Zely Ariane Tuding Presiden Joko Widodo Tidak Mampu Kendalikan Keamanan di Papua
pada tanggal
Monday, 6 July 2015
YOGYAKARTA - Inisiator gerakan #PapuaItuKita dan koordinator National Papua Solidarity (NAPAS), Zely Ariane mengatakan, sejak Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia, kekerasan di Papua terus meningkat.
Penembakan yang terjadi di Ugapuga, Kabupaten Dogiyai kata Zelly adalah satu indikator adanya rangkaian teror. Sulit melihatnya sebagai kejadian terpisah. Sejak Desember, sesaat setelah Jokowi naik, teror kekerasan di Papua juga naik angkanya.
“Padahal tidak begitu yang dia (Jokowi) janjikan. Saya hanya bisa melihat kejadian ini dari kacamata Jakarta, karena kawan-kawan yang pekerja HAM di sana yang lebih tahu. Butuh penyelidikan bertanggungjawab, siapa dalang di balik teror-teror ini dan apa motivasinya,” jelasnya belum lama ini dari Jakarta.
Zelly berpendapat, pernyataan para petinggi aparat keamanan di Jakarta maupun di Papua berkontradiksi satu sama lain. Danjen Kopasus bicara lain, pendekatan di lapangan lain. Ini menunjukkan tidak ada kontrol atas situasi keamanan di Papua.
“Ketika Jokowi mengatakan kekerasan tidak boleh lagi ada, dia tidak tampak memiliki kebijakan kontrol atas tindak tanduk aparatnya. Karena kita semua mengerti TNI-Polri justru pelaku kekerasan paling banyak di Papua,” tegasnya.
Zely menyebutkan, sepertinya ada kecenderungan menyasar anak-anak muda Papua belakangan ini. Seperti rangkaian penangkapan terakhir di bulan Mei, mayoritas penangkapan terjadi pada anak muda dan mahasiswa. Apakah karena belakangan ini anak-anak muda Papua semakin berani melakukan protes? Ini penting untuk dijadikan untuk dipikirkan, karena pemuda adalah harapan masa depan.
“Kasus penembakan terhadap empat siswa di Paniai dan kasus terbaru yaitu penembakan terhadap delapan pemuda dan satunya meninggal akibat timah panas. Yang punya senjata di papua adalah aparat. Jadi aktornya kemungkinan besar adalah aparat,” jelasnya.
Dikatakan pula, dari kronologi yang dijelaskan Dewan Adat Papua (DAP) wilayah Paniai yang dilansir di tabloidubi.com tampak sekali kesan teror ini memang dilakukan. Apapun tindakan anak-anak remaja itu, apalagi mereka tidak bersenjata dan tidak melukai siapa-siapa, sangat tidak masuk akal jika sekelompok orang yang diduga adalah aparat keamanan datang dan menembak membabi buta.
“Apalagi mereka anak-anak. Penanganan terhadap tawuran di Jakarta yang sering membawa senjata saja aparat tidak bisa menembak sewenang-wenang begitu. Dari selongsong peluru dan saksi pihak yang terlibat sudah jelas bukan órang-orang tak dikenal tetapi aparat bersenjata berbaju sipil,” ujarnya.
Menurutnya, istilah OTK ini khususnya ketika berita sampai di Jakarta selalu berhasil menciptakan kesan bahwa ada gerombolan entah siapa di Papua sana yang suka tembak-tembak sembarang.
“Ini kan aneh sekali? Lah yang mendominasi penggunaan senjata adalah aparat keamanan kok. Jadi ini terjadi karena Jokowi tidak mampu membuat satu kebijakan kontrol untuk bawahannya. Sehingga kekerasan terus meningkat,” tegasnya.
Adriana Elisabeth, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai kekerasan-kekerasan di Papua bisa dilihat sebagai pukulan buat pendekatan baru Jokowi dalam menangani Papua.
“Langkah Jokowi membuka Papua itu cukup ekstrim, terkait stigma Papua sebagai daerah konflik,” kata Adriana Elisabeth, pekan lalu kepada Jubi di Jakarta.
Menurut Adriana, pendekatan ini pasti mendapat tentangan atau gangguan. Indikatornya jelas, ketika pemerintah mau membuka Papua, muncul peristiwa-peristiwa seperti itu. Dia menambahkan menghentikan kekerasan di Papua, yang berkaitan dengan konflik Papua – Jakarta sangat sulit karena saat ini ketidakpercayaan orang Papua kepada Jakarta semakin meningkat. Demikian juga sebaliknya.
