Ratusan PSK Tolak Penutupan Lokalisasi Tanjung Elmo
pada tanggal
Saturday, 8 August 2015
KOTA JAYAPURA - Ratusan pekerja seks komersial (PSK) berunjuk rasa menolak rencana pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Jayapura untuk menutup lokalisasi Tanjung Elmo pada tanggal 17 Agustus mendatang. Unjuk rasa penolakan tersebut juga mendapat dukungan dari berbagai kalangan.
Ratusan PSK turun jalan dengan membawa pamflet yang bertuliskan “Penutupan tanjung elmo bukan solusi”, “Kami minta Keadilan” serta “Kami manusia bukan binatang yang mau ditangkap di giring dan dikarantinakan”. Dan pamflet-pamflet lainnya.
Koordinator Pokja Perempuan Perdaya, Filia Budi Utami (25) mengatakan, dia dan PSK lainnya telah lakukan pertemuan beberapa kali dengan pemerintah daerah setempat, seperti Dinas Sosial, Sekda maupun Bupati Kabupaten Jayapura dan semuanya tidak mempunyai jawaban pasti.
“Setahu saya, SK dari Menteri dengan jelas menjelaskan bahwa melarang aktifitas portitusi di lokalisasi bukan menutup tempat lokalisasinya. untuk itu, kenapa sampai sekarang kami masih tetap bertahan? karena pemerintah kabupaten tidak pernah memberikan jawaban-jawaban dari keluahan kami ini,” kata Vivi sapaan akrabnya kepada sejumlah wartawan di Tanjung Elmo, Kabupaten Jayapura, Kamis (6/8).
Pihaknya telah meminta jangka waktu, tak ingin lokalisasi Tanjung Elmo ditutup, melainkan meminta adanya keadilan. Dalam artian, apabila pemerintah ingin menuntut semua tempat lokalisasi ada baiknya pemeritahuannya dari jauh-jauh hari.
“Ini seakan-akan kami dipaksa dengan bahasa-bahasa yang dilontarkan oleh kepala-kepala dinas, sekda dan bapak-bapak dari pemerintah kabupaten sangat tidak baik,” keluhnya.
Perempuan yang bekerja sebagai PSK di Tanjung Elmo selama tiga tahun menjelaskan Tanjung Elmo ini telah mendapat penghargaan dari Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kabupaten Jayapura.
“Tanjung Elmo menjadi tolak ukur bagi lokalisasi yang ada di Indonesia, kami disini setiap minggunya melakukan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh KPA dan pelanggan yang datang kami tolak lakukan hubungan intim, kalau tidak gunakan kondom, karena kami menjaga penularan HIV Aids,” ujarnya.
Sementara itu, Tosan, ketua RT serta ketua Pokja yang ada di Tanjung Elmo mengatakan PSK di lokasi ini tersisa 195 orang. Sekecil apapun, lanjut Tosan, pihaknya tetap mendukung pemerintah daerah.
“Saya mohon persoalan masalah tutup dan tidaknya lokalisasi ini ada tenggang waktu. Karena saat ini sifatnya dadakan, untuk itu kami dari pengusaha dan lainnya tidak siap. Karena beban bukan hanya pada rutinitas, tetapi tunggakan-tunggakan di bank-bank, itu adalah anggunan tempat usaha kami,” kata Tosan.
Sementara itu, Ketua DPD KNPI Kabupaten Jayapura, Franklin Wahey Jika pemerintah ingin menutup prostitusi di Kabupaten Jayapura, harus dilakukan secara keseluruhan, misalnya saja praktek prostitusi yang berada di hotel, rumah kos atau tempat lainnya. Dengan ditutupnya prostitusi di Kabupaten Jayapura, seharusnya juga ditutup untuk peredaran miras.
“Penutupan Tanjung Elmo bukan menyelesaikan masalah. Sebab selama lokalisasi ini berdiri, peran pemerintah tak pernah ada. Misalnya saja lokalisasi ini dikelola oleh swadaya dari penghuninya. Misalnya didlam Tanjung Elmo ada tempat klinik berobatnya, di tempat itu juga di wajibkan pemakaian kondom. Lalu jika ada pekerja lokalisasi yang terinfeksi HIV/AIDS, maka langsung di karantina. Tanah berdirinya lokalisasi pun, bukan milik pemerintah tapi milik hak ulayat masyarakat,” jelas Wahey.
Data yang dikumpulkan KNPI, dari 270 pekerja seks komersial (PSK) yang berada di Tanjung Elmo, saat ini tersisa 150-an orang dan sisanya diduga telah melakukan prostitusi diluar lokalisasi. “Ini kan justru ancaman, sehingga pemerintah kabupaten harus berpikir dengan mengambil keputusan yang bijak dan tak merugikan semua pihak. Pemerintah kabupaten juga harus melibatkan semua pihak dalam mengambil keputusan,” katanya.
