Rasmus Datje Siahaya Didakwa Rugikan Negara Rp 900 Juta via Kasus Pengadaan Batik untuk PNS Kota Jayapura
pada tanggal
Thursday, 27 August 2015
KOTA JAYAPURA – Setelah menjalani rangkaian persidangan, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Jayapura Rasmus Datje Siahaya dituntut 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp200 juta oleh Kejaksaan Negeri Jayapura. Sekda Siahaya yang didakwa merugikan negara hampir Rp 900 juta ini menjalani sidang tuntutannya, Selasa (25/8), di Pengadilan Negeri Jayapura. Tuntutan ini dibacakan JPU Lucas J Kubela, SH dihadapan Majelis Hakim yang diketuai Irianto, SH, MH dengan anggotanya Lin Carrol Hamadi, SH dan Petrus PM, SH, MH.
Sekda Siahaya tersandung kasus pengadaan batik Papua untuk PNS di lingkungan pemerintahan Kota Jayapura tahun anggaran 2012-2013. Pengadaan ini melibatkan CV. Angkasa Pura Jaya, dan beberapa staf di Bagian Umum Sekretariat Daerah Kota Jayapura. Pengadaan ini bernilai Rp1,75 miliar dalam anggaran perubahan tahun 2012, tanpa melalui tender.
Proses administrasi pencairan, CV. Angkasa Pura Jaya bersama beberapa staf di Bagian Umum membuat administrasi pelelangan fiktif. Sialnya, tanpa melakukan pengecekan dan evaluasi, Sekda Siahaya yang menjabat setelah pengadaan tersebut menandatangani pencairan dana sejumlah Rp1,43 miliar lebih.
“Akibatnya negara mengalami kerugian delapan ratus Sembilan puluh Sembilan juta tiga puluh dua ribu empat ratus tiga puluh dua rupiah,” sebut JPU dalam membacakan tuntutannya.
Secara kronologis, JPU mengurai kejadian tersebut dalam tuntutannya. Pengadaan batik PNS dianggarkan tahun 2012. Sebelum dianggarkan, telah dilakukan pemesanan batik di awal-awal tahun 2012 dengan total harga kesepakatan Rp780 juta ke salah satu pengusaha konveksi. Lalu pemesanan di teruskan ke PT Iskandar Indah Printing Textile di Solo Jawa Tengah.
Kemudian pada November 2012 dianggarkan Rp 1,75 miliar dalam perubahan APBD untuk pengadaan tersebut. Untuk membuat seolah-olah proses pengadaan tersebut telah melalui lelang, Wahjuning Andajani dan Jhon Betaubun dari CV. Angkasa Pura Jaya kerjasama dengan Muharom, Jepri Nurdin, Muchlis, dan Mala Parantu dari Bagian Umum Setda Kota Jayapura membuat administrasi fiktif proses pelelangan.
Sekda Siahaya sendiri baru menjabat pada Februari 2013. Atas tanda tangannya, CV. Angkasa Pura Jaya menerima pembayaran sejumalh Rp1,43 miliar lebih pada Mei 2013.
Sementara itu Penasehat Hukum (PH) terdakwa, Marajohan Pangabean, SH.MH, Usai persidangan kepada Wartawan menyatakan, tuntutan yang dibacakan oleh JPU tidak sesuai dengan fakta-fakta hukum yang ada dalam persidangan-persidangan sebelumnya.
“Dakwaan JPU itu salah dan keliru bahkan mungkin rekayasa untuk menunut klien kami dalam perkara ini,” ujar Marajohan Pangabean.
Sidang selanjutnya akan mendengarkan eksepsi dari penasehat hukum Sekda Siahaya. [SuluhPapua]
Sekda Siahaya tersandung kasus pengadaan batik Papua untuk PNS di lingkungan pemerintahan Kota Jayapura tahun anggaran 2012-2013. Pengadaan ini melibatkan CV. Angkasa Pura Jaya, dan beberapa staf di Bagian Umum Sekretariat Daerah Kota Jayapura. Pengadaan ini bernilai Rp1,75 miliar dalam anggaran perubahan tahun 2012, tanpa melalui tender.
Proses administrasi pencairan, CV. Angkasa Pura Jaya bersama beberapa staf di Bagian Umum membuat administrasi pelelangan fiktif. Sialnya, tanpa melakukan pengecekan dan evaluasi, Sekda Siahaya yang menjabat setelah pengadaan tersebut menandatangani pencairan dana sejumlah Rp1,43 miliar lebih.
“Akibatnya negara mengalami kerugian delapan ratus Sembilan puluh Sembilan juta tiga puluh dua ribu empat ratus tiga puluh dua rupiah,” sebut JPU dalam membacakan tuntutannya.
Secara kronologis, JPU mengurai kejadian tersebut dalam tuntutannya. Pengadaan batik PNS dianggarkan tahun 2012. Sebelum dianggarkan, telah dilakukan pemesanan batik di awal-awal tahun 2012 dengan total harga kesepakatan Rp780 juta ke salah satu pengusaha konveksi. Lalu pemesanan di teruskan ke PT Iskandar Indah Printing Textile di Solo Jawa Tengah.
Kemudian pada November 2012 dianggarkan Rp 1,75 miliar dalam perubahan APBD untuk pengadaan tersebut. Untuk membuat seolah-olah proses pengadaan tersebut telah melalui lelang, Wahjuning Andajani dan Jhon Betaubun dari CV. Angkasa Pura Jaya kerjasama dengan Muharom, Jepri Nurdin, Muchlis, dan Mala Parantu dari Bagian Umum Setda Kota Jayapura membuat administrasi fiktif proses pelelangan.
Sekda Siahaya sendiri baru menjabat pada Februari 2013. Atas tanda tangannya, CV. Angkasa Pura Jaya menerima pembayaran sejumalh Rp1,43 miliar lebih pada Mei 2013.
Sementara itu Penasehat Hukum (PH) terdakwa, Marajohan Pangabean, SH.MH, Usai persidangan kepada Wartawan menyatakan, tuntutan yang dibacakan oleh JPU tidak sesuai dengan fakta-fakta hukum yang ada dalam persidangan-persidangan sebelumnya.
“Dakwaan JPU itu salah dan keliru bahkan mungkin rekayasa untuk menunut klien kami dalam perkara ini,” ujar Marajohan Pangabean.
Sidang selanjutnya akan mendengarkan eksepsi dari penasehat hukum Sekda Siahaya. [SuluhPapua]