Pusaka Trisakti Klaim Otak Kericuhan di Karubaga Berada di Jakarta
pada tanggal
Monday, 20 July 2015
JAKARTA - Aparat Keamanan serta intelijen diharap untuk lebih waspada dan mendalami kericuhan di Karubaga, Kabupaten Tolikara, yang terjadi bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Sehingga memancing kemarahan komunitas Muslim diluar Papua.
Seperti diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Pusat Kajian (Pusaka) Trisakti, Fahmi Habsyi, baginya kejadian di Papua adalah murni operasi intelejen tingkat tinggi.
Pasalnya, masyarakat Papua sebenarnya sangat santun dan toleran soal beragama dan merasakan kebijakan dan hati Presiden Jokowi yang fokus pada keberpihakan kesejahteraan masyarakat Papua.
Karenanya, dia menilai insiden Tolikara tidak bisa dilihat sebagai kejadian yang berdiri sendiri.
"Rangkaiannya harus dilihat dari beberapa aksi sepihak yang menuntut referendum Papua di Jakarta. Jadi dua minggu lalu saya sudah dapat informasi akan ada ekalasi meningkat di Papua. Tanda-tandanya nampak tapi informasi dan letupan kecil tersebut tidak segera diantisipasi pihak intelejen kita dan aparat keamanan," jelas Fahmi, Sabtu (18/7).
"Untuk melihat situasi di Papua tidak bisa dilihat berdiri sendiri. Harus dilihat dari satu insiden dengan apa yang digerakkan di Jakarta. Karena kepentingan Papua erat dengan kepentingan Jakarta," tambahnya.
Oleh karena itu, Fahmi menilai yang harus dijadikan analisa pertama dalam melihat kejadian di Tolikara adalah, apakah ada pihak-pihak yang terganggu kepentingannya dengan kebijakan Jokowi di Papua saat ini.
"Aparat keamanan dan intelejen harusnya memantau gerak pihak-pihak tersebut. Bukan sibuk mengawasi masyarakat Papua. Karena masyarakat Tolikara sebenarnya sudah masuk perangkap kegiatan intelejen," kata dia.
"Nanti akan terlihat otaknya siapa? Termasuk yang mendanai, memprovokasi dan menggerakkan. Operasi intelejen kan tukang bakarnya tidak terlihat, tapi asap dan baunya terasa," ujarnya lagi.
Dia mengaku, berdasarkan informasi yang masuk ke dirinya, kejadian di Papua melibatkan intelejen asing dan seorang tokoh intelejen berpengaruh di era pemerintahan sebelumnya. Para pelaku yang menjadi otaknya berada di Jakarta.
Karenanya, dia menyarankan Pemerintah Pusat tak perlu membentuk Tim Mediasi atau Tim Dialog karena masalahnya bukan masyarakat Papua, tapi kekuatan lain tak terlihat.
"Ini ada pihak yang mencoba buat penyakit, dan sekaligus menawarkan obatnya dengan kepentingan yang lain untuk dikompromikan. Ini gaya lama. Mudah-mudahan Pak Jokowi mengetahuinya," jelas Fahmi.
"Ini jangan dianggap remeh. Ingat kasus kerusuhan Ambon 1999, awalnya hanya perkelahian pemuda di terminal. Yang di Papua lebih serius dari itu," tandasnya. [BeritaSatu]
Seperti diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Pusat Kajian (Pusaka) Trisakti, Fahmi Habsyi, baginya kejadian di Papua adalah murni operasi intelejen tingkat tinggi.
Pasalnya, masyarakat Papua sebenarnya sangat santun dan toleran soal beragama dan merasakan kebijakan dan hati Presiden Jokowi yang fokus pada keberpihakan kesejahteraan masyarakat Papua.
Karenanya, dia menilai insiden Tolikara tidak bisa dilihat sebagai kejadian yang berdiri sendiri.
"Rangkaiannya harus dilihat dari beberapa aksi sepihak yang menuntut referendum Papua di Jakarta. Jadi dua minggu lalu saya sudah dapat informasi akan ada ekalasi meningkat di Papua. Tanda-tandanya nampak tapi informasi dan letupan kecil tersebut tidak segera diantisipasi pihak intelejen kita dan aparat keamanan," jelas Fahmi, Sabtu (18/7).
"Untuk melihat situasi di Papua tidak bisa dilihat berdiri sendiri. Harus dilihat dari satu insiden dengan apa yang digerakkan di Jakarta. Karena kepentingan Papua erat dengan kepentingan Jakarta," tambahnya.
Oleh karena itu, Fahmi menilai yang harus dijadikan analisa pertama dalam melihat kejadian di Tolikara adalah, apakah ada pihak-pihak yang terganggu kepentingannya dengan kebijakan Jokowi di Papua saat ini.
"Aparat keamanan dan intelejen harusnya memantau gerak pihak-pihak tersebut. Bukan sibuk mengawasi masyarakat Papua. Karena masyarakat Tolikara sebenarnya sudah masuk perangkap kegiatan intelejen," kata dia.
"Nanti akan terlihat otaknya siapa? Termasuk yang mendanai, memprovokasi dan menggerakkan. Operasi intelejen kan tukang bakarnya tidak terlihat, tapi asap dan baunya terasa," ujarnya lagi.
Dia mengaku, berdasarkan informasi yang masuk ke dirinya, kejadian di Papua melibatkan intelejen asing dan seorang tokoh intelejen berpengaruh di era pemerintahan sebelumnya. Para pelaku yang menjadi otaknya berada di Jakarta.
Karenanya, dia menyarankan Pemerintah Pusat tak perlu membentuk Tim Mediasi atau Tim Dialog karena masalahnya bukan masyarakat Papua, tapi kekuatan lain tak terlihat.
"Ini ada pihak yang mencoba buat penyakit, dan sekaligus menawarkan obatnya dengan kepentingan yang lain untuk dikompromikan. Ini gaya lama. Mudah-mudahan Pak Jokowi mengetahuinya," jelas Fahmi.
"Ini jangan dianggap remeh. Ingat kasus kerusuhan Ambon 1999, awalnya hanya perkelahian pemuda di terminal. Yang di Papua lebih serius dari itu," tandasnya. [BeritaSatu]