Penolakan itu juga dikantongi Koordinator Gerakan Papua Optimis, Jimmy Demianus Ijie beranggapan bahwa semangat untuk mengurangi tingginya penularan penyakit HIV Aids di Papua, itu semangat yang patut di apresiasi, tetapi jangan sampai semangat itu menghilangi hak hidup orang.
“Saya khawatir, meningkatkan penularan hiv aids, karena lemahnya kontrol, terutama petugas-petugas kesehatan dan para pemerhati HIV Aids, karena mereka kemudian tersebar dan sulit dideteksi lagi, kalau mereka di satu tempat dapat di deteksi,” tegas Jimmy kepada Cendana News, di Kota Jayapura.
Terkait kasus akan ditutupnya Tanjung Elmo? Menurutnya, pemerintah kabupaten Jayapura juga harus memperhatikan hak-hak mereka terutama hak kepemilikan atas tanah dan bangunan, jika memang pemda ingin lakukan sesaut yang baik di lokasi itu tentu ada musyarawarah ganti rugi hak ulayat sesuai dengan harga standar nilai jual yang ada di situ.
“Sebab tanpa itu pemerintah dapat dikatakan melakukan perampasan atas hak hidup orang. Kalau Surat Keputusan dari Pemda tanggal 17 Agustus itu memerintahkan tidak lakukan prostitusi itu hal yang mungkin dapat dilakukan, tetapi kalau memerintahkan untuk keluar dari lokasi itu arti perbuatan melawan hukum, karena memaksakan kehendak,” katanya.
Pesan saya pemerintah Kab Jayapura harus belajar dari pengalaman Kramat Tunggak, DKI Jakarta dan Doli, Jawa Timur. Akhirnya karena tidak ada tempat, mereka menjadikan tempat kos sebagai tempat prostitusi, bahkan muncul timung panti pijat dimana-mana.
“Juga banyaknya prostitusi di hotel-hotel sebagai wanita panggilan, dan banyak bermunculan di media sosial,” ujarnya.
Dasar penutupan Lokalisasi Tanjung Elmo sesuai Surat Keputusan Bupati Kabupaten Jayapura Nomor 188.4/222 tahun 2015 tentang larangan melakukan aktifitas prostitusi atau pelacuran di lokasi Tanjung Elmo, Kampung Asei Kecil, Distrik Sentani Timur. Peraturan Bupati ditanda-tangani Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw tertanggal 8 Juni 2015. [Cendananews]
Ratusan PSK turun jalan dengan membawa pamflet yang bertuliskan “Penutupan tanjung elmo bukan solusi”, “Kami minta Keadilan” serta “Kami manusia bukan binatang yang mau ditangkap di giring dan dikarantinakan”. Dan pamflet-pamflet lainnya.
Koordinator Pokja Perempuan Perdaya, Filia Budi Utami (25) mengatakan, dia dan PSK lainnya telah lakukan pertemuan beberapa kali dengan pemerintah daerah setempat, seperti Dinas Sosial, Sekda maupun Bupati Kabupaten Jayapura dan semuanya tidak mempunyai jawaban pasti.
“Setahu saya, SK dari Menteri dengan jelas menjelaskan bahwa melarang aktifitas portitusi di lokalisasi bukan menutup tempat lokalisasinya. untuk itu, kenapa sampai sekarang kami masih tetap bertahan? karena pemerintah kabupaten tidak pernah memberikan jawaban-jawaban dari keluahan kami ini,” kata Vivi sapaan akrabnya kepada sejumlah wartawan di Tanjung Elmo, Kabupaten Jayapura, Kamis (6/8).
Pihaknya telah meminta jangka waktu, tak ingin lokalisasi Tanjung Elmo ditutup, melainkan meminta adanya keadilan. Dalam artian, apabila pemerintah ingin menuntut semua tempat lokalisasi ada baiknya pemeritahuannya dari jauh-jauh hari.
“Ini seakan-akan kami dipaksa dengan bahasa-bahasa yang dilontarkan oleh kepala-kepala dinas, sekda dan bapak-bapak dari pemerintah kabupaten sangat tidak baik,” keluhnya.
Perempuan yang bekerja sebagai PSK di Tanjung Elmo selama tiga tahun menjelaskan Tanjung Elmo ini telah mendapat penghargaan dari Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kabupaten Jayapura.
“Tanjung Elmo menjadi tolak ukur bagi lokalisasi yang ada di Indonesia, kami disini setiap minggunya melakukan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh KPA dan pelanggan yang datang kami tolak lakukan hubungan intim, kalau tidak gunakan kondom, karena kami menjaga penularan HIV Aids,” ujarnya.
