Inilah Pernyataan Sikap Pimpinan Gereja di Tanah Papua kepada Presiden Joko Widodo
pada tanggal
Thursday, 6 August 2015
KOTA JAYAPURA - Kepala staf Kepresidenan RI, Luhut Panjaitan menemui empat pimpinan denominasi Kristen di Papua yakni Ketua Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, Pendeta Albert Yoku. Ketua Sinode Gereja Kemah Injili (Kingmi) Papua, Benny Giay; Ketua Persekutuan Gereja-gereja Baptis di Tanah Papua (PGBP), Pendeta Socratez Sofyan Yoman dan Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Pendeta Dorman Wandikbo di Kantor Sinode GKI Tanah Papua di Argapura, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Rabu (5/8).
Materi utama yang dibahas oleh Luhut dan keempat pemimpin gereja dengan jemaat terbesar di Papua itu adalah terkait kericuhan di Karubaga pada pertengahan Juli lalu.
Seperti diberitakan tabloidjubi.com Ketua Sinode GKI, Albert Yoku mengatakan, pihaknya menyampikan beberapa hal temuan gereja kepada staf kepresidenan mengenai kericuhan di Karubaga.
“Pertama, mengenai peradaban orang asli Papua yang sudah diletakkan misionaris dan membangun spiritual, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi juga infrastruktur dasar, yang akhirnya memberi pertumbuhan SDM yang sudah bertahun – tahun dimiliki orang asli Papua,” kata Albert Yoku, usai pertemuan.
Namun ketika datang ke tempat – tempat yang sudah dibangun misonaris bersama terbentuknya gereja, lanjut dia, tak didukung oleh pemerintah. Justru melakukan kebijakan sendiri dan bertentangan dengan apa yang sudah ada.
“Pemerintah datang dengan budaya, agamanya, dan kepentingannya sendiri. Tak bekerjasama dengan pimpinan agama lokal dan tak menopang kegiatan keagaamaan, sosial, ekonomi, kesehatan yang sudah dikerjakan gereja di satu tempat, termasuk Tolikara,” ucapnya.
Khusus untuk insiden Tolikara, kata Yoku, semua kembali pada kesepakatan tujuh poin pada 29 Juli antara GIDI dan Nahdlatul Ulama (NU) Papua yang difasilitasi FKUB. Kedua pihak sepakat berdamai sesuai budaya tidak lewat proses hukum.
“Kami sampaikan ke staf kepresidenan, semua proses hukum terhadap empat pimpinan GIDI kembali kepada kesepakatan pada 29 Juli. Kami sudah menulis surat ke Polda untuk penghentian proses pemeriksaan dan meminta dua orang yang ada di tahanan, dari pimpinan gereja GIDI segera dibebaskan. Kembali pada perjanjian damai. Kami harap pemerintah memberi ruang untuk pihak yang sudah sepakat duduk bicara,” ucanya.
Sedangkan Pendeta Socrates berharap, negara bijak menyikapi insiden Tolikara. Ia mengatakan, insiden Tolikara mendapat perhatian luar biasa dari pemerintah pusat. Tak hanya presiden, panglima TNI, Kapolri, namun juga sejumlah menteri langsung ke Tolikara. Namun ia menyangkan tidak adanya perlakuan yang sama terhadap kasus penembakan terhadap orang asli Papua yang terjadi beberapa waktu terakhir ini.
“Kami melihat ini satu pengalihan masalah. Satu masalah penting adalah, kasus pembunuhan yang dilakukan aparat keamanan di Paniai pada 8 Desember 2014. Tak hanya itu kasus Yahukimo juga, dan beberapa kasus lainnya. Ini pengalihan issu yang dilakukan negara,” ujarnya.
Sementara Pendeta Dorman Wandikbo mengatakan, kronologis kejadian sudah dibuat, ditandatangani pihaknya, dan diserahkan ke Luhut Panjaitan, untuk dibawa ke Jakarta agar Presiden Jokowi mengetahui kronologis sebenarnya.
Menurutnya, tokoh muslim Tolikara sendiri menyatakan, jika hal itu diselesaikan secara adat, akan aman untuk Tolikara kini dan kedepan. Tapi kalau diselesaikan secara hukum, yang ditekan orang pusat, maka tak aman untuk Tolikara kini dan kedepan.
“Kami akan menyelesaikan ini dengan cara adat dan kami sampaikan agar pihak keamanan juga mendorong penyelesaian secara adat ini. Kalau hukum terus jalan, kami tahu kami GIDI bukan pihak pelaku. Tapi korban. Kami tak pernah buat masalah. Kami di Papua lebih banyak jadi korban hukum, bukan melanggar hukum,” ucapnya.
Katanya, jika pihak korban ditahan, dan diperiksa, bukan lagi penyelesaian masalah, tapi menambah masalah. Ia berharap semua bisa berjalan dengan baik.
