Dana Otsus Papua Dinilai Belum Tingkatkan SDM
pada tanggal
Sunday, 30 August 2015
KOTA SORONG - Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad menilai dana otonomi khusus untuk Papua dan Papua Barat hingga saat ini belum mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM).
"Komitmen pemerintah memberikan perhatian total ke Papua dan Papua Barat adalah untuk melaksanakan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 tahun 2008," kata Fadel Muhammad di Kota Sorong, Kamis.
Pada tahun 2013, indeks pembangunan manusia secara nasional mencapai 73,80 persen sementara dua provinsi itu di bawah angka itu, untuk Papua 66,23 dan Papua Barat 70,62.
Menurut Fadel, penyebab dana otsus tersebut belum meningkatkan kualitas pembangunan manusia adalah karena alokasi dana yang kurang memperhatikan lokus dan fokus sehingga tidak menghasilkan output dan outcome yang optimum.
Di samping itu, juga karena kualitas perencanaan pembangunan yang belum bagus yang memunculkan persoalan dalam implementasi dan monitoring.
"Karena faktor geografis, ketersediaan infrastruktur dan kualitas SDM aparatur," kata Fadel.
Menurut dia, integritas pejabat daerah juga perlu ditingkatkan kualitasnya. Pada tahun 2011 terdapat 84 kasus pidana korupsi.
Papua memiliki ruang yang besar untuk terjadi penyimpangan anggaran. Pengalaman menunjukkan ada tiga kepala daerah di Papua yang harus berurusan dengan hukum.
Menurut Fadel, pemerintah pusat melalui Kemendagri, KPK, BPKP, LKPP berupaya membantu pemerintah daerah dalam hal akuntabilitas pengelolaan keuangan dan aset daerah serta pengadaaan barang di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Fadel menyebutkan Pemerintah Jokowi-JK pada APBNP 2015 menetapkan besaran dana otsus Papua dan Papua Barat dengan jumllah sebesar Rp7,06 triliun.
Disepakati dana tersebut dibagi masing-masing untuk untuk Papua 70 persen atau Rp4,94 triliun dan 30 persen (Rp2,12 triliun) untuk Papua Barat.
Selain itu ada dana tambahan otsus sebesar Rp3 triliun yang dibagi untuk dana tambahan infrastruktur Provinsi Papua Rp2,25 triliun untuk Provinsi Papua dan Rp750 miliar untuk Papua Barat.
Untuk tahun anggaran 2016, pemerintah menaikkan alokasi dana otsus untuk dua provinsi itu menjadi Rp7,77 triliun (sebelumnya Rp7 triliun. Dana itu dibagi 70 persen atau Rp5,44 triliun untuk Papua dan 30 persen atau Rp2,33 trliun untuk Papua Barat.
Pemerintah juga memberikan dana tambahan infrastruktur untuk dua provinsi itu Rp3,38 triliun.
Jumalh itu dibagi masing-masing untuk Provinsi Papua Rp2!26 triliun dan Provinsi Papua Barat Rp1,11 triliun.
Sebagai perbandingan, pada APBNP 2015, dana tambahan infrastruktur untuk Papua sebesar Rp2 triliun dan Papua Barat Rp500 miliar.
Perlu Pengawasan
Anggota Komisi IX DPR Roberth Rouw mengatakan pemerintah pusat perlu mengawasi secara intensif dana otonomi khusus yang disalurkan untuk wilayah Papua dan Papua Barat.
"Penggunaan dana otonomi khusus oleh masing-masing kepala daerah di Papua dapat membuka peluang terjadinya korupsi," kata Roberth Rouw.
Ia menyebutkan dana alokasi khusus yang dikucurkan ke dua provinsi di Papua cukup besar sementara landasan hukum pengelolaannya belum jelas.
"Mekanisme pendistribusian dana serta pertanggungjawabannya juga belum jelas sehingga pengawasan oleh pemerintah pusat harus dilakukan secara intensif," katanya.
Hal itu, lanjut dia, dapat dilihat dari adanya kerancuan dalam pengalokasian dana tersebut kepada masyarakat.
