Ribuan Pendulang Kembali ke Kali Kabur
pada tanggal
Saturday, 11 July 2015
TIMIKA (MIMIKA) - Ribuan pendulang kini kembali melakukan aktivitas pendulangan secara tradisional di sepanjang bantaran Kali Kabur yang masuk dalam area PT Freeport Indonesia (PTFI) di Kabupaten Mimika.
Kapolres Mimika AKBP Yustanto Mudjiharso, mengatakan hingga kini sebanyak 5.000-an orang pendulang tradisional memadati bantaran Kali Kabur mulai dari Kampung Banti hingga Camp David sekitar Mil 73, Distrik Tembagapura.
Padahal kawasan itu sebelumnya pernah dikosongkan dari aktivitas pendulangan tradisional beberapa waktu lalu pascakasus penembakan yang menewaskan dua anggota Brimob Satgas Pengamanan PT Freeport.
"Saat ini jumlahnya lebih dari 5.000-an orang tersebar dari Banti hingga Camp David Tembagapura. Itu belum termasuk yang di bawah-bawah. Kalau ditotal, jumlahnya sangat banyak," kata Yustanto di Timika, Jumat (10/7).
Menurut dia, aparat keamanan berada dalam kondisi serba dilematis untuk mengatasi membludaknya pendulang tradisional yang datang dari berbagai wilayah di pedalaman Papua.
Persoalan itu, katanya, seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten di Papua.
"Masalah ini dulu pernah dibahas bersama antara Kapolda, Pangdam bersama Wakil Gubernur Papua, tapi tidak ada solusi," ujarnya.
Ia mengatakan, sepanjang bantaran Kali Kabur, yang merupakan jalur pembuangan pasir sisa tambang (sirsat) dari pabrik pengolahan biji tembaga dan emas di Mil 74 ke wilayah dataran rendah Mimika, seharusnya steril dari aktivitas pendulangan tradisional.
Yustanto menyebut ada beberapa alasan sehingga lokasi itu harus steril dari aktivitas pendulangan tradisional.
"Di sana ada bahaya banjir dan tanah longsor setiap saat dimana selama ini sering memakan korban," tuturnya.
Selain itu, semakin banyak warga non karyawan PT Freeport beraktivitas di wilayah itu maka hal itu juga memicu kerawanan terhadap kelangsungan operasional PT Freeport.
Mengingat di kawasan itu terdapat banyak kios yang menjual bahan makanan, maka kondisi itu bisa dimanfaatkan oleh oknum sipil bersenjata untuk melakukan aksi penembakan.
"Mereka bisa membaur dengan masyarakat yang lain untuk mendulang, lalu mencari kesempatan untuk melakukan aksi penembakan. Malah selama ini mereka memanfaatkan pendulang untuk mendapatkan uang dengan menarik pajak untuk membeli senjata dan amunisi," kata Yustanto yang pernah memimpin Satgas Amole untuk pengamanan PT Freeport.
Dari sisi kesehatan, katanya, kondisi di area pendulangan tradisional itu sama sekali tidak menjamin.
Dia mengatakan, kendala utama dalam mengatasi persoalan pendulangan tradisional di bantaran Kali Kabur selama ini yaitu belum adanya solusi untuk memulangkan mereka ke kampung halamannya.
"Ribuan pendulang ini bisa saja dievakuasi semua ke Timika, tapi mereka mau di tampung di mana, bagaimana dengan makanannya, perumahannya. Kalau ini tidak diperhatikan, bisa menimbulkan konflik. Hal-hal ini yang perlu dipikirkan secara matang oleh pemerintah dan PT Freeport," ujarnya. [Antara]
Kapolres Mimika AKBP Yustanto Mudjiharso, mengatakan hingga kini sebanyak 5.000-an orang pendulang tradisional memadati bantaran Kali Kabur mulai dari Kampung Banti hingga Camp David sekitar Mil 73, Distrik Tembagapura.
Padahal kawasan itu sebelumnya pernah dikosongkan dari aktivitas pendulangan tradisional beberapa waktu lalu pascakasus penembakan yang menewaskan dua anggota Brimob Satgas Pengamanan PT Freeport.
"Saat ini jumlahnya lebih dari 5.000-an orang tersebar dari Banti hingga Camp David Tembagapura. Itu belum termasuk yang di bawah-bawah. Kalau ditotal, jumlahnya sangat banyak," kata Yustanto di Timika, Jumat (10/7).
Menurut dia, aparat keamanan berada dalam kondisi serba dilematis untuk mengatasi membludaknya pendulang tradisional yang datang dari berbagai wilayah di pedalaman Papua.
Persoalan itu, katanya, seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten di Papua.
"Masalah ini dulu pernah dibahas bersama antara Kapolda, Pangdam bersama Wakil Gubernur Papua, tapi tidak ada solusi," ujarnya.
Ia mengatakan, sepanjang bantaran Kali Kabur, yang merupakan jalur pembuangan pasir sisa tambang (sirsat) dari pabrik pengolahan biji tembaga dan emas di Mil 74 ke wilayah dataran rendah Mimika, seharusnya steril dari aktivitas pendulangan tradisional.
Yustanto menyebut ada beberapa alasan sehingga lokasi itu harus steril dari aktivitas pendulangan tradisional.
"Di sana ada bahaya banjir dan tanah longsor setiap saat dimana selama ini sering memakan korban," tuturnya.
Selain itu, semakin banyak warga non karyawan PT Freeport beraktivitas di wilayah itu maka hal itu juga memicu kerawanan terhadap kelangsungan operasional PT Freeport.
Mengingat di kawasan itu terdapat banyak kios yang menjual bahan makanan, maka kondisi itu bisa dimanfaatkan oleh oknum sipil bersenjata untuk melakukan aksi penembakan.
"Mereka bisa membaur dengan masyarakat yang lain untuk mendulang, lalu mencari kesempatan untuk melakukan aksi penembakan. Malah selama ini mereka memanfaatkan pendulang untuk mendapatkan uang dengan menarik pajak untuk membeli senjata dan amunisi," kata Yustanto yang pernah memimpin Satgas Amole untuk pengamanan PT Freeport.
Dari sisi kesehatan, katanya, kondisi di area pendulangan tradisional itu sama sekali tidak menjamin.
Dia mengatakan, kendala utama dalam mengatasi persoalan pendulangan tradisional di bantaran Kali Kabur selama ini yaitu belum adanya solusi untuk memulangkan mereka ke kampung halamannya.
"Ribuan pendulang ini bisa saja dievakuasi semua ke Timika, tapi mereka mau di tampung di mana, bagaimana dengan makanannya, perumahannya. Kalau ini tidak diperhatikan, bisa menimbulkan konflik. Hal-hal ini yang perlu dipikirkan secara matang oleh pemerintah dan PT Freeport," ujarnya. [Antara]