Yohana Yembise Kunjungan ke Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kota Jayapura
pada tanggal
Thursday, 9 July 2015
KOTA JAYAPURA - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Prof. Yohana Yembise, Rabu (8/7) melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Pemerintah kota Jayapura dalam hal ini Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB).
Kepada wartawan, Menteri mengungkapkan dirinya sangat fokus dengan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang sudah dibentuk di seluruh Indonesia walaupun diakuinya, ada juga kabupaten/kota yang belum membentuk pusat pelayanan terpadu tersebut.
“Kementerian sangat fokus dan perhatian penuh pada P2TP2A karena di tahun 2015 ini, Dana
Dekonsentrasi senilai Rp 1 milyar diberikan ke setiap Provinsi baik Papua maupun Papua Barat,” ungkapnya.
Kunjungan Menteri ke kota Jayapura setelah sehari sebelumnya melakukan kunker ke Biak untuk melihat kondisi P2TP2A sekaligus mengecek data kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masuk.
“Saya juga mendatangi sejumlah Polres untuk melihat angka kekerasan apa yang tinggi dan ternyata kasus kekerasan seksual, pencabulan terhadap anak di bawah umur yang saat ini marak terjadi di Papua. Tentunya hal ini akan menjadi perhatian kami untuk bagaimana menurunkan angka kekerasan dalam rumah tangga agar tidak muncul lagi kasus baru,” urainya.
Ditambahkan, kasus pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur kebanyakan terjadi dalam rumah keluarga, seperti paman terhadap anak, orang tua terhadap anak kandung dan keluarga dekat terhadap orang dekat serumah sehingga kondisi ini menjadi satu keseriusan yang harus segera disikapi.
“Sebagai perempuan Papua saya sangat kaget hal tersebut bisa terjadi di tanah Papua selain di Indonesia bagian barat. Dan memang kondisi ini sudah sangat kritis untuk Kementrian memikirkan hal tersebut,” tambahnya.
Profesor wanita pertama asal Papua ini juga mengingatkan seluruh masyarakat di tanah Papua bahwa tanah ini adalah tanah yang di berkati Tuhan dan orang Papua sangat menghargai Misionaris yang telah datang memberkati tanah ini sejak 1885.
“Makanya kita harus sadar untuk bisa menurunkan angka kekerasan terhadap anak dan perempuan,” imbuhnya.
Pihak Gereja juga diminta untuk bekerja sama dalam menanggulangi kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan karena masyarakat lebih mendengar pihak gereja dari pada Pemerintah.
"Untuk Papua penyelesaian kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan kebanyakan diselesaikan secara adat, sementara sangat kecil peluang diselesaikan melalui ranah hukum,” sambung Menteri yang pada kempatan tersebut, menyempatkan diri mengujungi ruang kerja Kepala BPPKB Kota di lingkup kantor Walikota Jayapura.
“Pandangan ini harus dirubah, karena ada undang-undang yang lebih tinggi dari pada adat seperti Undang-undang perlindungan anak, kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan manusia, pornografi. Kementrian telah menyediakan UU dan tinggal menegakan saja,” sambungnya sembari menambahkan jangan sampai adat yang mendominasi karena kalau adat yang mendominasi, kapan persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak bisa terjawab atau terungkap. [Dharapos]
Kepada wartawan, Menteri mengungkapkan dirinya sangat fokus dengan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang sudah dibentuk di seluruh Indonesia walaupun diakuinya, ada juga kabupaten/kota yang belum membentuk pusat pelayanan terpadu tersebut.
“Kementerian sangat fokus dan perhatian penuh pada P2TP2A karena di tahun 2015 ini, Dana
Dekonsentrasi senilai Rp 1 milyar diberikan ke setiap Provinsi baik Papua maupun Papua Barat,” ungkapnya.
Kunjungan Menteri ke kota Jayapura setelah sehari sebelumnya melakukan kunker ke Biak untuk melihat kondisi P2TP2A sekaligus mengecek data kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masuk.
“Saya juga mendatangi sejumlah Polres untuk melihat angka kekerasan apa yang tinggi dan ternyata kasus kekerasan seksual, pencabulan terhadap anak di bawah umur yang saat ini marak terjadi di Papua. Tentunya hal ini akan menjadi perhatian kami untuk bagaimana menurunkan angka kekerasan dalam rumah tangga agar tidak muncul lagi kasus baru,” urainya.
Ditambahkan, kasus pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur kebanyakan terjadi dalam rumah keluarga, seperti paman terhadap anak, orang tua terhadap anak kandung dan keluarga dekat terhadap orang dekat serumah sehingga kondisi ini menjadi satu keseriusan yang harus segera disikapi.
“Sebagai perempuan Papua saya sangat kaget hal tersebut bisa terjadi di tanah Papua selain di Indonesia bagian barat. Dan memang kondisi ini sudah sangat kritis untuk Kementrian memikirkan hal tersebut,” tambahnya.
Profesor wanita pertama asal Papua ini juga mengingatkan seluruh masyarakat di tanah Papua bahwa tanah ini adalah tanah yang di berkati Tuhan dan orang Papua sangat menghargai Misionaris yang telah datang memberkati tanah ini sejak 1885.
“Makanya kita harus sadar untuk bisa menurunkan angka kekerasan terhadap anak dan perempuan,” imbuhnya.
Pihak Gereja juga diminta untuk bekerja sama dalam menanggulangi kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan karena masyarakat lebih mendengar pihak gereja dari pada Pemerintah.
"Untuk Papua penyelesaian kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan kebanyakan diselesaikan secara adat, sementara sangat kecil peluang diselesaikan melalui ranah hukum,” sambung Menteri yang pada kempatan tersebut, menyempatkan diri mengujungi ruang kerja Kepala BPPKB Kota di lingkup kantor Walikota Jayapura.
“Pandangan ini harus dirubah, karena ada undang-undang yang lebih tinggi dari pada adat seperti Undang-undang perlindungan anak, kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan manusia, pornografi. Kementrian telah menyediakan UU dan tinggal menegakan saja,” sambungnya sembari menambahkan jangan sampai adat yang mendominasi karena kalau adat yang mendominasi, kapan persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak bisa terjawab atau terungkap. [Dharapos]