Penggunaan dana hanya dibagi berdasarkan kesepakatan bersama antara provinsi dan daerah-daerah kabupaten/kota.
"Begitupun persoalan pertanggungjawaban oleh masing-masing kepala daerah di Papua dapat membuka peluang terjadinya korupsi," kata Anggota DPR Daerah Pemilihan Provinsi Papua itu.
Ia menyebutkan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua merupakan pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi itu dalam kerangka NKRI.
Kewenangan itu juga berarti tanggung jawab yang lebih besar untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Papua.
Dalam perkembangannya, UU Nomor 21 itu diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2008 sehingga otonomi khusus juga berlaku untuk Provinsi Papua Barat.
Dalam hal keuangan, berdasar UU Nomor 35 Tahun 2008 maka penerimaan Provinsi Papua dan Papua Barat dalam rangka otsus mencakup penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otsus yang besarnya setara dengan dua persen dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional.
Dana itu terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan dan tambahan dalam rangka pelaksanaan otsus yang besarnya ditetapkan antara pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Roberth Rouw yang juga Wakil Ketua Tim Pemantau DPR terhadap pelaksanaan UU Nomor 21 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua menyebutkan dalam APBNP 2015 alokasi dana otsus mencapai Rp17,12 triliun.
Dana itu terdiri dari dana Otsus Papua dan Papua Barat Rp7,06 triliun berikut dana tambahan infrastruktur otsus sebesar Rp3 triliun serta dana otsus Aceh Rp7,06 triliun dan dana keistimewaan DI Yogyakarta Rp547,45 miliar.
Dana otsus Papua dan Papua Barat sebesar Rpz,06 triliun itu disepakati untuk dibagi masing-masing 70 persen (Rp4,94 triliun) untuk Papua dan 30 persen (Rp2,12 triliun) untuk Papua Barat.
Dana tambahan infrastruktur sebesar Rp3 triliun terbagi atas dana tambahan infrastruktur infrastruktur sebesar Rp2,25 triliun untuk Papua dan Rp750 miiar untuk Papua Barat.[Antara]
"Komitmen pemerintah memberikan perhatian total ke Papua dan Papua Barat adalah untuk melaksanakan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 tahun 2008," kata Fadel Muhammad di Kota Sorong, Kamis.
Pada tahun 2013, indeks pembangunan manusia secara nasional mencapai 73,80 persen sementara dua provinsi itu di bawah angka itu, untuk Papua 66,23 dan Papua Barat 70,62.
Menurut Fadel, penyebab dana otsus tersebut belum meningkatkan kualitas pembangunan manusia adalah karena alokasi dana yang kurang memperhatikan lokus dan fokus sehingga tidak menghasilkan output dan outcome yang optimum.
Di samping itu, juga karena kualitas perencanaan pembangunan yang belum bagus yang memunculkan persoalan dalam implementasi dan monitoring.
"Karena faktor geografis, ketersediaan infrastruktur dan kualitas SDM aparatur," kata Fadel.
Menurut dia, integritas pejabat daerah juga perlu ditingkatkan kualitasnya. Pada tahun 2011 terdapat 84 kasus pidana korupsi.
Papua memiliki ruang yang besar untuk terjadi penyimpangan anggaran. Pengalaman menunjukkan ada tiga kepala daerah di Papua yang harus berurusan dengan hukum.
Menurut Fadel, pemerintah pusat melalui Kemendagri, KPK, BPKP, LKPP berupaya membantu pemerintah daerah dalam hal akuntabilitas pengelolaan keuangan dan aset daerah serta pengadaaan barang di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Fadel menyebutkan Pemerintah Jokowi-JK pada APBNP 2015 menetapkan besaran dana otsus Papua dan Papua Barat dengan jumllah sebesar Rp7,06 triliun.
Disepakati dana tersebut dibagi masing-masing untuk untuk Papua 70 persen atau Rp4,94 triliun dan 30 persen (Rp2,12 triliun) untuk Papua Barat.
