Kementerian Perhubungan Nilai Pilot di Papua Harus Gunakan Visual Flight Rules
pada tanggal
Friday, 21 August 2015
JAKARTA - Menerbangkan pesawat di atas Tanah Papua bukanlah perkara mudah. Apalagi bagi pesawat-pesawat yang menuju bandara-bandara di pedalaman alias perintis.
Salah satu penyebabnya adalah kondisi topografi atau bentuk permukaan bumi Papua yang banyak gunung dan lembah. Bahkan untuk mengakali topografi yang sulit tersebut, pilot harus menggunakan penerbangan visual (Visual Flight Rules).
Penerbangan visual dilakukan hanya dengan mengandalkan kompas, melihat kondisi sekitar, dan membaca tanda alam maupun cuaca. Sistem ini pun pada akhirnya hanya mengandalkan pandangan mata dan kemampuan sang pilot untuk membuat pesawat tetap terbang pada jalurnya.
Direktur Navigasi dan Penerbangan Kementerian Perhubungan Novie Riyanto mengatakan kemampuan dan keterampilan penerbang di Papua harus tinggi karena sulitnya medannya.
"Tidak berarti penerbangan di Papua yang berisiko tinggi bisa diatasi dengan pengalaman dari pilotnya, diperlukan jam terbang dan kualifikasi yang tinggi," kata Novie.
Permasalahan penerbangan di Papua tidak hanya soal kondisi topografi saja. Topografi yang rumit membuat teknologi kurang berfungsi. Begitu juga dengan minimnya fasilitas pendukung teknologi, terutama di pedalaman.
"Bandara sekelas Jayapura, Biak, Merauke, Sorong, Timika, semua radar sudah ada. Mereka fasilitasnya lengkap. Instrumennya juga lengkap. Tapi di pedalaman kita harus melakukan upaya ekstra," katanya dalam diskusi yang diadakan di Gedung Kementerian Perhubungan, Jakarta, kemarin, Rabu (19/8).
Beberapa daerah pedalaman yang dimaksud adalah Oksibil, Ilaga, juga Dekai. Meski perlengkapan navigasi yang digunakan untuk memandu pergerakan pesawat, tetapi jika fasilitas lainnya tak mendukung, sebut Novie, maka tak akan optimal sebagai mana yang terjadi dengan Trigana Air di Oksibil.
"Walaupun sudah ada radar NDB, ada VOR tapi di Oksibil listriknya tidak ada. Pakai genset kadang hidup, kadang mati, solarnya Rp 50 ribu satu liter," ujar Novie. Radar NDB atau non-directional beacons adalah sistem sinyal radio yang bisa mengikuti kontur bumi.
Selain itu, nasib penerbangan di pedalaman Papua semakin sulit ketika informasi cuaca tidak dapat diterima dengan baik. Bahkan kabarnya, pilot harus menelepon ke bandara tujuannya terlebih dahulu untuk mengetahui kondisi cuaca.
Novie tidak memungkiri adanya kesulitan pemantauan cuaca di sana. Ia mengatakan hal ini disebabkan oleh minimnya stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di pedalaman.
"Kalau di pedalaman BMKG-nya tidak ada. Ke depan kami akan minta BMKG untuk tambah stationnya. Station mereka tidak semua ada di bandara kita," kata Novie. [CNN]
Salah satu penyebabnya adalah kondisi topografi atau bentuk permukaan bumi Papua yang banyak gunung dan lembah. Bahkan untuk mengakali topografi yang sulit tersebut, pilot harus menggunakan penerbangan visual (Visual Flight Rules).
Penerbangan visual dilakukan hanya dengan mengandalkan kompas, melihat kondisi sekitar, dan membaca tanda alam maupun cuaca. Sistem ini pun pada akhirnya hanya mengandalkan pandangan mata dan kemampuan sang pilot untuk membuat pesawat tetap terbang pada jalurnya.
Direktur Navigasi dan Penerbangan Kementerian Perhubungan Novie Riyanto mengatakan kemampuan dan keterampilan penerbang di Papua harus tinggi karena sulitnya medannya.
"Tidak berarti penerbangan di Papua yang berisiko tinggi bisa diatasi dengan pengalaman dari pilotnya, diperlukan jam terbang dan kualifikasi yang tinggi," kata Novie.
Permasalahan penerbangan di Papua tidak hanya soal kondisi topografi saja. Topografi yang rumit membuat teknologi kurang berfungsi. Begitu juga dengan minimnya fasilitas pendukung teknologi, terutama di pedalaman.
"Bandara sekelas Jayapura, Biak, Merauke, Sorong, Timika, semua radar sudah ada. Mereka fasilitasnya lengkap. Instrumennya juga lengkap. Tapi di pedalaman kita harus melakukan upaya ekstra," katanya dalam diskusi yang diadakan di Gedung Kementerian Perhubungan, Jakarta, kemarin, Rabu (19/8).
Beberapa daerah pedalaman yang dimaksud adalah Oksibil, Ilaga, juga Dekai. Meski perlengkapan navigasi yang digunakan untuk memandu pergerakan pesawat, tetapi jika fasilitas lainnya tak mendukung, sebut Novie, maka tak akan optimal sebagai mana yang terjadi dengan Trigana Air di Oksibil.
"Walaupun sudah ada radar NDB, ada VOR tapi di Oksibil listriknya tidak ada. Pakai genset kadang hidup, kadang mati, solarnya Rp 50 ribu satu liter," ujar Novie. Radar NDB atau non-directional beacons adalah sistem sinyal radio yang bisa mengikuti kontur bumi.
Selain itu, nasib penerbangan di pedalaman Papua semakin sulit ketika informasi cuaca tidak dapat diterima dengan baik. Bahkan kabarnya, pilot harus menelepon ke bandara tujuannya terlebih dahulu untuk mengetahui kondisi cuaca.
Novie tidak memungkiri adanya kesulitan pemantauan cuaca di sana. Ia mengatakan hal ini disebabkan oleh minimnya stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di pedalaman.
"Kalau di pedalaman BMKG-nya tidak ada. Ke depan kami akan minta BMKG untuk tambah stationnya. Station mereka tidak semua ada di bandara kita," kata Novie. [CNN]