“Pemerintah Jokowi sesungguhnya menunjukkan harapan baru. Mereka memiliki strategi yang lebih manusiawi dan tak lagi opresif terkait Papua. Namun bisa jadi ditafsirkan secara berbeda oleh bawahannya. Butuh waktu, agar kebijakan baru itu diterjemahkan dengan tepat oleh pelaksana di lapangan,” ujar Adriana. [Jubi]
Penembakan yang terjadi di Ugapuga, Kabupaten Dogiyai kata Zelly adalah satu indikator adanya rangkaian teror. Sulit melihatnya sebagai kejadian terpisah. Sejak Desember, sesaat setelah Jokowi naik, teror kekerasan di Papua juga naik angkanya.
“Padahal tidak begitu yang dia (Jokowi) janjikan. Saya hanya bisa melihat kejadian ini dari kacamata Jakarta, karena kawan-kawan yang pekerja HAM di sana yang lebih tahu. Butuh penyelidikan bertanggungjawab, siapa dalang di balik teror-teror ini dan apa motivasinya,” jelasnya belum lama ini dari Jakarta.
Zelly berpendapat, pernyataan para petinggi aparat keamanan di Jakarta maupun di Papua berkontradiksi satu sama lain. Danjen Kopasus bicara lain, pendekatan di lapangan lain. Ini menunjukkan tidak ada kontrol atas situasi keamanan di Papua.
“Ketika Jokowi mengatakan kekerasan tidak boleh lagi ada, dia tidak tampak memiliki kebijakan kontrol atas tindak tanduk aparatnya. Karena kita semua mengerti TNI-Polri justru pelaku kekerasan paling banyak di Papua,” tegasnya.
Zely menyebutkan, sepertinya ada kecenderungan menyasar anak-anak muda Papua belakangan ini. Seperti rangkaian penangkapan terakhir di bulan Mei, mayoritas penangkapan terjadi pada anak muda dan mahasiswa. Apakah karena belakangan ini anak-anak muda Papua semakin berani melakukan protes? Ini penting untuk dijadikan untuk dipikirkan, karena pemuda adalah harapan masa depan.
“Kasus penembakan terhadap empat siswa di Paniai dan kasus terbaru yaitu penembakan terhadap delapan pemuda dan satunya meninggal akibat timah panas. Yang punya senjata di papua adalah aparat. Jadi aktornya kemungkinan besar adalah aparat,” jelasnya.
Dikatakan pula, dari kronologi yang dijelaskan Dewan Adat Papua (DAP) wilayah Paniai yang dilansir di tabloidubi.com tampak sekali kesan teror ini memang dilakukan. Apapun tindakan anak-anak remaja itu, apalagi mereka tidak bersenjata dan tidak melukai siapa-siapa, sangat tidak masuk akal jika sekelompok orang yang diduga adalah aparat keamanan datang dan menembak membabi buta.
“Apalagi mereka anak-anak. Penanganan terhadap tawuran di Jakarta yang sering membawa senjata saja aparat tidak bisa menembak sewenang-wenang begitu. Dari selongsong peluru dan saksi pihak yang terlibat sudah jelas bukan órang-orang tak dikenal tetapi aparat bersenjata berbaju sipil,” ujarnya.
Menurutnya, istilah OTK ini khususnya ketika berita sampai di Jakarta selalu berhasil menciptakan kesan bahwa ada gerombolan entah siapa di Papua sana yang suka tembak-tembak sembarang.
“Ini kan aneh sekali? Lah yang mendominasi penggunaan senjata adalah aparat keamanan kok. Jadi ini terjadi karena Jokowi tidak mampu membuat satu kebijakan kontrol untuk bawahannya. Sehingga kekerasan terus meningkat,” tegasnya.
Adriana Elisabeth, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai kekerasan-kekerasan di Papua bisa dilihat sebagai pukulan buat pendekatan baru Jokowi dalam menangani Papua.
“Langkah Jokowi membuka Papua itu cukup ekstrim, terkait stigma Papua sebagai daerah konflik,” kata Adriana Elisabeth, pekan lalu kepada Jubi di Jakarta.
Menurut Adriana, pendekatan ini pasti mendapat tentangan atau gangguan. Indikatornya jelas, ketika pemerintah mau membuka Papua, muncul peristiwa-peristiwa seperti itu. Dia menambahkan menghentikan kekerasan di Papua, yang berkaitan dengan konflik Papua – Jakarta sangat sulit karena saat ini ketidakpercayaan orang Papua kepada Jakarta semakin meningkat. Demikian juga sebaliknya.
“Pemerintah Jokowi sesungguhnya menunjukkan harapan baru. Mereka memiliki strategi yang lebih manusiawi dan tak lagi opresif terkait Papua. Namun bisa jadi ditafsirkan secara berbeda oleh bawahannya. Butuh waktu, agar kebijakan baru itu diterjemahkan dengan tepat oleh pelaksana di lapangan,” ujar Adriana. [Jubi]