Selain itu ada dana tambahan otsus sebesar Rp3 triliun yang dibagi untuk dana tambahan infrastruktur Provinsi Papua Rp2,25 triliun untuk Provinsi Papua dan Rp750 miliar untuk Papua Barat.
Untuk tahun anggaran 2016, pemerintah menaikkan alokasi dana otsus untuk dua provinsi itu menjadi Rp7,77 triliun (sebelumnya Rp7 triliun. Dana itu dibagi 70 persen atau Rp5,44 triliun untuk Papua dan 30 persen atau Rp2,33 trliun untuk Papua Barat.
Pemerintah juga memberikan dana tambahan infrastruktur untuk dua provinsi itu Rp3,38 triliun.
Jumalh itu dibagi masing-masing untuk Provinsi Papua Rp2!26 triliun dan Provinsi Papua Barat Rp1,11 triliun.
Sebagai perbandingan, pada APBNP 2015, dana tambahan infrastruktur untuk Papua sebesar Rp2 triliun dan Papua Barat Rp500 miliar.
Perlu Pengawasan
Anggota Komisi IX DPR Roberth Rouw mengatakan pemerintah pusat perlu mengawasi secara intensif dana otonomi khusus yang disalurkan untuk wilayah Papua dan Papua Barat.
"Penggunaan dana otonomi khusus oleh masing-masing kepala daerah di Papua dapat membuka peluang terjadinya korupsi," kata Roberth Rouw.
Ia menyebutkan dana alokasi khusus yang dikucurkan ke dua provinsi di Papua cukup besar sementara landasan hukum pengelolaannya belum jelas.
"Mekanisme pendistribusian dana serta pertanggungjawabannya juga belum jelas sehingga pengawasan oleh pemerintah pusat harus dilakukan secara intensif," katanya.
Hal itu, lanjut dia, dapat dilihat dari adanya kerancuan dalam pengalokasian dana tersebut kepada masyarakat.
Penggunaan dana hanya dibagi berdasarkan kesepakatan bersama antara provinsi dan daerah-daerah kabupaten/kota.
"Begitupun persoalan pertanggungjawaban oleh masing-masing kepala daerah di Papua dapat membuka peluang terjadinya korupsi," kata Anggota DPR Daerah Pemilihan Provinsi Papua itu.
Ia menyebutkan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua merupakan pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi itu dalam kerangka NKRI.
Kewenangan itu juga berarti tanggung jawab yang lebih besar untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Papua.
Dalam perkembangannya, UU Nomor 21 itu diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2008 sehingga otonomi khusus juga berlaku untuk Provinsi Papua Barat.
Dalam hal keuangan, berdasar UU Nomor 35 Tahun 2008 maka penerimaan Provinsi Papua dan Papua Barat dalam rangka otsus mencakup penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otsus yang besarnya setara dengan dua persen dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional.
Dana itu terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan dan tambahan dalam rangka pelaksanaan otsus yang besarnya ditetapkan antara pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Roberth Rouw yang juga Wakil Ketua Tim Pemantau DPR terhadap pelaksanaan UU Nomor 21 tentang Otsus Bagi Provinsi Papua menyebutkan dalam APBNP 2015 alokasi dana otsus mencapai Rp17,12 triliun.
Dana itu terdiri dari dana Otsus Papua dan Papua Barat Rp7,06 triliun berikut dana tambahan infrastruktur otsus sebesar Rp3 triliun serta dana otsus Aceh Rp7,06 triliun dan dana keistimewaan DI Yogyakarta Rp547,45 miliar.
Dana otsus Papua dan Papua Barat sebesar Rpz,06 triliun itu disepakati untuk dibagi masing-masing 70 persen (Rp4,94 triliun) untuk Papua dan 30 persen (Rp2,12 triliun) untuk Papua Barat.
Dana tambahan infrastruktur sebesar Rp3 triliun terbagi atas dana tambahan infrastruktur infrastruktur sebesar Rp2,25 triliun untuk Papua dan Rp750 miiar untuk Papua Barat.[Antara]