Aprilla Wayar Gambarkan Realitas Perempuan Papua yang Tertindas Lewat Novel
pada tanggal
Monday, 3 August 2015
KOTA JAYAPURA - “Saya senang dibilang gila. Gila dalam tulisan saya.” Demikian dikatakan penulis novel ‘Cinta Putih di Bumi Papua’, Dzikry el Han mengawali bedah buku yang digelar di balai bahasa provinsi Papua, Sabtu pekan lalu.
Bedah buku yang digelar sekolah menulis Papua menghadirkan dua novelis perempuan dengan karyanya masing-masing. Aprilla R.A. Wayar dengan karyanya ’Dua Perempuan’ dan Dzikry el Han dengan karyanya ‘Cinta Putih di Bumi Papua’.
Dzirkry mengulas realitas sosial satu api tiga tungku dengan latar cerita di Patipi, Fakfak, Papua Barat. Dengan menghadirkan tokoh utama Atar, si pemuda muslim yang menghadapi gejolak, Dzikry akhirnya menggambarkan cinta dan kedamaian. “Saya menulis apa yang saya lihat, rasakan,” kata Dzikry.
Lain halnya dengan Aprilla. Emil, sapaan dia, menggambarkan realitas ketertindasan perempuan Papua. Kekerasan, sejarah kelam dan pengalaman traumatis atas budaya patriarkhi digambarkan begitu mendetail dengan gaya bertutur khas jurnalisme. Namun demikian, cinta tokoh Yarid dengan Altariagna digambarkan secara apik ala anak muda zamannya.
“Apapun yang saya pikir dan alami tentang Papua, semua ada dalam karya saya.Dua novel saya temanya sama,” kata penulis novel Mawar Hitam Tanpa Akar dan Dua Perempuan ini. Ade Yamin, antropolog dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Al Fatah Jayapura memberi apresiasi atas karya Emil dan Dzirkry.
Yamin menyebutkan, budaya patriarkhi susah dicabut dari realitas tentang Papua. Setidaknya tiga hal yang menarik dalam novel Dua Perempuan dan Cinta Putih di Bumi Papua menurut Yamin. Kedua novel itu menampilkan kecerdasan lokal tentang Papua. Selain itu, dua novel dengan latar Papua itu mampu memindahkan realitas empiris yang penuh darah dan duka ke dalam karyanya dan mampu membuat pembaca digiring ke dalam kehidupan sehari-hari. Yamin menyinggung soal tiga kekuatan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, seperti tradisi, pemerintah dan pasar.
“Namun patriarkhi tunduk pada kemanusiaan,” katanya.
Thaha Al hamid, tokoh agama Papua menilai, novel dua perempuan mengangkat tema yang aktual. Sebenarnya banyak fenomena yang dapat ditulis mengenai Papua. Kegairahan menulis memang harus mulai dibangkitkan mulai tingkat sekolah. Karena sering kali ada suara yang tidak terdengar sehingga harus dimunculkan melalui tulisan.
Pihaknya mengapresiasi dan menyambut gagasan sebagaimana yang ditelurkan oleh Sekolah Menulis Papua, apalagi dapat bekerja sama dengan Balai Bahasa, karena ke depannya komunitas kepenulisan sangat menjanjikan. Ia berharap bahwa suatu saat nanti segala sesuatu rahasia yang disembunyikan di tanah Papua dapat ditulis sehingga terungkap.
Asma Buasape, Peneliti Bahasa dari balai bahasa Provinsi Papua memuji idiosinkresi (ciri khas penulis: read), yang dimiliki kedua novelis perempuan itu.
Kedua Novel ini sama-sama menggambarkan cinta dalam cerita yang diperankan tokohnya dalam alur yang rapi. Cinta memang universal. Namun lebih dari itu, Konfusius (551-479 SM), filsuf Tionghoa, dalam literaturnya yang diterjemahkan Adam Sia, 2002, menyebutkan kasih dan kebencian.“Hanya orang bijaklah yang membedakan kasih dan kebencian.”
Emil dan Dzikry mengekspresikan ‘kegilaan’ idenya bahwa konflik, gejolak dan berbagai masalah berakhir dengan cinta dan kedamaian.
Thaha Al Hamid pun memuji keberanian dua novelis perempuan ini dalam mengekspresikan kegilaan itu. Menurut Thaha, sejauh itu dituangkan dalam hal-hal yang positif dan menginspirasi banyak orang, tak perlu ditakuti.
Hal senada dikatakan novelis pertama Papua, Igir Al Qatiri. Ia merasa bangga dan memberi apresiasi atas bertambahnya deretan novelis dan penulis Papua dalam dunia sastra tulisan.
