Lukas Enembe Bantah Tudingan Ryamizard Ryacudu dan Luhut Panjaitan
pada tanggal
Saturday, 22 August 2015
KOTA JAYAPURA- Gubernur Papua Lukas Enembe mengklarifikasi terkait ketidakhadirannya dalam beberapa kali kunjungan pejabat pemerintah pusat, termasuk ketika kedatangan Presiden Joko Widodo ke Papua, 8-9 Mei 2015.
"Jadi kalau dikaitkan dengan Presiden, itu tidak dapat dibenarkan karena kami ini bawahannya. Kalau lihat informasi yang berkembang kunjungan Presiden yang pertama saya hadir sejak awal hingga beliau kembali ke Jakarta, kedua saya sudah lapor sakit dan dirawat di RS Gatot Subroto," ujarnya di Jayapura, Jumat.
Enembe mempersilahkan kepada pihak mana pun untuk memastikan kebenaran dari klarifikasi yang ia berikan dengan memeriksa data yang ada di Rumah Sakit Gatot Subroto, Jakarta.
"Kalau ingin cari tahu silahkan ke sana, dan memang pada kunjungan beliau situasi saya dalam kondisi tidak meyakinkan, dimana kondisi jantung saya lemah sehingga harus di pompa," ucapnya.
"Sehingga tidak bisa mendampingi Presiden, tetapi wakil gubernur ada menemani presiden sampai selesai, tambah Lukas Enembe.
Ditegaskan Enembe, dirinya tidak memiliki sentimen pribadi terhadap Presiden yang bila dilihat dari aspek politik, berbeda partai dengan dirinya.
Sebelumnya, di beberapa media online nasional, memberitakan tudingan beberapa menteri yang menyebutkan ketidakhadiran Gubernur Papua Lukas Enembe di tempat tugasnya saat Presiden Joko Widodo datang pada 8-9 Mei 2015 disebutnya sebagai contoh ketidak disiplinan para kepala daerah di Papua.
Menteri Pertahanan Ryamizard Riyakudu menuding Lukas Enembe tidak menyambut dua kunjungan Presiden Joko Widodo ke provinsi tersebut.
"Pejabat di sana jarang ada di tempat. Presiden dua kali datang ke sana, gubernur, wakil gubernurnya nggak ada. Yang jemput sekretaris daerah. Bayangkan. Di Jakarta atau di mana dia? Katanya kadang-kadang di Singapura," klaim Ryamizard di kantor Kemhan,Rabu (19/8).
Pensiunan jenderal berbintang empat itu pun berang. Ia menuturkan, pemerintah pusat setiap tahun telah menganggarkan dana pembangunan senilai Rp 37 triliun untuk Papua. Namun ia menuding, perilaku para pejabat yang jarang berada di daerahnya membuat anggaran tersebut sia-sia dan menguap entah ke mana.
Padahal, menurut Ryamizard, uang sebesar Rp 37 triliun itu sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di Papua. Ia mengklaim anggaran tersebut juga lebih banyak ketimbang bagi hasil yang didapatkan pemerintah dari Freeport per tahun.
Menurut hasil sensus penduduk 2010, Badan Pusat Statistik mencatat Papua dihuni 2,833,381 penduduk. Jika membandingkan dana pembangunan Papua dari pemerintah pusat dengan jumlah penduduk pada tahun itu, maka setiap penduduk di provinsi itu akan mendapatkan kurang lebih Rp 13 juta.
"Ini setiap tahun Rp 37 triliun untuk Papua. Penduduk di sana berapa? Tidak sampai tiga juta? Rp 37 triliun dibagi tiga juta berapa. Tapi duitnya mana," ungkap Ryamizard.
Selanjutnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, juga mengklaim hal yang sama, dengan menuding perilaku para pejabat Papua.
"Presiden datang dua kali ke sana, gubernur tidak ada. Wakil gubernur juga tidak ada," ujarnya di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta.
Pernyataan Luhut ini merupakan lanjutan dari pembahasan antarmenteri dan pimpinan lembaga negara di bawah koordinasi Menko Polhukam, pada rapat tertutup.
Setelah rapat itu Luhut mempublikasikan laporan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, kepadanya.
"Banyak pejabat di daerah sana yang tidak tinggal di daerah pemerintahannya melainkan banyak membuang waktu di Jakarta dan tempat lain. (Sanksi) akan segera dirumuskan, dengan demikian jangan menyalahkan pemerintah pusat yang seolah-olah tidak memperhatikan Papua," tegas Luhut.
Melihat hal tersebut, Kementrian Dalam Negeri berjanji akan mengambil tindakkan tegas terhadap para kepala daerah yang sering berada di luar daerah dalam kurun waktu tertentu. [Detik/Kompas]