Kehadiran Negara Dipertanyakan atas Maraknya Diskriminasi Agama di Indonesia Barat
pada tanggal
Thursday, 6 August 2015
KOTA JAYAPURA - Kepala Persekutuan Gereja-gereja Baptis di Tanah Papua (PGBP) Pendeta Socrtez Sofyan Yoman mempertanyakan kehadiran negara ketika sejumlah tempat ibadah umat minoritas di beberapa daerah di Indonesia Barat ditutup secara paksa oleh pihak-pihak tertentu.
Sembari mencontohkan nasib yang dialami jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor, Jawa Barat yang hingga kini tidak dapat beribadah dengan baik akibat tempat ibadahnya ditutup paksa oleh walikota dan ormas agama radikal setempat, pelarangan ibadah dan pendirian gereja di Aceh, Banten, Sulawesi Selatan dan berbagai tempat lainnya. Juga nasib muslim yang berbeda pandangan yang sering kali diserang dan dibunuh oleh muslim mayoritas.
“Negara ada dimana. Keadilan ada dimana, undang – undang ada di mana, pancasila ada di mana, bhineka tunggal ika ada dimana? Apa hanya ada di buku? Syiah dan Ahmadiyah dikejar – kejar, lalu negara ada dimana?” ucapnya, pada usai pertemuan dengan Kepala Staff Kepresidenan, Luhut Panjaitan di Jayapura, Rabu (5/8).
Ia juga menegaskan peristiwa di Tolikara bukanlah pembuktian bahwa Kristen di Papua menolak muslim, sebab kehidupan toleransi beragama di Papua sangat tinggi, dengan dibuktikannya para muslim untuk beribadah dan mendirikan tempat ibadahnya di lingkungan mereka.
Sedangkan terkait status missionaris dari Luar Negeri yang berada di Tanah Papua, Ketua Sinode GKI, Albert Yoku mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan pandangan sempit dari orang-orang diluar Papua yang tidak paham atas kondisi nyata di Papua.
Ditegaskan, misionaris merupakan pihak pertama yang memberikan pencerahan kepada orang Papua dari segala bentuk ketertinggalan dan hingga kini mereka merupakan perintis pembangunan di Papua yang sebenarnya.
“Peradaban orang asli Papua yang sudah diletakkan misionaris dan membangun spiritual, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi juga infrastruktur dasar, yang akhirnya memberi pertumbuhan SDM yang sudah bertahun–tahun dimiliki orang asli Papua,” kata Albert Yoku seperti diberitakan tabloidjubi.com. .
Namun ketika negara datang ke tempat–tempat yang sudah dibangun dan dibentuk oleh missionaris dan gereja, lanjut dia, pembangunan itu tak didukung oleh pemerintah.
Negara justru melakukan berbagai kebijakan sendiri dan bertentangan dengan apa yang sudah ada, sehingga merusak pembangunan itu sendiri.
“Pemerintah datang dengan budaya, agamanya, dan kepentingannya sendiri. Tak bekerjasama dengan pimpinan agama lokal dan tak menopang kegiatan keagaamaan, sosial, ekonomi, kesehatan yang sudah dikerjakan gereja di satu tempat, termasuk Tolikara,” ucapnya.
Ia juga menegaskan, kericuhan di Karubaga merupakan letupan dari semua masalah dan kekerasan di Papua yang selama ini dipendam oleh negara.
Misalnya kasus Paniai, Yahukimo, dan kasus – kasus besar di Papua, tak ditangani serius oleh negara seperti penanganganan seketika yang dilakukan dii Tolikara.
“Kami harap semangat itu juga dipakai menyelesaikan kasus – kasus itu. Jangan hanya Tolikara saja yang seolah terlalu besar. Padahal itu terlalu kecil. Masalah Tolikara ini adalah tabrakan terhadap peradaban dan dibukanya mata kita bahwa minoritas di Indonesia harus mendapat perlakuan adil,” kata Albert Yoku. [Jubi/Papuanesia]
Sembari mencontohkan nasib yang dialami jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor, Jawa Barat yang hingga kini tidak dapat beribadah dengan baik akibat tempat ibadahnya ditutup paksa oleh walikota dan ormas agama radikal setempat, pelarangan ibadah dan pendirian gereja di Aceh, Banten, Sulawesi Selatan dan berbagai tempat lainnya. Juga nasib muslim yang berbeda pandangan yang sering kali diserang dan dibunuh oleh muslim mayoritas.
“Negara ada dimana. Keadilan ada dimana, undang – undang ada di mana, pancasila ada di mana, bhineka tunggal ika ada dimana? Apa hanya ada di buku? Syiah dan Ahmadiyah dikejar – kejar, lalu negara ada dimana?” ucapnya, pada usai pertemuan dengan Kepala Staff Kepresidenan, Luhut Panjaitan di Jayapura, Rabu (5/8).
Ia juga menegaskan peristiwa di Tolikara bukanlah pembuktian bahwa Kristen di Papua menolak muslim, sebab kehidupan toleransi beragama di Papua sangat tinggi, dengan dibuktikannya para muslim untuk beribadah dan mendirikan tempat ibadahnya di lingkungan mereka.
Sedangkan terkait status missionaris dari Luar Negeri yang berada di Tanah Papua, Ketua Sinode GKI, Albert Yoku mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan pandangan sempit dari orang-orang diluar Papua yang tidak paham atas kondisi nyata di Papua.
Ditegaskan, misionaris merupakan pihak pertama yang memberikan pencerahan kepada orang Papua dari segala bentuk ketertinggalan dan hingga kini mereka merupakan perintis pembangunan di Papua yang sebenarnya.
“Peradaban orang asli Papua yang sudah diletakkan misionaris dan membangun spiritual, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi juga infrastruktur dasar, yang akhirnya memberi pertumbuhan SDM yang sudah bertahun–tahun dimiliki orang asli Papua,” kata Albert Yoku seperti diberitakan tabloidjubi.com. .
Namun ketika negara datang ke tempat–tempat yang sudah dibangun dan dibentuk oleh missionaris dan gereja, lanjut dia, pembangunan itu tak didukung oleh pemerintah.
Negara justru melakukan berbagai kebijakan sendiri dan bertentangan dengan apa yang sudah ada, sehingga merusak pembangunan itu sendiri.
“Pemerintah datang dengan budaya, agamanya, dan kepentingannya sendiri. Tak bekerjasama dengan pimpinan agama lokal dan tak menopang kegiatan keagaamaan, sosial, ekonomi, kesehatan yang sudah dikerjakan gereja di satu tempat, termasuk Tolikara,” ucapnya.
Ia juga menegaskan, kericuhan di Karubaga merupakan letupan dari semua masalah dan kekerasan di Papua yang selama ini dipendam oleh negara.
Misalnya kasus Paniai, Yahukimo, dan kasus – kasus besar di Papua, tak ditangani serius oleh negara seperti penanganganan seketika yang dilakukan dii Tolikara.
“Kami harap semangat itu juga dipakai menyelesaikan kasus – kasus itu. Jangan hanya Tolikara saja yang seolah terlalu besar. Padahal itu terlalu kecil. Masalah Tolikara ini adalah tabrakan terhadap peradaban dan dibukanya mata kita bahwa minoritas di Indonesia harus mendapat perlakuan adil,” kata Albert Yoku. [Jubi/Papuanesia]