presiden, perhatian luar biasa ditunjukkan oleh panglima TNI, Kapolri dan sejumlah menteri yang langsung datang ke lokasi kericuhan di Tolikara.
Ia menyayangkan hal ini sebab, peristiwa kekerasan yang dialami oleh orang asli Papua seolah diabaikan demi kepentingan satu pihak semata, sebab ia menilai adanya pengalihan masalah.
“Kami melihat ini satu pengalihan masalah. Satu masalah penting adalah, kasus pembunuhan yang dilakukan aparat keamanan di Paniai pada 8 Desember 2014. Tak hanya itu kasus Yahukimo juga, dan beberapa kasus lainnya. Ini pengalihan issu yang dilakukan negara,” kata Socratez Yoman di Kantor Sinode GKI Papua, Argapura, Kota Jayapura, Rabu (5/8).
Ia justru mempertanyakan dimana negara ketika sejumlah tempat ibadah di beberapa daerah di Indonesia ditutup secara paksa oleh pihak – pihak tertentu. Ia mencontohkan, gereja Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor, Jawa Barat yang ditutup paksa oleh walikota dan ormas agama radikal setempat serta muslim yang berbeda pandangan yang sering kali diserang dan dibunuh oleh muslim mayoritas.
“Negara ada dimana. Keadilan ada dimana, undang – undang ada di mana, pancasila ada di mana, bhineka tunggal ika ada dimana? Apa hanya ada di buku? Syiah dan Ahmadiyah dikejar – kejar, lalu negara ada dimana?” ucapnya, seperti diberitakan tabloidjubi.com.
Katanya, persoalan Papua bukan masalah kecil, bukan masalah makan minum, ekonomi, tapi masalah identitas, martabat, masa depan, dan status politik yang persoalkan oleh rakyat Papua. Sehingga harus diselesaikan dialog lebih luas.
Sementara Ketua Sinode GKI di Tanah Papua, Albert Yoku mengatakan, insiden Tolikara merupakan letupan dari semua masalah di Papua.
Misalnya kasus Paniai, Yahukimo, dan kasus – kasus besar di Papua, tak ditangani serius oleh negara seperti menangani Tolikara.
“Kami harap semangat itu juga dipakai menyelesaikan kasus – kasus itu. Jangan hanya Tolikara saja yang seolah terlalu besar. Padahal itu terlalu kecil. Masalah Tolikara ini adalah tabrakan terhadap peradaban dan dibukanya mata kita bahwa minoritas di Indonesia harus mendapat perlakuan adil,” kata Albert Yoku. [Jubi]