Lima Poin Pernyataan Pendeta Dorman Wandikbo Terkait Kericuhan di Karubaga
pada tanggal
Tuesday, 4 August 2015
KOTA JAYAPURA - Presiden Sinode Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Papua, Pendeta Dorman Wandikbo memenuhi panggilan Direktorat Resor dan Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Papua, pada Senin (3/8). Kehadirannya sebagai saksi atas kericuhan di Karubaga, Kabupaten Tolikara pada 17 Juli lalu.
Ketua tim kuasa hukum, Gustaf Kawer, mengatakan, kliennya tersebut dipanggil sebagai saksi dan dimintai keterangan dengan 37 pertanyaan selama empat jam.
“Pemeriksaan tadi sebagai saksi.” kata Gustaf Kawer kepada tabloidjubi.com, dihari yang sama. “Intinya, ada lima point dari seluruh pertanyaan itu.”
Gustaf Kawer menjabarkan, lima point pertanyaan dalam pemeriksaan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, tentang susunan kepanitiaan; kedua, perubahan jadual kegiatan seminar KKR dari tanggal 22-27 Juli 2015 diundur ke 15-20 Juli 2015; ketiga, surat imbauan tentang larangan ibadah bagi umat muslim per tanggal 11 Juli 2015 dan surat imbauan perbaikan yang menjelaskan izin ibadah tetapi tanpa toa/pengeras suara, per tanggal 13 Juli 2015.
Point keempat, berkaitan dengan penyerangan dan pembakaran; dan point terakhir berkaitan tamu undangan dari luar negeri dalam kegiatan seminar dan KKR Pemuda GIDI Internasional.
Gustaf Kawer mengatakan, kliennya diperiksa dengan dikenakan dua pasal, yaitu pasal 160 tentang penghasutan dan pasal 187 tentang dengan sengaja melakukan pembakaran.
Sementara itu, Pdt. Dorman Wandikbo mengatakan, selain memenuhi panggilan, kedatangannya ke Polda adalah untuk menjelaskan dua poin.
“Saya sebagai warga negara yang baik, maka saya penuhi panggilan itu. Saya sampaikan apa yang saya lihat dan apa yang saya rasakan,” katanya kepada Jubi.
Poin pertama, jelas pendeta adalah untuk menjelaskan kronologi insiden Tolikara, yang berujung dengan tewasnya seorang remaja 15 tahun, Endi Wanimbo, 11 luka tembak, dan terbakarnya puluhan kios dan sebuah mushola.
Poin kedua, pendeta menyampaikan hasil kesepakatan penyelesaian masalah antara GIDI dan Umat muslim di Tolikara. Dalam kesepakatan tersebut, disepakati tujuh poin, dan salah satunya menyatakan masalah tersebut selesai dengan pengurusan secara adat, sehingga kedua pihak yang menjadi korban “mis-comunication” tersebut tidak membawa ini ke meja hijau.
“Saya minta Polda Papua tidak melakukan proses hukum atas kasus Tolikara. Kasus ini bukan agama yang disengaja, melainkan kesalahpahaman. Karena itu, saya sampaikan tujuh poin kesepakatan dengan NU,” ucapnya.
Kedatangan Presiden Sinode GIDI di Polda Papua, didampingi tim kuasa hukum, para pimpinan lembaga gereja di Papua, serta puluhan masyarakat dan solidaritas Masyarakat Sipil untuk Keadilan Dan Perdamaian di Tanah Papua. [Jubi]
Ketua tim kuasa hukum, Gustaf Kawer, mengatakan, kliennya tersebut dipanggil sebagai saksi dan dimintai keterangan dengan 37 pertanyaan selama empat jam.
“Pemeriksaan tadi sebagai saksi.” kata Gustaf Kawer kepada tabloidjubi.com, dihari yang sama. “Intinya, ada lima point dari seluruh pertanyaan itu.”
Gustaf Kawer menjabarkan, lima point pertanyaan dalam pemeriksaan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, tentang susunan kepanitiaan; kedua, perubahan jadual kegiatan seminar KKR dari tanggal 22-27 Juli 2015 diundur ke 15-20 Juli 2015; ketiga, surat imbauan tentang larangan ibadah bagi umat muslim per tanggal 11 Juli 2015 dan surat imbauan perbaikan yang menjelaskan izin ibadah tetapi tanpa toa/pengeras suara, per tanggal 13 Juli 2015.
Point keempat, berkaitan dengan penyerangan dan pembakaran; dan point terakhir berkaitan tamu undangan dari luar negeri dalam kegiatan seminar dan KKR Pemuda GIDI Internasional.
Gustaf Kawer mengatakan, kliennya diperiksa dengan dikenakan dua pasal, yaitu pasal 160 tentang penghasutan dan pasal 187 tentang dengan sengaja melakukan pembakaran.
Sementara itu, Pdt. Dorman Wandikbo mengatakan, selain memenuhi panggilan, kedatangannya ke Polda adalah untuk menjelaskan dua poin.
“Saya sebagai warga negara yang baik, maka saya penuhi panggilan itu. Saya sampaikan apa yang saya lihat dan apa yang saya rasakan,” katanya kepada Jubi.
Poin pertama, jelas pendeta adalah untuk menjelaskan kronologi insiden Tolikara, yang berujung dengan tewasnya seorang remaja 15 tahun, Endi Wanimbo, 11 luka tembak, dan terbakarnya puluhan kios dan sebuah mushola.
Poin kedua, pendeta menyampaikan hasil kesepakatan penyelesaian masalah antara GIDI dan Umat muslim di Tolikara. Dalam kesepakatan tersebut, disepakati tujuh poin, dan salah satunya menyatakan masalah tersebut selesai dengan pengurusan secara adat, sehingga kedua pihak yang menjadi korban “mis-comunication” tersebut tidak membawa ini ke meja hijau.
“Saya minta Polda Papua tidak melakukan proses hukum atas kasus Tolikara. Kasus ini bukan agama yang disengaja, melainkan kesalahpahaman. Karena itu, saya sampaikan tujuh poin kesepakatan dengan NU,” ucapnya.
Kedatangan Presiden Sinode GIDI di Polda Papua, didampingi tim kuasa hukum, para pimpinan lembaga gereja di Papua, serta puluhan masyarakat dan solidaritas Masyarakat Sipil untuk Keadilan Dan Perdamaian di Tanah Papua. [Jubi]