Ia juga menyatakan, pemeriksaan dirinya oleh Reserse dan Krimnal (Reskrim) Polda Papua beberapa hari lalu sebagai sebagai saksi, bukan tersangka.
“Saya hadir di Reskrim Polda menjelaskan kronologis sebenarnya. Saya juga menyampaikan, umat GIDI dan muslim di Tolikara, sudah ada kesepakatan damai pada 29 Juli lalu,” katanya. [Jubi]
Materi utama yang dibahas oleh Luhut dan keempat pemimpin gereja dengan jemaat terbesar di Papua itu adalah terkait kericuhan di Karubaga pada pertengahan Juli lalu.
Seperti diberitakan tabloidjubi.com Ketua Sinode GKI, Albert Yoku mengatakan, pihaknya menyampikan beberapa hal temuan gereja kepada staf kepresidenan mengenai kericuhan di Karubaga.
“Pertama, mengenai peradaban orang asli Papua yang sudah diletakkan misionaris dan membangun spiritual, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi juga infrastruktur dasar, yang akhirnya memberi pertumbuhan SDM yang sudah bertahun – tahun dimiliki orang asli Papua,” kata Albert Yoku, usai pertemuan.
Namun ketika datang ke tempat – tempat yang sudah dibangun misonaris bersama terbentuknya gereja, lanjut dia, tak didukung oleh pemerintah. Justru melakukan kebijakan sendiri dan bertentangan dengan apa yang sudah ada.
“Pemerintah datang dengan budaya, agamanya, dan kepentingannya sendiri. Tak bekerjasama dengan pimpinan agama lokal dan tak menopang kegiatan keagaamaan, sosial, ekonomi, kesehatan yang sudah dikerjakan gereja di satu tempat, termasuk Tolikara,” ucapnya.
Khusus untuk insiden Tolikara, kata Yoku, semua kembali pada kesepakatan tujuh poin pada 29 Juli antara GIDI dan Nahdlatul Ulama (NU) Papua yang difasilitasi FKUB. Kedua pihak sepakat berdamai sesuai budaya tidak lewat proses hukum.
“Kami sampaikan ke staf kepresidenan, semua proses hukum terhadap empat pimpinan GIDI kembali kepada kesepakatan pada 29 Juli. Kami sudah menulis surat ke Polda untuk penghentian proses pemeriksaan dan meminta dua orang yang ada di tahanan, dari pimpinan gereja GIDI segera dibebaskan. Kembali pada perjanjian damai. Kami harap pemerintah memberi ruang untuk pihak yang sudah sepakat duduk bicara,” ucanya.
Sedangkan Pendeta Socrates berharap, negara bijak menyikapi insiden Tolikara. Ia mengatakan, insiden Tolikara mendapat perhatian luar biasa dari pemerintah pusat. Tak hanya presiden, panglima TNI, Kapolri, namun juga sejumlah menteri langsung ke Tolikara. Namun ia menyangkan tidak adanya perlakuan yang sama terhadap kasus penembakan terhadap orang asli Papua yang terjadi beberapa waktu terakhir ini.
“Kami melihat ini satu pengalihan masalah. Satu masalah penting adalah, kasus pembunuhan yang dilakukan aparat keamanan di Paniai pada 8 Desember 2014. Tak hanya itu kasus Yahukimo juga, dan beberapa kasus lainnya. Ini pengalihan issu yang dilakukan negara,” ujarnya.
Sementara Pendeta Dorman Wandikbo mengatakan, kronologis kejadian sudah dibuat, ditandatangani pihaknya, dan diserahkan ke Luhut Panjaitan, untuk dibawa ke Jakarta agar Presiden Jokowi mengetahui kronologis sebenarnya.
Menurutnya, tokoh muslim Tolikara sendiri menyatakan, jika hal itu diselesaikan secara adat, akan aman untuk Tolikara kini dan kedepan. Tapi kalau diselesaikan secara hukum, yang ditekan orang pusat, maka tak aman untuk Tolikara kini dan kedepan.
“Kami akan menyelesaikan ini dengan cara adat dan kami sampaikan agar pihak keamanan juga mendorong penyelesaian secara adat ini. Kalau hukum terus jalan, kami tahu kami GIDI bukan pihak pelaku. Tapi korban. Kami tak pernah buat masalah. Kami di Papua lebih banyak jadi korban hukum, bukan melanggar hukum,” ucapnya.
Katanya, jika pihak korban ditahan, dan diperiksa, bukan lagi penyelesaian masalah, tapi menambah masalah. Ia berharap semua bisa berjalan dengan baik.
Ia juga menyatakan, pemeriksaan dirinya oleh Reserse dan Krimnal (Reskrim) Polda Papua beberapa hari lalu sebagai sebagai saksi, bukan tersangka.
“Saya hadir di Reskrim Polda menjelaskan kronologis sebenarnya. Saya juga menyampaikan, umat GIDI dan muslim di Tolikara, sudah ada kesepakatan damai pada 29 Juli lalu,” katanya. [Jubi]