Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tidak Pernah Keluarkan Larangan Ibadah kepada Umat Muslim
pada tanggal
Tuesday, 21 July 2015
KOTA JAYAPURA - Presiden Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pendeta Dorman Wandikbo menegaskan bahwa badan pengurus pusat tidak pernah mengeluarkan surat edaran yang mengandung unsur larangan ibadah bagi umat muslim maupun penggunaan jilbab di Tolikara.
Pdt. Wandikbo, Minggu (19/7) kepada tabloidjubi.com mengatakan, pihaknya tidak pernah melarang umat muslim beribadah maupun menggunakan jilbab di wilayah Tolikara, seperti termuat dalam surat edaran nomor 90/SP/GIDI-WT/VII/2015, yang dikeluarkan di Karubaga tertanggal 11 Juli 2015.
Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua Wilayah Toli, Pdt. Nayus Wenda dan Sekretaris, Pdt. Marthen Jingga, dengan logo GIDI, serta ditembuskan kepada Bupati Tolikara, Ketua DPRD Tolikara, Polres Tolikara, Dandramil Tolikara dan arsip.
“(Surat) itu betul sekali, tapi tanpa konfirmasi dengan saya selaku Presiden GIDI, tanpa konfirmasi ke Bupati Tolikara sebagai ketua panitia juga sebagai penanggunjawab. Setelah kasih keluar surat itu tanggal 11 Juli, lalu tanggal 12 atau 13 Kapolres telpon Pak bupati dan saya. Lewat telepon seluler, saya sampaikan kepada Kapolres : ‘Saya minta maaf atas surat itu. Itu tidak boleh keluar, itu hari besar orang muslim jadi harus lakukan ibadah. Dan kemudian kalau bisa lakukan seperti biasa dan lakukan di dalam mushola. Dan tidak pakai toa karena sudah ada perda di Tolikara. Baru Pak Bupati juga sampaikan minta maaf kepada masyarakat di wilayah itu dan sebagai tanda solidaritas, bupati beli satu ekor sapi dan kami bersama-sama serahkan kepada mereka untuk dipotong, jelang hari raya idul Fitri,” terang Pendeta Wanimbo.
Pak Bupati, lanjut Pendeta Wanimbo, sampaikan juga kepada Kapolres, kalau bisa ibadah dilakukan dalam mushola Sebabjika dilakukan di luar ad banyak mahasiswa, hampir 3000 orang. Mereka sedang berkegiatan seminar dan KKR.
“Sehingga kalau diluar suasananya bisa panas,” ujarnya.
Pendeta Wanimbo melanjutkan, kemudian, tanggal 17 pagi itu, kaum muslim ibadah dengan pasang toa dan lakukan ibadah di luar. Karena ibadah diluar dan pasang toa, mahasiswa sekitar 15 orang mendatangi mushola. mereka pergi dengan sangat sopan, mengatakan untuk ibadah di dalam ruangan, karena jarak dari tempat ibadah itu ke tempat kegiatan hanya 300 meter. Akan ada kesan kurang bagus.
“Tapi, saudara muslim marah-marah dan ada yang bawa senjata dan keluarkan tembakan. Akhirnya semua lari. Beberapa, saat itu kena tembak. Akhirnya banyak orang mulai datang, termasuk saya dan beberapa tamu undangan. Tapi kami mundur karena takut kena peluru nyasar,” ungkapnya.
Saat itu, masih lanjut Pendeta Wanimbo, massa berhamburan dan menjadi marah, karena lihat ada yang tertembak. Emosi mereka terpancing dan mereka bakar kios, bukan mushola. Mushola itu ada di bagian dalam, tengah, tapi karena kios itu dari kayu, jadi merembet ke rumah-rumah penduduk dan ke musola yang ada dibagian belakang.
Ia mengatakan, terciptanya insiden yang menewaskan satu remaja, 11 luka tembak dan kerugian materi akibat pembakaran rumah dan kios, memberikan kesan buruk aparat keamanan yang kecolongan dan tidak mampu menjaga keamanan sebagaimana menjadi tugas utamanya dan telah menyanggupi hal tersebut.
