Terkait Terbakarnya Mushola di Karubaga, Tim Advokasi Muslim Laporkan Nayus Wenda dan Marthen Jingga
pada tanggal
Wednesday, 22 July 2015
JAKARTA - Tim Advokasi Muslim melaporkan Pendeta Nayus Wenda dan Pendeta Marthen Jingga ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Mereka dilaporkan atas adanya pelarangan pelaksanaan ibadah di Karubaga, Kabupaten Tolikara, berdasarkan surat edaran Gereja Injili di Indonesia (GIDI).
Wakil Ketua Tim Advokasi Muslim Rizal Fadillah menilai surat itu menjadi pemicu pembakaran tempat ibadah umat muslim di Tolikara saat pelaksanaan salat Id.
"Kami meminta polisi menangkap dua orang tersebut karena mereka menandatangani dan mengeluarkan surat. Mereka Ketua dan Sekretaris Badan Pekerja GIDI Wilayah Tolikara," kata Rizal ketika dihubungi, Senin, (20/7).
Karena itu, menurut Rizal, Tim Advokasi Muslim, yang dibuat untuk menangani kasus di Tolikara, melaporkan dua pendeta itu dengan menggunakan Pasal 175 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
"Polisi harus bertindak, jangan terkesan mendiamkan kasus ini," katanya.
Sementara itu, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan dua orang yang menandatangani surat ini telah dimintai klarifikasi atas surat yang telah beredar luas tersebut. Mereka adalah Ketua Badan Pekerja GIDI Wilayah Tolikara Pendeta Nayus Wenda dan Sekretaris Badan Pekerja GIDI Wilayah Tolikara Marthen Jingga.
Dalam kunjungannya ke Karubaga pada Minggu (19/7), Badrodin mendapat informasi bahwa keduanya memang menandatangani surat itu. Tapi pada 15 Juli 2015, Kepala Kepolisian Resor dan Bupati Tolikara serta panitia Seminar dan KKR Pemuda GIDI melakukan pertemuan. Pada 15 Juli 2015 itu, surat itu diralat, hanya belum sempat diumumkan.
"Saya melihat ada miskomunikasi dan pesan yang terputus di sini. Surat yang diralat itu belum sempat tersosialisasi dan belum disampaikan secara tertulis. Namun keduanya tetap kami periksa,” kata Badrodin.
Seperti diketahui bersama kericuhan di Karubaga sendiri terjadi akibat kesalahpahaman antara umat muslim yang akan melaksanakan Salat Idul Fitri 1436 dilapangan Makoramil Karubaga dengan pemuda Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang sedang mengadakan seminar dan KKR selama seminggu.
Para pemuda menuntut agar kebijakan bersama umat beragama ditempat itu untuk tidak beribadah dengan menggunakan toa dapat dilaksanakan. Namun, penolakan untuk menaati kesepakatan oleh pihak muslim itu berujung pada hadangan aparat keamanan sehingga 9 orang pemuda GIDI tertembak. 1 diantaranya meninggal dunia.
Kecewa dengan sikap aparat yang represif, warga kemudian membakar puluhan kios dan perumahan milik warga pendatang baik Islam maupun Kristen di wilayah pasar Karubaga, api yang tidak dipadamkan oleh aparat itu meluber hingga ke mushola tak berijin yang dibangun para pedagang. [Tempo/Papuanesia]
Wakil Ketua Tim Advokasi Muslim Rizal Fadillah menilai surat itu menjadi pemicu pembakaran tempat ibadah umat muslim di Tolikara saat pelaksanaan salat Id.
"Kami meminta polisi menangkap dua orang tersebut karena mereka menandatangani dan mengeluarkan surat. Mereka Ketua dan Sekretaris Badan Pekerja GIDI Wilayah Tolikara," kata Rizal ketika dihubungi, Senin, (20/7).
Karena itu, menurut Rizal, Tim Advokasi Muslim, yang dibuat untuk menangani kasus di Tolikara, melaporkan dua pendeta itu dengan menggunakan Pasal 175 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
"Polisi harus bertindak, jangan terkesan mendiamkan kasus ini," katanya.
Sementara itu, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan dua orang yang menandatangani surat ini telah dimintai klarifikasi atas surat yang telah beredar luas tersebut. Mereka adalah Ketua Badan Pekerja GIDI Wilayah Tolikara Pendeta Nayus Wenda dan Sekretaris Badan Pekerja GIDI Wilayah Tolikara Marthen Jingga.
Dalam kunjungannya ke Karubaga pada Minggu (19/7), Badrodin mendapat informasi bahwa keduanya memang menandatangani surat itu. Tapi pada 15 Juli 2015, Kepala Kepolisian Resor dan Bupati Tolikara serta panitia Seminar dan KKR Pemuda GIDI melakukan pertemuan. Pada 15 Juli 2015 itu, surat itu diralat, hanya belum sempat diumumkan.
"Saya melihat ada miskomunikasi dan pesan yang terputus di sini. Surat yang diralat itu belum sempat tersosialisasi dan belum disampaikan secara tertulis. Namun keduanya tetap kami periksa,” kata Badrodin.
Seperti diketahui bersama kericuhan di Karubaga sendiri terjadi akibat kesalahpahaman antara umat muslim yang akan melaksanakan Salat Idul Fitri 1436 dilapangan Makoramil Karubaga dengan pemuda Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang sedang mengadakan seminar dan KKR selama seminggu.
Para pemuda menuntut agar kebijakan bersama umat beragama ditempat itu untuk tidak beribadah dengan menggunakan toa dapat dilaksanakan. Namun, penolakan untuk menaati kesepakatan oleh pihak muslim itu berujung pada hadangan aparat keamanan sehingga 9 orang pemuda GIDI tertembak. 1 diantaranya meninggal dunia.
Kecewa dengan sikap aparat yang represif, warga kemudian membakar puluhan kios dan perumahan milik warga pendatang baik Islam maupun Kristen di wilayah pasar Karubaga, api yang tidak dipadamkan oleh aparat itu meluber hingga ke mushola tak berijin yang dibangun para pedagang. [Tempo/Papuanesia]