Sementara itu, Tosan, ketua RT serta ketua Pokja yang ada di Tanjung Elmo mengatakan PSK di lokasi ini tersisa 195 orang. Sekecil apapun, lanjut Tosan, pihaknya tetap mendukung pemerintah daerah.
“Saya mohon persoalan masalah tutup dan tidaknya lokalisasi ini ada tenggang waktu. Karena saat ini sifatnya dadakan, untuk itu kami dari pengusaha dan lainnya tidak siap. Karena beban bukan hanya pada rutinitas, tetapi tunggakan-tunggakan di bank-bank, itu adalah anggunan tempat usaha kami,” kata Tosan.
Sementara itu, Ketua DPD KNPI Kabupaten Jayapura, Franklin Wahey Jika pemerintah ingin menutup prostitusi di Kabupaten Jayapura, harus dilakukan secara keseluruhan, misalnya saja praktek prostitusi yang berada di hotel, rumah kos atau tempat lainnya. Dengan ditutupnya prostitusi di Kabupaten Jayapura, seharusnya juga ditutup untuk peredaran miras.
“Penutupan Tanjung Elmo bukan menyelesaikan masalah. Sebab selama lokalisasi ini berdiri, peran pemerintah tak pernah ada. Misalnya saja lokalisasi ini dikelola oleh swadaya dari penghuninya. Misalnya didlam Tanjung Elmo ada tempat klinik berobatnya, di tempat itu juga di wajibkan pemakaian kondom. Lalu jika ada pekerja lokalisasi yang terinfeksi HIV/AIDS, maka langsung di karantina. Tanah berdirinya lokalisasi pun, bukan milik pemerintah tapi milik hak ulayat masyarakat,” jelas Wahey.
Data yang dikumpulkan KNPI, dari 270 pekerja seks komersial (PSK) yang berada di Tanjung Elmo, saat ini tersisa 150-an orang dan sisanya diduga telah melakukan prostitusi diluar lokalisasi. “Ini kan justru ancaman, sehingga pemerintah kabupaten harus berpikir dengan mengambil keputusan yang bijak dan tak merugikan semua pihak. Pemerintah kabupaten juga harus melibatkan semua pihak dalam mengambil keputusan,” katanya.
Penolakan itu juga dikantongi Koordinator Gerakan Papua Optimis, Jimmy Demianus Ijie beranggapan bahwa semangat untuk mengurangi tingginya penularan penyakit HIV Aids di Papua, itu semangat yang patut di apresiasi, tetapi jangan sampai semangat itu menghilangi hak hidup orang.
“Saya khawatir, meningkatkan penularan hiv aids, karena lemahnya kontrol, terutama petugas-petugas kesehatan dan para pemerhati HIV Aids, karena mereka kemudian tersebar dan sulit dideteksi lagi, kalau mereka di satu tempat dapat di deteksi,” tegas Jimmy kepada Cendana News, di Kota Jayapura.
Terkait kasus akan ditutupnya Tanjung Elmo? Menurutnya, pemerintah kabupaten Jayapura juga harus memperhatikan hak-hak mereka terutama hak kepemilikan atas tanah dan bangunan, jika memang pemda ingin lakukan sesaut yang baik di lokasi itu tentu ada musyarawarah ganti rugi hak ulayat sesuai dengan harga standar nilai jual yang ada di situ.
“Sebab tanpa itu pemerintah dapat dikatakan melakukan perampasan atas hak hidup orang. Kalau Surat Keputusan dari Pemda tanggal 17 Agustus itu memerintahkan tidak lakukan prostitusi itu hal yang mungkin dapat dilakukan, tetapi kalau memerintahkan untuk keluar dari lokasi itu arti perbuatan melawan hukum, karena memaksakan kehendak,” katanya.
Pesan saya pemerintah Kab Jayapura harus belajar dari pengalaman Kramat Tunggak, DKI Jakarta dan Doli, Jawa Timur. Akhirnya karena tidak ada tempat, mereka menjadikan tempat kos sebagai tempat prostitusi, bahkan muncul timung panti pijat dimana-mana.
“Juga banyaknya prostitusi di hotel-hotel sebagai wanita panggilan, dan banyak bermunculan di media sosial,” ujarnya.
Dasar penutupan Lokalisasi Tanjung Elmo sesuai Surat Keputusan Bupati Kabupaten Jayapura Nomor 188.4/222 tahun 2015 tentang larangan melakukan aktifitas prostitusi atau pelacuran di lokasi Tanjung Elmo, Kampung Asei Kecil, Distrik Sentani Timur. Peraturan Bupati ditanda-tangani Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw tertanggal 8 Juni 2015. [Cendananews]