“Saya bangga. Setidaknya menambah referensi tentang (kebudayaan) Papua,” kata penulis novel ‘Retak-Retak Cinta’, terbitan 2003 itu.[SuluhPapua]
Bedah buku yang digelar sekolah menulis Papua menghadirkan dua novelis perempuan dengan karyanya masing-masing. Aprilla R.A. Wayar dengan karyanya ’Dua Perempuan’ dan Dzikry el Han dengan karyanya ‘Cinta Putih di Bumi Papua’.
Dzirkry mengulas realitas sosial satu api tiga tungku dengan latar cerita di Patipi, Fakfak, Papua Barat. Dengan menghadirkan tokoh utama Atar, si pemuda muslim yang menghadapi gejolak, Dzikry akhirnya menggambarkan cinta dan kedamaian. “Saya menulis apa yang saya lihat, rasakan,” kata Dzikry.
Lain halnya dengan Aprilla. Emil, sapaan dia, menggambarkan realitas ketertindasan perempuan Papua. Kekerasan, sejarah kelam dan pengalaman traumatis atas budaya patriarkhi digambarkan begitu mendetail dengan gaya bertutur khas jurnalisme. Namun demikian, cinta tokoh Yarid dengan Altariagna digambarkan secara apik ala anak muda zamannya.
“Apapun yang saya pikir dan alami tentang Papua, semua ada dalam karya saya.Dua novel saya temanya sama,” kata penulis novel Mawar Hitam Tanpa Akar dan Dua Perempuan ini. Ade Yamin, antropolog dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Al Fatah Jayapura memberi apresiasi atas karya Emil dan Dzirkry.
Yamin menyebutkan, budaya patriarkhi susah dicabut dari realitas tentang Papua. Setidaknya tiga hal yang menarik dalam novel Dua Perempuan dan Cinta Putih di Bumi Papua menurut Yamin. Kedua novel itu menampilkan kecerdasan lokal tentang Papua. Selain itu, dua novel dengan latar Papua itu mampu memindahkan realitas empiris yang penuh darah dan duka ke dalam karyanya dan mampu membuat pembaca digiring ke dalam kehidupan sehari-hari. Yamin menyinggung soal tiga kekuatan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, seperti tradisi, pemerintah dan pasar.
“Namun patriarkhi tunduk pada kemanusiaan,” katanya.
Thaha Al hamid, tokoh agama Papua menilai, novel dua perempuan mengangkat tema yang aktual. Sebenarnya banyak fenomena yang dapat ditulis mengenai Papua. Kegairahan menulis memang harus mulai dibangkitkan mulai tingkat sekolah. Karena sering kali ada suara yang tidak terdengar sehingga harus dimunculkan melalui tulisan.
Pihaknya mengapresiasi dan menyambut gagasan sebagaimana yang ditelurkan oleh Sekolah Menulis Papua, apalagi dapat bekerja sama dengan Balai Bahasa, karena ke depannya komunitas kepenulisan sangat menjanjikan. Ia berharap bahwa suatu saat nanti segala sesuatu rahasia yang disembunyikan di tanah Papua dapat ditulis sehingga terungkap.
Asma Buasape, Peneliti Bahasa dari balai bahasa Provinsi Papua memuji idiosinkresi (ciri khas penulis: read), yang dimiliki kedua novelis perempuan itu.
Kedua Novel ini sama-sama menggambarkan cinta dalam cerita yang diperankan tokohnya dalam alur yang rapi. Cinta memang universal. Namun lebih dari itu, Konfusius (551-479 SM), filsuf Tionghoa, dalam literaturnya yang diterjemahkan Adam Sia, 2002, menyebutkan kasih dan kebencian.“Hanya orang bijaklah yang membedakan kasih dan kebencian.”
Emil dan Dzikry mengekspresikan ‘kegilaan’ idenya bahwa konflik, gejolak dan berbagai masalah berakhir dengan cinta dan kedamaian.
Thaha Al Hamid pun memuji keberanian dua novelis perempuan ini dalam mengekspresikan kegilaan itu. Menurut Thaha, sejauh itu dituangkan dalam hal-hal yang positif dan menginspirasi banyak orang, tak perlu ditakuti.
Hal senada dikatakan novelis pertama Papua, Igir Al Qatiri. Ia merasa bangga dan memberi apresiasi atas bertambahnya deretan novelis dan penulis Papua dalam dunia sastra tulisan.
“Saya bangga. Setidaknya menambah referensi tentang (kebudayaan) Papua,” kata penulis novel ‘Retak-Retak Cinta’, terbitan 2003 itu.[SuluhPapua]