Musa Sombuk Desak PT Freeport Indonesia Transparan dengan Aktivitas Pertambangan
pada tanggal
Friday, 7 August 2015
JAKARTA - Sejumlah warga Papua yang diwakili akademisi, Musa Sombuk mendesak manajemen PT Freeport Indonesia transparan dalam melaporkan setiap aktivitas pertambangannya.
Ini dilakukan lantaran perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut kerap dituding telah melakukan aktivitas yang tak sesuai aturan.
Akibatnya, masyarakat Papua mengaku tak tahu detil ihwal informasi aktivitas pertambangan yang dilakukan di wilayah kerja Freeport.
"Dokumen Freeport tidak transparan. Kalaupun ada, dokumen itu hanya diserahkan ke pemerintah. Masyarakat berhak tahu juga, terutama soal analisis dampak lingkungan," kata kandidat doktor di Australia National University ini saat ditemui di kantor Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, Kamis (6/8).
Berangkat dari hal tersebut, Musa pun berpendapat masuknya Freeport ke Indonesia pada 1967 silam lebih menyerupai perjanjian politik dibandingkan bisnis.
"Saat itu, Indonesia butuh uang. Maka ia pun adakan transaksi dengan Freeport," kata Musa.
Nasib Kontrak
Selain transparansi, Musa bilang hal yang menjadi bahan kritikannya terhadap kegiatan pertambangan Freeport ialah mekanisme perpanjangan kontrak yang saat ini masih dibicarakan antara kedua belah pihak.
Asal tahu, meski pengajuan perpanjangan izin baru bisa dilakukan pada 2019 nyatanya manajemen Freeport telah berupaya agar nasibnya bisa diputuskan dalam waktu dekat.
Bahkan, di beberapa kesempatan petinggi Freeport McMoran Jim Bob Moffett sudah berulang kali menemui Presiden dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Hal ini dilakukan untuk menjamin kepastian investasi berkisar US$ 18 miliar yang akan ditanam Freeport dalam waktu dekat.
Meski demikian, Musa menekankan bahwa pemerintah harus tetap seksama dalam rangka mengkaji usulan manajemen. Oleh karenanya, pemerintah harus melakukan evaluasi yang sangat detil terlebih dulu.
"Mana evaluasinya? Sampai sekarang tidak ada. Lalu langsung diperpanjang begitu saja," katanya.
Kembangkan Kualitas Manusia
Selain membas soal perizinan dan komitmen investasi, sekitar dua bulan lalu Presiden Joko Widodo juga telah membentuk Tim Kajian Sumber Daya Alam (SDA) Papua yang diketuai oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Andrinof Chaniago.
Yusuf Hakim, anggota tim teknis dari Bappenas menjelaskan tim tersebut akan bekerja hingga akhir Desember 2015 dengan tugas mengadakan kajian tentang faktor pembangunan manusia di Papua.
Diantaranya: isu kesehatan, pendidikan, dan lingkungan di Papua menjadi prioritas kajian ini. Disamping itu, isu lain yang juga tengah didalami oleh Tim Kajian SDA adalah dampak dari PT Freeport terhadap lingkungan dan kondisi sosial di Papua.
"Setelah Freeport selesai, ada masalah lain seperti limbah dan kerusakan lingkungan lainnya. Ini yang kami kaji untuk kemudian menjadi rekomendasi bagi presiden dalam pengambilan kebijakan selanjutnya," katanya. [CNN]
Ini dilakukan lantaran perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut kerap dituding telah melakukan aktivitas yang tak sesuai aturan.
Akibatnya, masyarakat Papua mengaku tak tahu detil ihwal informasi aktivitas pertambangan yang dilakukan di wilayah kerja Freeport.
"Dokumen Freeport tidak transparan. Kalaupun ada, dokumen itu hanya diserahkan ke pemerintah. Masyarakat berhak tahu juga, terutama soal analisis dampak lingkungan," kata kandidat doktor di Australia National University ini saat ditemui di kantor Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, Kamis (6/8).
Berangkat dari hal tersebut, Musa pun berpendapat masuknya Freeport ke Indonesia pada 1967 silam lebih menyerupai perjanjian politik dibandingkan bisnis.
"Saat itu, Indonesia butuh uang. Maka ia pun adakan transaksi dengan Freeport," kata Musa.
Nasib Kontrak
Selain transparansi, Musa bilang hal yang menjadi bahan kritikannya terhadap kegiatan pertambangan Freeport ialah mekanisme perpanjangan kontrak yang saat ini masih dibicarakan antara kedua belah pihak.
Asal tahu, meski pengajuan perpanjangan izin baru bisa dilakukan pada 2019 nyatanya manajemen Freeport telah berupaya agar nasibnya bisa diputuskan dalam waktu dekat.
Bahkan, di beberapa kesempatan petinggi Freeport McMoran Jim Bob Moffett sudah berulang kali menemui Presiden dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Hal ini dilakukan untuk menjamin kepastian investasi berkisar US$ 18 miliar yang akan ditanam Freeport dalam waktu dekat.
Meski demikian, Musa menekankan bahwa pemerintah harus tetap seksama dalam rangka mengkaji usulan manajemen. Oleh karenanya, pemerintah harus melakukan evaluasi yang sangat detil terlebih dulu.
"Mana evaluasinya? Sampai sekarang tidak ada. Lalu langsung diperpanjang begitu saja," katanya.
Kembangkan Kualitas Manusia
Selain membas soal perizinan dan komitmen investasi, sekitar dua bulan lalu Presiden Joko Widodo juga telah membentuk Tim Kajian Sumber Daya Alam (SDA) Papua yang diketuai oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Andrinof Chaniago.
Yusuf Hakim, anggota tim teknis dari Bappenas menjelaskan tim tersebut akan bekerja hingga akhir Desember 2015 dengan tugas mengadakan kajian tentang faktor pembangunan manusia di Papua.
Diantaranya: isu kesehatan, pendidikan, dan lingkungan di Papua menjadi prioritas kajian ini. Disamping itu, isu lain yang juga tengah didalami oleh Tim Kajian SDA adalah dampak dari PT Freeport terhadap lingkungan dan kondisi sosial di Papua.
"Setelah Freeport selesai, ada masalah lain seperti limbah dan kerusakan lingkungan lainnya. Ini yang kami kaji untuk kemudian menjadi rekomendasi bagi presiden dalam pengambilan kebijakan selanjutnya," katanya. [CNN]