Negara Diminta Berhenti Alihkan Masalah Papua
pada tanggal
Thursday, 13 August 2015
JAKARTA – Lembaga-lembaga negara diminta mendudukkan kembali masalah Papua sebagai persoalan antara Negara dan Masyarakat Papua dalam semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi cita-cita kebangsaan “Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan kasus terbarunya adalah kericuhan di Karubaga, Kabupaten Tolikaran dengan tidak mengalihkannya menjadi soal ketegangan antar komunitas umat beragama.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tolikara, di Jakarta, Rabu (12/8) mendesak para pihak yang selama ini memiliki kepedulian dan kepentingan dengan insiden Tolikara perlu memahami sejarah dan kompleksitas hubungan keagamaan di Papua dan Tolikara pada khususnya.
“Negara hadir bukan untuk memelihara konflik, apalagi menciptakannya, melainkan menjembatani proses pemulihan yang telah dirintis oleh Pimpinan Muslim dan Kristen di Tolikara. Kekhasan ini perlu dijaga dan diwariskan sesuai dengan semboyan dasar kebangsaan kita Bhinneka Tunggal Ika sehingga tidak dapat menjadi pembenaran atas pembatasan atau tindakan diskriminatif satu pihak kepada pihak lain dalam komunitas kita yang majemuk,” kata Wahyu Wagiman, salah satu anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tolikara yang mewakili Elsam Jakarta dalam press conference di Bakoel Cafe, Jakarta.
Negara pun dalam insiden Tolikara, ditambahkan oleh Wahyu, ikut berperan menggeser fokus perhatian masalah Papua dari perspektif hubungan Negara dengan rakyat Papua menjadi seakan-akan perkara antar warga dan antar komunitas umat beragama di Tanah Papua.
Sementara, anggota koalisi lainnya, LBH Jakarta mengatakan lembaga-lembaga nasional seperti Komnas HAM tidak mendorong implementasi lebih jauh tujuh butir kesepakatan damai yang telah dirintis oleh Pimpinan Muslim dan Kristen di Tingkat Kabupaten Tolikara dan Provinsi Papua.
“Misalnya, pernyataan Komnas HAM yang menggaris bawahi soal penegakan hukum senyatanya lebih terbatas pada ranah punitive justice dan melupakan fakta bahwa keadilan restoratif yang terwujud dalam hukum adat di Papua merupakan perangkat hukum yang diatur dalam Bab X UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua,” ujar Tommy Albert, pengacara publik yang mewakili LBH Jakarta dalam press conference.
Koalisi yang terdiri Abdurahman Wahid Centre-Universitas Indonesia (AWC-UI), Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), ELSAM, Human Rights Working Group (HRWG), Indonesian Centre for Reconciliation (ICR), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Yayasan Pusaka dan Yayasan Satu Keadilan diakhir press conference mendesak Presiden Joko Widodo segera mengundang Pimpinan Muslim dan Kristen Tolikara guna mendorong terwujudnya kesepakatan yang telah mereka tuangkan dalam tujuh poin pada tanggal 29 Juli lalu. [Jubi]
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tolikara, di Jakarta, Rabu (12/8) mendesak para pihak yang selama ini memiliki kepedulian dan kepentingan dengan insiden Tolikara perlu memahami sejarah dan kompleksitas hubungan keagamaan di Papua dan Tolikara pada khususnya.
“Negara hadir bukan untuk memelihara konflik, apalagi menciptakannya, melainkan menjembatani proses pemulihan yang telah dirintis oleh Pimpinan Muslim dan Kristen di Tolikara. Kekhasan ini perlu dijaga dan diwariskan sesuai dengan semboyan dasar kebangsaan kita Bhinneka Tunggal Ika sehingga tidak dapat menjadi pembenaran atas pembatasan atau tindakan diskriminatif satu pihak kepada pihak lain dalam komunitas kita yang majemuk,” kata Wahyu Wagiman, salah satu anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tolikara yang mewakili Elsam Jakarta dalam press conference di Bakoel Cafe, Jakarta.
Negara pun dalam insiden Tolikara, ditambahkan oleh Wahyu, ikut berperan menggeser fokus perhatian masalah Papua dari perspektif hubungan Negara dengan rakyat Papua menjadi seakan-akan perkara antar warga dan antar komunitas umat beragama di Tanah Papua.
Sementara, anggota koalisi lainnya, LBH Jakarta mengatakan lembaga-lembaga nasional seperti Komnas HAM tidak mendorong implementasi lebih jauh tujuh butir kesepakatan damai yang telah dirintis oleh Pimpinan Muslim dan Kristen di Tingkat Kabupaten Tolikara dan Provinsi Papua.
“Misalnya, pernyataan Komnas HAM yang menggaris bawahi soal penegakan hukum senyatanya lebih terbatas pada ranah punitive justice dan melupakan fakta bahwa keadilan restoratif yang terwujud dalam hukum adat di Papua merupakan perangkat hukum yang diatur dalam Bab X UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua,” ujar Tommy Albert, pengacara publik yang mewakili LBH Jakarta dalam press conference.
Koalisi yang terdiri Abdurahman Wahid Centre-Universitas Indonesia (AWC-UI), Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), ELSAM, Human Rights Working Group (HRWG), Indonesian Centre for Reconciliation (ICR), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Yayasan Pusaka dan Yayasan Satu Keadilan diakhir press conference mendesak Presiden Joko Widodo segera mengundang Pimpinan Muslim dan Kristen Tolikara guna mendorong terwujudnya kesepakatan yang telah mereka tuangkan dalam tujuh poin pada tanggal 29 Juli lalu. [Jubi]