“Kami sangat menyayangkan lambannya sosialisasi yang dilakukan aparat keamanan kepada warga muslim, sehingga terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Apalagi toleransi umat beragama sejak puluhan tahun lalu di Tolikara, dan secara umum di seluruh tanah Papua sangat baik, dan paling baik di Indonesia.” kata Wanimbo menyesali kelambanan polisi. [Jubi]
Pdt. Wandikbo, Minggu (19/7) kepada tabloidjubi.com mengatakan, pihaknya tidak pernah melarang umat muslim beribadah maupun menggunakan jilbab di wilayah Tolikara, seperti termuat dalam surat edaran nomor 90/SP/GIDI-WT/VII/2015, yang dikeluarkan di Karubaga tertanggal 11 Juli 2015.
Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua Wilayah Toli, Pdt. Nayus Wenda dan Sekretaris, Pdt. Marthen Jingga, dengan logo GIDI, serta ditembuskan kepada Bupati Tolikara, Ketua DPRD Tolikara, Polres Tolikara, Dandramil Tolikara dan arsip.
“(Surat) itu betul sekali, tapi tanpa konfirmasi dengan saya selaku Presiden GIDI, tanpa konfirmasi ke Bupati Tolikara sebagai ketua panitia juga sebagai penanggunjawab. Setelah kasih keluar surat itu tanggal 11 Juli, lalu tanggal 12 atau 13 Kapolres telpon Pak bupati dan saya. Lewat telepon seluler, saya sampaikan kepada Kapolres : ‘Saya minta maaf atas surat itu. Itu tidak boleh keluar, itu hari besar orang muslim jadi harus lakukan ibadah. Dan kemudian kalau bisa lakukan seperti biasa dan lakukan di dalam mushola. Dan tidak pakai toa karena sudah ada perda di Tolikara. Baru Pak Bupati juga sampaikan minta maaf kepada masyarakat di wilayah itu dan sebagai tanda solidaritas, bupati beli satu ekor sapi dan kami bersama-sama serahkan kepada mereka untuk dipotong, jelang hari raya idul Fitri,” terang Pendeta Wanimbo.
Pak Bupati, lanjut Pendeta Wanimbo, sampaikan juga kepada Kapolres, kalau bisa ibadah dilakukan dalam mushola Sebabjika dilakukan di luar ad banyak mahasiswa, hampir 3000 orang. Mereka sedang berkegiatan seminar dan KKR.
“Sehingga kalau diluar suasananya bisa panas,” ujarnya.
Pendeta Wanimbo melanjutkan, kemudian, tanggal 17 pagi itu, kaum muslim ibadah dengan pasang toa dan lakukan ibadah di luar. Karena ibadah diluar dan pasang toa, mahasiswa sekitar 15 orang mendatangi mushola. mereka pergi dengan sangat sopan, mengatakan untuk ibadah di dalam ruangan, karena jarak dari tempat ibadah itu ke tempat kegiatan hanya 300 meter. Akan ada kesan kurang bagus.
“Tapi, saudara muslim marah-marah dan ada yang bawa senjata dan keluarkan tembakan. Akhirnya semua lari. Beberapa, saat itu kena tembak. Akhirnya banyak orang mulai datang, termasuk saya dan beberapa tamu undangan. Tapi kami mundur karena takut kena peluru nyasar,” ungkapnya.
Saat itu, masih lanjut Pendeta Wanimbo, massa berhamburan dan menjadi marah, karena lihat ada yang tertembak. Emosi mereka terpancing dan mereka bakar kios, bukan mushola. Mushola itu ada di bagian dalam, tengah, tapi karena kios itu dari kayu, jadi merembet ke rumah-rumah penduduk dan ke musola yang ada dibagian belakang.
Ia mengatakan, terciptanya insiden yang menewaskan satu remaja, 11 luka tembak dan kerugian materi akibat pembakaran rumah dan kios, memberikan kesan buruk aparat keamanan yang kecolongan dan tidak mampu menjaga keamanan sebagaimana menjadi tugas utamanya dan telah menyanggupi hal tersebut.
“Kami sangat menyayangkan lambannya sosialisasi yang dilakukan aparat keamanan kepada warga muslim, sehingga terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Apalagi toleransi umat beragama sejak puluhan tahun lalu di Tolikara, dan secara umum di seluruh tanah Papua sangat baik, dan paling baik di Indonesia.” kata Wanimbo menyesali kelambanan polisi. [Jubi]